Kamis, 04 Desember 2014

Ketika Malaikat Jibril Terhalang Masuk

Suatu ketika Malaikat Jibril berjanji akan mendatangi Nabi SAW di rumah Aisyah, istri kesayangan beliau. Tetapi ketika waktu yang ditentukan itu tiba, malaikat Jibril belum muncul juga, padahal Nabi SAW telah menunggu cukup lama di dalam rumah. Beliau meletakkan tongkat yang dipegangnya sambil berkata, “Allah dan utusan-Nya (yakni Jibril) tidak mungkin menyelisihi janji!!”
Tiba-tiba Nabi SAW melihat ada seekor anjing berlari-lari di bawah tempat tidur, beliau bersabda kepada istrinya, “Kapan anjing itu masuk?”
Aisyah berkata, “Deni Allah, saya tidak mengetahuinya!!”
Maka beliau menyuruh Aisyah mengeluarkan anjing tersebut dari dalam rumah, dan tak lama berselang malaikat Jibril datang. Rasulullah SAW bersabda, “Engkau telah berjanji kepada saya untuk datang, tetapi saya telah lama duduk menunggu tetapi engkau tidak muncul-muncul juga?”
Malaikat Jibril berkata, “Anjing di dalam rumah itulah yang mencegah saya untuk masuk, sesungguhnya saya tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar!!”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa memelihara anjing, selain anjing untuk berburu atau untuk menjaga ternak (dan tanaman, dalam riwayat lainnya), maka pahalanya akan dikurangi dua qirath (dalam riwayat lain, satu qirath) setiap harinya.”
Tentang gambar, antara lain Nabi SAW pernah bersabda, “Barangsiapa menggambar suatu gambar (yang bernyawa) di dunia, maka nanti pada hari kiamat ia akan dituntut untuk meniupkan roh ke dalamnya, padahal ia tidak akan mampu untuk meniupkannya!!”
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya siksaan Allah yang paling keras (berat) pada hari kiamat nanti, yakni pada orang-orang yang suka menggambar.”      

Note : rs2-514..

Cara Sederhana Masuk Surga

Suatu ketika berada di antara para sahabat, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa merasa puas (ridho) Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Rasul (ikutan/ittiba’)-nya, maka ia berhak masuk surga!!”
 Abu Sa’id al Khudry tampaknya merasa heran dengan ucapan beliau itu. “Semudah itukah untuk bisa masuk surga?” Begitu mungkin pikirnya. Karena itu ia berkata untuk meyakinkan bahwa yang didengarnya itu tidak salah, “Wahai Rasulullah, ulangilah lagi!!”
Maka beliau mengulanginya persis seperti itu, tetapi sesaat kemudian menambahkan, “Dan masih ada yang lain, dimana Allah akan mengangkat hamba-Nya dengan seratus derajad di dalam surga, yang mana jarak antara satu derajad dengan derajad lainnya seperti jarak langit dengan bumi?”
Abu Sa’id bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, dengan apakah (derajad itu diperoleh}?”
Nabi SAW bersabda, “Dengan berjuang di jalan Allah!!”
Tentunya ‘berhak masuk surga’ yang dimaksudkan apabila seseorang itu tetap memegang dan meyakininya hingga kematian menjemputnya, tidak ada keraguan dan tergoyahkan sedikitpun. Kalaupun ia masih mempunyai dosa yang tidak memperoleh pengampunan Allah, syafaat Rasulullah SAW, ataupun keridhoan (maaf) dari orang-orang yang didzaliminya selama di dunia, sehingga ia harus masuk neraka juga, tetapi ‘pada akhirnya’ ia akan masuk surga, karena tiga kalimat tersebut tidak pernah lekang dari hatinya.
Mungkin atas dasar sabda Nabi SAW tersebut, dahulu waktu kita masih TK dan SD atau MI, sebelum mulai pengajaran di pagi harinya, para guru membimbing kita untuk membaca tiga kalimat tersebut, “Rodhiitu billaahi rabba, wabil islaami diina, wabi Muhammadin nabiiya wa rasuula.”
Kemudian ditambah dengan doa menuntut ilmu, “Robbii dzidnii ‘ilmaa war zuqnii fahma, amiin.”
    
Note : rs2-232..

Selasa, 07 Oktober 2014

Beriman karena ayat-ayat Taurat

Suatu ketika Nabi SAW dan beberapa orang sahabat berjalan-jalan di sekitar Madinah hingga tiba di pemukiman kaum Yahudi. Ketika tiba di sebuah kuil (tempat ibadah), beliau berhenti dan diam-diam mendengarkan mereka yang sedang membaca kitab Taurat. Setelah beberapa saat lamanya, tiba-tiba mereka berhenti membaca, maka beliau berkata, “Apa sebabnya mereka berhenti membaca??”
Tidak jauh dari tempat beliau, ada seorang Yahudi yang terbaring sakit, ia berkata, “Mereka berhenti membaca karena sampai pada ayat yang menerangkan sifat-sifat seorang nabi!!”
Kemudian lelaki Yahudi itu merangkak, karena ia memang tidak mampu berdiri karena sakitnya itu, untuk mengambil kitab Taurat, dan meneruskan bacaan yang tadi dihentikan oleh orang-orang Yahudi di dalam kuil (tempat ibadahnya). Setelah selesai membaca ayat-ayat itu, ia berkata, “Ini adalah sifat-sifat engkau dan sifat umatmu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan engkau, Muhammad adalah utusan Allah!!”
Tidak lama kemudian lelaki Yahudi yang sedang sakit itu meninggal, maka Nabi SAW bersabda, “Kafanilah saudaramu ini!!”
Dalam riwayat lainnya yang hampir sama, ketika berjalan-jalan Nabi SAW dan beberapa sahabat bertemu dengan seorang pemuda Yahudi tampan yang sedang sekarat, sedang ayahnya membacakan ayat-ayat Taurat untuk menuntun (mentalqin)nya. Nabi SAW bersabda, “Aku bersumpah dengan Dzat yang menurunkan Taurat, apakah engkau dapatkan sifat dan kerasulanku dalam Taurat itu?”
Sang ayah berkata, “Tidak ada!!”
Tetapi sang anak, yakni pemuda Yahudi tampan yang sedang sekarat itu berkata, “Demi Dzat yang menurunkan Taurat, sesungguhnya kami temukan dalam kitab kami (Taurat), sifat dan kerasulan engkau….!!”
Sang ayah tersentak kaget, tetapi pemuda itu tidak memperdulikannya lagi, dan ia langsung mengucap dua kalimat syahadat, tak lama kemudian ia meninggal. Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk mengangkat pemuda tersebut untuk mengurus jenazahnya. Beliau sendiri turun tangan untuk mengkafani, menyalatkan dan menguburkan jenazah pemuda Yahudi tersebut.

Note : jka6667

Sebuah Pertanda saat Penggalian Parit (Khandaq)

Ketika kaum muslimin sedang mengerjakan penggalian parit (khandaq) untuk benteng pertahanan Kota Madinah dari serangan Quraisy dan sekutu-sekutunya, mereka sempat menemui sebuah batu atau tanah keras sangat besar yang sulit sekali dihancurkan. Beberapa sahabat yang mempunyai kekuatan, seperti Umar bin Khaththab misalnya, juga tak mampu membelah batu itu sehingga proses penggalian sempat terhalang. Beberapa sahabat menemui Nabi SAW dan berkata,” Wahai Rasulullah, ada sebuah bongkah tanah atau batu yang sangat keras yang sulit dipecahkan!!”
Beliau bersabda, “Kalau begitu aku akan turun!!”
Kebanyakan sahabat, termasuk Nabi SAW sendiri dalam keadaan yang lapar dan lemah, sudah hampir tiga hari tidak ada makanan yang masuk ke perut mereka. Beliau mengeratkan ikatan kain di perutnya, yang di dalam kain itu terdapat batu-batu kecil untuk mengganjal rasa lapar. Setelah turun dan tiba di tempat batu itu, beliau meminta sebuah kapak atau pembelah batu, dan bersabda, “Wa tammat kalimatu rabbika shidqan wa adlan, laa mubaddila likalimaatihii wa huwas samii’ul ‘aliim!!”
Dengan satu ayunan atau pukulan, hancurlah sepertiga bagian dari batu itu menjadi butiran pasir. Salman al Farisi, sahabat yang juga menjadi ‘pencetus’ ide untuk menggali parit sebagai benteng pertahanan Kota Madinah, melihat satu cahaya terang yang memancar dari pukulan Nabi SAW tersebut.
Untuk kedua kalinya Nabi SAW membaca ayat Al Qur’an tersebut dan mengayunkan kapak, sekali lagi hancurlah sepertiga bagian lainnya menjadi butiran pasir. Bersamaan dengan itu Salman al Farisi melihat seberkas cahaya yang sama terangnya dengan cahaya sebelumnya. Pada kali ke tiga Nabi SAW mengayunkan kapak sambil membaca ayat tersebut, sisa sepertiga batu itu hancur berserakan menjadi pasir, dan sekali lagi Salman melihat seberkas cahaya terang yang memancar.
Setelah penggalian terbebas dari halangan batu besar itu, Nabi SAW keluar dari parit dan duduk beristirahat bersama para sahabat, Salman berkata, “Ya Rasulullah, sinar apakah yang keluar itu setiap kali engkau memukul batu besar tersebut?”
Nabi SAW bersabda, “Apakah engkau melihat sinar itu, wahai Salman?”
Salman berkata, “Benar, ya Rasulullah, demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku melihat sinar itu!!”
Beliau bersabda, “Ketika aku memukul batu itu pertama kalinya, dengan sinar itu Allah memperlihatkan padaku daerah kekuasaan Kisra Persia dan daerah sekitarnya, sungguh aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!!”
Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, doakanlah semoga Allah membukakan untuk kami, dan memberikan kepada kami anak cucu mereka!!”
Nabi SAW mendoakan seperti permintaan mereka.   
Kemudian beliau bersabda lagi, “Ketika aku memukul batu itu untuk kedua kalinya, dengan sinar yang muncul itu Allah memperlihatkan padaku daerah kekuasaan Kaisar Romawi dan daerah sekitarnya, sungguh aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!!”
Para sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, doakanlah semoga Allah membukakan untuk kami, dan memberikan kepada kami anak cucu mereka!!”
Sekali lagi beliau mendoakan seperti permintaan mereka.
Kemudian Nabi SAW bersabda lagi, “Ketika aku memukul batu itu untuk ketiga kalinya, dengan sinar yang muncul itu Allah memperlihatkan padaku daerah kekuasaan Habasyah (Ethiopia) dan daerah sekitarnya, sungguh aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!!”
Para sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, doakanlah semoga Allah membukakan untuk kami, dan memberikan kepada kami anak cucu mereka!!”
Dan Nabi SAW mendoakan seperti permintaan mereka.
Pada riwayat lainnya disebutkan, ketika Nabi SAW memukul batu itu dengan membaca Basmalah untuk pertama kalinya, keluarlah sinar dan beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, aku diberi kunci-kunci Syam (Romawi), demi Allah aku benar-benar melihat istana-istananya yang bercat merah saat ini….!!”
Ketika beliau memukul untuk kedua kalinya dengan membaca Basmalah, keluarlah sinar dan beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, aku diberi tanah Persia, demi Allah aku benar-benar melihat istana Madain yang bercat putih saat ini….!!”
Ketika beliau memukul untuk ketiga kalinya dengan membaca Basmalah, keluarlah sinar dan beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, aku diberi kunci-kunci Yaman, demi Allah, dari tempat ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang kota Shan’a….!!”
      

Meringankan Beban ke Akhirat

Suatu ketika Nabi SAW berjalan-jalan bersama beberapa orang sahabat. Sambil tetap berjalan, tiba-tiba beliau memegang tangan Abu Dzar dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, apakah kamu telah mengetahui, bahwa sesungguhnya di hadapan kita terbentang suatu jalan di bukit yang sangat rumit, tidak akan bisa didaki selain oleh orang-orang yang meringankan beban (perjalanan) nya!!”
Salah seorang sahabat lainnya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya ini termasuk orang yang meringankan atau memberatkan beban (dalam perjalanan) itu?”
Nabi SAW bersabda, “Adakah engkau memiliki (persiapan) makanan untuk hari ini?”
Ia berkata, “Punya, ya Rasulullah!!”
Beliau bersabda lagi, “Adakah engkau memiliki (persiapan) makanan untuk esok hari?”
Ia berkata, “Punya, ya Rasulullah!!”
Beliau bersabda lagi, “Adakah engkau memiliki (persiapan) makanan untuk esok lusa?”
Ia berkata lagi, “Tidak ada, ya Rasulullah!!”
Nabi SAW bersabda, “Engkau termasuk orang yang meringankan bebannya. Andaikata engkau memiliki persediaan makanan untuk tiga hari, maka engkau termasuk golongan orang-orang yang memberatkan bebannya!!”
Tentunya yang dimaksudkan beliau dengan ‘jalan di bukit yang rumit’ adalah perjalanan ke akhirat, dan ‘beban perjalanan’ adalah pertanggung-jawaban urusan duniawi. Kadang-kadang Nabi SAW memang bersabda dengan perumpamaan, seperti sabda beliau kepada Abu Dzar dalam kesempatan lainnya, “Wahai Abu Dzar, perbaikilah kapalmu karena lautnya dalam, bawalah bekal sempurna karena perjalananmu jauh, ringankanlah bebanmu karena rintangan-rintangannya sangat berat, dan ikhlaslah dalam beramal karena sesungguhnya Dia Maha Meneliti dan Maha Melihat!!”

Note:ni67

Selasa, 20 Mei 2014

Ketika Kelaparan dalam Perang Tabuk

Pada tahun 9 Hijriah Nabi SAW menggerakkan pasukan ke Tabuk untuk menghadapi pasukan Romawi yang banyak melakukan gangguan dan serangan ke wilayah-wilayah kaum muslimin. Perang ini disebut juga dengan jaisyul ‘usyra, yakni perang di masa yang sulit, karena saat itu Madinah dalam masa paceklik, para penduduknya dalam masa yang sulit. Cuaca saat itu juga sedang panas-panasnya sehingga perjalanan ke Tabuk juga luar biasa beratnya.
Walau pada akhirnya peperangan ini tidak terjadi karena pasukan Romawi memilih untuk pergi (melarikan diri) sebelum Nabi SAW sampai di Tabuk, tetapi kaum muslimin yang mengikuti pasukan ini benar-benar mengalami perjuangan hidup yang sangat hebat dan berat, berjuang dalam menetapi keimanan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Pernah ketika sedang tinggal di Tabuk, hampir semua sahabat mengalami kelaparan, termasuk Nabi SAW. Salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya tuan mengijinkan maka kami akan menyembelih hewan tunggangan kami, sehingga kita bisa makan dan dapat menambah kekuatan kita!!”
“Lakukanlah!!” Kata Nabi SAW memberikan ijin.
Mendengar percakapan itu, Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau mengijinkan (dan akan banyak sahabat lain yang mengikuti), maka hanya tinggal sedikitlah kendaraan kita!! Tetapi engkau perintahkan saja mereka yang masih memiliki sisa-sisa makanan untuk mengumpulkannya, lantas engkau berdoa kepada Allah agar sisa-sisa makanan itu membawa keberkahan bagi kita semua!!”
Memang di saat itu tunggangan yang dipergunakan hanya sedikit karena keadaan yang sulit tersebut. Kebanyakan satu ekor unta atau kuda dipergunakan untuk tunggangan dua orang, bahkan tiga orang secara bergantian, dan banyak juga yang berjalan kaki. Abu Dzar al Ghifari mengendarai seekor keledai yang tua dan lemah sehingga ia tertinggal jauh dalam perjalanan itu. Akhirnya ia melepas bebas keledainya itu dan memanggul bawaannya di punggungnya, dan berjalan kaki menyusul Nabi SAW dan pasukan muslimin lainnya yang berada jauh di depan.
Apa yang diusulkan oleh Umar tersebut adalah ‘konsep’ dari kaum Asy’ariyyin, yakni kaumnya sahabat Abdullah bin Qais, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Musa al Asy’ary. Nabi SAW menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, dan memberi gambaran tentang mereka, "Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa kekurangan makanan dalam pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!"
“Ya, benar!!” Kata Nabi SAW, kemudian beliau menghamparkan kain (dalam riwayat lain, sorban beliau) dan memerintahkan seorang sahabat untuk menyeru agar mereka yang mempunyai sisa makanan untuk meletakkan pada kain tersebut.
Para sahabat hanya meletakkan segenggam atau beberapa genggam saja, karena memang hanya itu sisa makanan yang mereka miliki. Ada yang membawa gandum, korma, roti atau jenis makanan lainnya, dan setelah semua terkumpul walau tidak terlalu banyak, Nabi SAW berdoa kepada Allah agar diberikan keberkahan pada makanan itu. Setelah itu beliau bersabda kepada para sahabat, “Ambillah kamu sekalian, dan penuhilah bejana (tempat) makanan kalian masing-masing!!”
Satu persatu para sahabat mengambil makanan dari kain yang terhampar itu dan memenuhi tempat makanannya. Tidak seorangpun kecuali telah mengambil dan makan dengan kenyangnya, tetapi makanan di hamparan kain itu seperti tidak berkurang jumlahnya, padahal jumlah pasukan yang dibawa Rasulullah SAW ke Tabuk sebanyak 30.000 orang. Setelah semua itu, Nabi SAW bersabda, “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa annii rasuulullaah (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah). Tidak ada seorangpun hamba (manusia) yang menghadap kepada Allah tanpa ragu-ragu dengan dua kalimat ini, yang akan terhalang dari surga…”
Maksudnya, setiap orang yang menghadap kepada Allah dengan membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ada keraguan sedikitpun (yakni, sangat yakin), maka dipastikan akan masuk surga.

Note:rsI364,sn     

Ketika Nabi SAW berdakwah ke Thaif

Tahun ke sepuluh dari kenabian, ketika Abu Thalib dan Khadijah wafat, tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy makin meningkat, baik kepada kaum muslimin, terlebih kepada Nabi SAW sendiri. Khadijah bisa dikatakan sebagai ‘sandaran psikologis’ ketika beban penentangan begitu berat beliau rasakan. Sedangkan Abu Thalib, walau tidak bersedia memeluk Islam, tetapi atas nama kekerabatan mampu meredam ‘kekejaman’ kaum kafir Quraisy dengan ketokohannya dalam masyarakat Quraisy.
Walau bagaimanapun juga Allah SWT yang menjadi sandaran utama dan tempat tawakal Nabi SAW, tetapi kehilangan dua orang yang begitu dekat membuat beliau bersedih, terlebih bila melihat perlakuan kejam yang dirasakan umat Islam yang lemah. Karena itu beliau berfikir keras untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya beliau berinisiatif untuk menyeru penduduk Thaif untuk memeluk Islam. Bani Tsaqif yang mendiami Kota Thaif termasuk suku/kabilah yang terpandang dan mempunyai kekuatan yang cukup disegani di jazirah Arabia. Kalau upaya itu berhasil, setidaknya bisa mengurangi dan menghambat tekanan kaum Quraisy.
Dengan ditemani Zaid bin Haritsah, Nabi SAW menempuh jarak sekitar 90 km (60 mil) di padang pasir dengan berjalan kaki. Setiap bertemu dengan suatu kabilah dalam perjalanan itu, beliau menyeru mereka untuk memeluk Islam, tetapi tidak memperoleh sambutan yang berarti. Setibanya di Thaif, beliau menemui tiga orang putra Amr bin Umair as Tsaqafi yang merupakan pimpinan masyarakat mereka, yakni Abd Yalail, Mas’ud dan Hubaib bin Amr. Beliau duduk di hadapan mereka dan menceritakan tentang risalah Keislaman yang beliau bawa, serta mengajak mereka kepada Allah, kepada Islam dan untuk menjadi pembela agama Allah, tetapi mereka menanggapinya dengan sinis dan menyakitkan.
Salah seorang dari mereka berkata, “Jika memang Allah telah mengutusmu sebagai Rasul, berarti kain Ka’bah telah terkoyak!!”
Salah satunya lagi berkata, “Apakah Allah tidak mendapatkan orang lainnya selain dirimu (untuk diangkat sebagai rasul)??”
Yang terakhir berkata, “Demi Allah, aku tidak sudi berbicara lagi denganmu. Jika engkau benar-benar seorang rasul, maka akan berbahaya (menjadi ancaman) bagiku jika aku menyanggah perkataanmu. Tetapi jika engkau membuat kedustaan terhadap Allah (dengan mengaku diangkat menjadi rasul), maka tidak layak bagiku untuk berbicara denganmu ….!!”
Dengan sikap yang seperti itu, beliau tidak lagi mencari peluang untuk terus berdakwah kepada mereka, akan percuma saja. Tetapi sambil bangkit untuk pergi, beliau berkata, “Jika kalian memang telah bersikap seperti ini (ya mau apalagi), tetapi tolong sembunyikan aku (dari kaum Quraisy)…!!”
Untuk permintaan yang terakhir itu mereka memenuhinya, tidak mengabarkannya kepada kaum Quraisy di Makkah. Selama sepuluh hari beliau tinggal di Thaif, dan tidak henti-hentinya beliau menyeru para pemimpin kabilah yang beliau temui, tetapi tenyata tidak ada seorangpun yang menyambut ajakan beliau. Bahkan akhirnya mereka merasa terganggu dan mengusir beliau dari Thaif. Mereka berkata, “Usir orang ini dari negeri kita, dan kerahkan semua orang untuk memperdayainya (menyakitinya)…!!”
Ketika Nabi SAW meninggalkan Thaif, mereka mengumpulkan beberapa orang jahat dan para budak mengerumuni beliau. Mereka dibentuk dalam dua barisan di kanan kiri jalan, sambil mencaci maki serta melemparkan batu kepada mereka berdua. Zaid bin Haritsah mati-matian melindungi Nabi SAW dari serangan lemparan batu-batu tersebut. Tak terkira luka-luka di kepala dan tubuh mereka berdua, karena kaum musyrikin Thaif itu terus melakukan serangan batu sepanjang hampir 5 km (3 mil). Mereka baru berhenti menyerang dan kembali ke Thaif, setelah Nabi SAW dan Zaid masuk ke dalam kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabiah, seorang tokoh Quraisy. Luka mengucur hampir dari seluruh bagian tubuh Zaid bin Haritsah karena ia pasang badan melindungi Nabi SAW, tetapi beliau sendiri juga terluka, bahkan salah satu urat di atas tumit beliau putus sehingga darah membasahi terompahnya. Zaid sangat mengkhawatirkan luka pada kaki Nabi SAW daripada luka-lukanya sendir yang jauh lebih parah.
Nabi SAW duduk berlindung di bawah rimbunan pohon anggur, kemudian berdoa, “Ya Allah, hanya kepadaMu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan siasatku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Rabb kaum yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau akan menyerahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak perduli (dengan semua itu) asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya WajahMu yang menyinari segala kegelapan, yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemurkaanMu kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Engkau ….!!!”
Sang pemilik kebun, Utbah dan Syaibah bin Rabiah merasa trenyuh dan terketuk hatinya melihat apa yang dialami Nabi SAW. Mereka memang tidak suka dan menolak apa yang didakwahkan beliau, tetapi sebenarnya mereka, dan juga sebagian besar tokoh Quraisy lainnya, sangat menghargai dan memuliakan Nabi SAW sebagai suatu pribadi yang luhur dan dapat dipercaya. Jauh di lubuk hati mereka itu sebenarnya bisa menerima kebenaran dari apa yang beliau dakwahkan, hanya saja rasa gengsi dan ego (harga diri) yang menghalanginya, mereka tidak mau berada ‘dibawah’ Nabi SAW yang hanya seorang anak yatim yang miskin, walau berasal dari nasab yang mulia. Apalagi bila mereka harus ‘disamakan’ derajadnya dengan para mantan budak seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir dan lain-lainnya, jika mereka menerima dan memeluk Islam.
Utbah dan Syaibah memanggil dan menyuruh budaknya yang beragama Nashrani bernama Addas untuk memberikan setandan anggur kepada Nabi SAW. Beliau menerimanya, dan membaca Basmalah (Bismillaahirrahmaanirrahiim) sebelum memakannya. Mendengar ucapan itu, Addas berkata, "Kata-kata itu tidak pernah diucapkan penduduk negeri ini."
Nabi SAW bersabda kepadanya, “Darimanakah asalmu, dan apa pula agamamu?”
Addas menjawab, “Aku beragama Nashrani dan berasal dari Negeri Ninawa (Nineveh)!!”
Nabi SAW berkata dengan nada tanya, “Negerinya orang shalih bernama Yunus bin Matta??”
Addas tampak keheranan dan berkata, “Apa yang tuan ketahui tentang Yunus bin Matta?”
Yunus bin Matta yang tak lain adalah Nabi Yunus AS, memang cukup terkenal di negerinya, apalagi dengan kisah beliau ditelan dan hidup di perut ikan di dalam lautan selama berhari-hari. Karena itu walaupun orangnya sudah lama meninggal tetap saja kisahnya melegenda.
Nabi bersabda, "Beliau adalah saudaraku, beliau seorang Nabi, begitu juga aku."
Addas merengkuh kepala Nabi SAW, kemudian mencium tangan dan kaki Beliau. Sebuah sikap dan pengakuan akan kebenaran kenabian Rasullullah SAW, dan Addas menyatakan dirinya memeluk Islam.
Ketika Addas kembali kepada tuannya, dan mereka melihat apa yang dilakukannya terhadap Nabi SAW, mereka mencela sikapnya memeluk Islam, dan mengatakan kalau Nashrani masih lebih baik. Dengan tegas Addas menjawab, "Wahai tuan, di dunia ini tidak ada sesuatupun yang lebih baik daripada orang itu. Dia telah mengabariku sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh seorang nabi."
Setelah cukup lama beristirahat, dan keadaan luka-lukanya agak membaik, Nabi SAW meninggalkan kebun itu untuk meneruskan perjalanan ke Makkah. Beliau amat sedih dan hatinya seperti diiris-iris mendapat perlakuan yang begitu menghinakan dari penduduk Thaif. Ketika tiba di Qarnuts Tsa’alib, atau juga disebut dengan Qarnul Manazil, Nabi SAW menengadahkan wajah memandang awan yang selalu menaungi selama perjalanan itu, dan ternyata Jibril berada di sana dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaummu dan apa yang dilakukannya terhadap engkau. Allah telah mengutus seorang malaikat penjaga gunung, agar engkau memerintahkan apapun yang engkau kehendaki!!”
Malaikat itu tampil dan berkata, “Wahai Muhammad, semua itu telah terjadi, dan apakah yang engkau kehendaki? Jika engkau inginkan untuk meratakan Akhsyabaini, tentu aku akan melakukannya…”
Akhsyabaini adalah dua gunung di Makkah, yakni Abu Qubais dan Qa’aiqa’an yang berada di seberangnya. Maksudnya, malaikat akan mengangkat dua gunung itu dan menimpakan kepada penduduk Kota Thaif. Nabi SAW merasa tenang dan hatinya menjadi tentram dengan adanya pertolongan ghaib itu, tetapi beliau menolak tawaran malaikat penjaga gunung itu dengan bersabda, “Justru aku berharap kepada Allah agar mengeluarkan dari mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun…”
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau menanggapi tawaran malaikat itu dengan berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk/hidayah kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui…(Allaahummahdii qoumi fainnahum laa ya’lamuun)!!”
Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah meneruskan perjalanan, dan ketika tiba di Wadi Nakhlah, beliau memutuskan untuk tinggal beberapa hari lamanya di sana. Sebagian riwayat menyebutkan, sekelompok jin mendatangi tempat itu dan mendengarkan beliau yang sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an, dan kemudian mereka memeluk Islam. Mereka juga mengajak kaum jin di tempat tinggalnya untuk ikut memeluk Islam. Atas kejadian ini, Allah menurunkan Surat Al Ahqaf ayat 29-31 dan (atau) Surat al Jin ayat 1-2, dan hal ini makin mengukuhkan semangat Nabi SAW untuk tetap mendakwahkan Islam, walau mungkin mendapat perlawanan dan perlakuan yang semena-mena seperti yang dilakukan oleh penduduk Kota Thaif.
Ternyata persoalan belum selesai sampai di situ, kaum kafir Quraisy dengan pimpinan Abu Jahal yang telah mengetahui keberangkatan Nabi SAW ke Thaif, bermaksud menolak kembalinya Rasulullah SAW ke Kota Makkah, bahkan kalau perlu akan mengusir beliau. Dengan cemasnya Zaid bin Haritsah bertanya, "Bagaimana caranya engkau memasuki Makkah, Ya Rasulullah, padahal mereka telah (berniat) mengusir engkau?"
"Wahai Zaid," Kata Nabi SAW dengan mantap, "Sesungguhnya Allah akan menciptakan kelonggaran dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi ini. Sungguh Allah pasti akan menolong agamaNya dan memenangkan NabiNya….!"
Beliau meneruskan perjalanan, dan ketika mendekati Makkah, beliau memutuskan untuk tinggal di Hira. Dari sana Nabi SAW mengutus seorang lelaki dari Bani Khuza’ah kepada beberapa tokoh Quraisy untuk memberikan jaminan perlindungan kepada beliau. Setelah Akhnas bin Syariq dan Suhail bin Amr tidak bersedia, Muth’im bin Ady yang mau memberikan jaminan perlindungan kepada Nabi SAW dan Zaid, ia berkata kepada kaumnya, “Ambillah senjata kalian dan bersiap siagalah di setiap sudut Masjidil Haram, karena aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad!!”
Setelah itu Muth’im mengirimkan beberapa orang utusan untuk menjemput Nabi SAW dan mengiring beliau memasuki Makkah. Muth’im berseru keras dari tunggangannya, “Wahai semua orang Quraisy, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad, maka tidak boleh seorang dari kalian bertindak semaunya sendiri kepada dirinya!!”
Nabi SAW memasuki Masjidil Haram, dan beliau berhenti di sisi Hajar Aswad kemudian menciumnya. Setelah shalat dua rakaat beliau pulang ke rumah. Kaum kafir Quraisy hanya bisa memandang tidak berbuat apa-apa. Abu Jahal berkata kepada Muth’im, “Apakah engkau hanya sekedar memberi jaminan atau juga menjadi pengikutnya (yakni memeluk Islam)?
“Tidak, aku hanya memberi jaminan perlindungan!!” Kata Muth’im
Abu Jahal berkata, “Kalau begitu kami akan melindungi siapapun yang engkau lindungi!!”
Rasulullah SAW selalu mengingat jasa baik Muth’im ini, sehingga dalam masalah tawanan Perang Badar beliau sempat bersabda, “Andaikata Muth’im masih hidup dan dia meminta agar aku mengasihi para tawanan ini, tentu aku akan menyerahkan urusan ini kepadanya!!”

Kamis, 10 April 2014

Fitnah Dajjal

            Kapan terjadinya Hari kiamat tidaklah diketahui oleh siapapun kecuali hanya oleh Allah SWT saja. Tetapi Nabi SAW telah menyebutkan tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat, baik tanda-tanda kecil (sughra) ataupun besar (kubra), dan salah satu pertanda besar adalah munculnya Dajjal, ketika kiamat sudah sangat dekat. 
            Nabi SAW menyebut Dajjal sebagai pembohong besar dan akan menjadi fitnah terbesar bagi umat beliau di akhir zaman. Arti kata ‘dajjal’ adalah menutupi, sehingga bisa dimaknakan bahwa Dajjal adalah sosok yang akan menutupi kebenaran (hak) dengan kebathilan. Tentunya ‘menutupi’ dengan berbagai macam interpretasinya, bisa saja dalam arti menyelubungi hingga kebenaran tidak terlihat, mencampur-adukkan sehingga samar dan tidak dikenali, atau juga menghiasi kebathilan sehingga tampak dan terlihat sebagai kebenaran. Atau juga makna-makna lainnya.  
            Tidak ada seorang nabi-pun kecuali mengingatkan umatnya akan fitnah Dajjal, termasuk Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda, “Sejak diciptakannya Nabi Adam AS hingga datangnya hari kiamat, tidak ada perkara (fitnah) yang lebih besar daripada Dajjal.”
            Tidak ada riwayat yang pasti tentang siapa, darimana asalnya, dan kapan lahirnya Dajjal ini, tetapi Nabi SAW pernah menyebutkan bahwa akan ada sekitar 30 Dajjal yang turun hingga menjelang hari kiamat. Tentunya Dajjal yang terakhir itulah yang menjadi fitnah terbesar, yang beliau menyebutkan cirinya bahwa ia buta sebelah matanya, dan di antara kedua matanya terdapat tulisan ka, fa, ra, yang bermakna ‘kafir’, dan yang dapat membunuhnya hanyalah Nabi Isa AS. Pada masa hidup beliaupun ada seseorang di Madinah bernama Ibnu Sayyad, yang diperkirakan adalah Dajjal (atau calon Dajjal di akhir zaman). Termasuk dianggap dajjal juga adalah para nabi palsu seperti Musailamah al Kadzdzab di Yamamah dan Aswad al Unsy di Yaman. Ada yang berpendapat bahwa Dajjal yang turun di akhir zaman itu masih keturunan dari dajjal-dajjal yang telah muncul sebelumnya.
            Suatu ketika Nabi SAW bersama beberapa sahabat tengah berjalan-jalan, dan beliau bertemu sekelompok anak tengah bermain, di antaranya Ibnu Sayyad. Melihat kedatangan beliau, anak-anak itu lari menghindar karena rasa malu dan sungkan, kecuali Ibnu Sayyad yang tetap saja duduk dengan tidak perduli. Beliau berkata kepadanya, “Semoga engkau beruntung, apakah engkau mengakui aku sebagai Rasul Allah?”
            Ibnu Sayyad berkata, “Tidak, justru engkau yang harus mengakui aku utusan Allah!!”
            Umar bin Khaththab yang ikut dalam rombongan sahabat itu berkata, “Ya Rasulullah, ijinkanlah aku membunuh anak ini!!”
            Nabi SAW bersabda, “Jika benar (ia adalah calon Dajjal akhir zaman), engkau tidak akan sanggup membunuhnya, tetapi jika tidak, maka tidak ada perlunya engkau membunuhnya!!”
            Seorang ulama dari Mesir bernama Muhammad Isa Dawud, dengan penelitian dan analisa yang mendalam terhadap Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, serta kajian terhadap berbagai catatan (manuskrip) kuno di wilayah Timur Tengah, termasuk yang ditemukan di Laut Mati, menyimpulkan bahwa Dajjal dilahirkan sekitar seratus tahun sebelum kelahiran Nabi Musa AS. Ia akan terus hidup hingga akhir zaman, tetapi saat ini ‘menyembunyikan diri’ hingga waktu yang dikehendaki Allah untuk muncul, dan mengaku sebagai nabi bahkan sebagai tuhan, dengan berbagai macam kemampuan dan kekuatan luar biasa yang amat menakjubkan, layaknya sebuah mu’jizat. Pada saat Nabi SAW diutus menyampaikan Risalah Islamiyah, Dajjal tersebut dibelenggu di suatu pulau terpecil dan sangat rahasia yang jarang diketahui orang. (Kisah lebih lengkap tentang hal ini dapat dibaca pada Laman (Blog) Percik Kisah Nabi Muhammad SAW, dengan judul : Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi SAW (3), Dajjal Dibelenggu).
            Adanya pendapat bahwa Dajjal akhir zaman telah hidup di masa Nabi SAW, tetapi dalam keadaan terbelenggu, didukung dengan pengalaman seorang sahabat bernama Tamim Ad Daari, yang tadinya seorang pendeta Nashrani dari Palestina. Ketika itu ia tersesat di tengah lautan karena kapalnya rusak, dan terdampar di suatu pulau terpencil. Pengalaman menakjubkan sekaligus menakutkan, yang akhirnya membawanya kepada hidayah keislaman.
Ketika Tamim dan rombongannya dalam suatu perjalanan mengarungi lautan di sekitar laut Yaman atau sekitar laut Syam, kapalnya mengalami kerusakan sehingga ia terombang-ambing tanpa arah yang pasti. Tidak tanggung-tanggung, selama sebulan penuh ia dipermainkan ombak, beserta sekitar tigapuluh orang penumpang dan awak kapal, yang kebanyakan dari mereka berpenyakit kulit dan lepra. Tiba-tiba mereka terdampar di sebuah pulau di arah matahari terbenam, suatu pulau yang mereka semua tidak tahu pasti dimana tempat kedudukannya.
Mereka menepi dengan sebuah sampan kecil dan memasuki pulau tersebut. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya binatang yang berbulu sangat tebal, sehingga tidak diketahui mana bagian kepalanya dan mana bagian ekornya. Tamim sempat berkata kepada binatang tersebut, tentunya tanpa mengharapkan jawaban apa-apa, terlontar begitu saja karena rasa terkejut, "Apakah kamu ini?"
Tetapi sungguh mengejutkan, ternyata binatang tersebut memberikan jawaban, "Saya adalah al Jassasah..!!"
"Apakah al Jassasah itu?" Tanya Tamim.
Binatang tersebut mengabaikan pertanyaan mereka dan justru berkata, "Wahai kaum, pergilah kalian kepada orang yang berada di dalam biara di sana, karena sesungguhnya ia sangat merindukan berita dari kalian…!!"
Tak jauh dari pantai tersebut memang tampak sebuah bangunan yang menempel pada dinding gunung, yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai gua daripada biara. Mendengar penuturan tersebut, mereka segera berlalu menjauhi binatang aneh yang menakutkan tersebut. Mereka berfikir, binatang tersebut adalah syaitan atau penjelmaan syaitan.
Mereka bergegas memasuki gua, tetapi sekali lagi mereka mendapati pemandangan mengejutkan. Seorang lelaki tinggi besar dan sangat tegap tubuhnya tampak terbelenggu pada dinding gua. Kedua tangannya terikat dengan rantai besar ke kuduknya. Antara kedua lutut dan dua mata kakinya terdapat rantai besar yang membelenggunya sehingga ia tidak mungkin keluar dari gua tersebut. Tamim dan teman-temannya bertanya, "Siapakah engkau ini??"
Seperti halnya binatang yang mengaku bernama Jassasah tadi, lelaki tinggi besar tersebut tidak mau membuka hakikat dirinya. Tetapi ia berkata, "Kalian telah mengetahui keadaanku seperti ini, karena itu beritahukanlah kepadaku, siapakah kalian ini?"
"Kami adalah orang-orang dari Arab…" Kata Tamim ad Daari…
Kemudian Tamim menceritakan keadaan mereka sejak terkatung-katung di lautan, sampai akhirnya terdampar di pantai, bertemu binatang yang mengaku bernama al Jassasah, dan menyuruhnya untuk menemui seorang  lelaki di dalam biara atau gua tersebut. Tamim menutup ceritanya dengan berkata, "Kami bergegas meninggalkan dia (al Jassasah) dan menemui engkau karena kami merasa tidak aman, jangan-jangan dia itu syaitan..!!"
Lelaki tersebut tidak banyak menanggapi cerita Tamim, ia justru berkata, "Beritahukanlah kepadaku tentang desa Nakhl Baisan!"
Nakhl Baisan adalah sebuah negeri yang terkenal di dekat Syam lama, dan termasuk dalam wilayah Palestina. Tamim berkata, "Tentang apanya yang ingin engkau ketahui?"
"Tentang kurmanya, apa berbuah?"
"Ya, masih berbuah!!" Kata Tamim.
"Ketahuilah, sesungguhnya kurma-kurma tersebut akan tidak berbuah lagi..!!" Kata lelaki tersebut.
Sesaat kemudian lelaki tersebut berkata, "Beritahukanlah kepadaku tentang danau ath Thabariyah..!!"
Danau ath Thabariyah adalah sebuah danau besar yang terletak sekitar 150 km dari Baitul Makdis. Lebarnya sekitar 10 km dan panjangnya sekitar 15 km, airnya tawar manis dan cukup banyak ikannya sehingga menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitarnya. Danau ini cukup dalam dan dapat dilayari kapal, tetapi makin hari airnya makin berkurang. Tamin bertanya kepada lelaki tersebut, "Tentang apanya yang ingin engkau ketahui?"
"Apakah masih ada airnya?"
"Ya, airnya banyak sekali!!"
"Ketahuilah, airnya akan berangsur berkurang dan akhirnya habis..!!" Kata lelaki tersebut.
Sesaat kemudian ia bertanya lagi, "Beritahukanlah kepadaku tentang mata air azh Zughar!!"
"Tentang apanya yang ingin engkau ketahui?"
"Apakah sumbernya memancarkan air yang bisa digunakan penduduknya untuk menyiram tananamnya?"
"Benar, " Kata Tamim, "Airnya sangat banyak dan penduduk sekitarnya menggunakannya untuk bercocok-tanam."
Lelaki tersebut bertanya lagi, "Beritahukanlah kepadaku tentang Nabi yang ummi, apa yang dilakukannya..!!"
Walaupun Tamim dan orang-orang yang bersamanya belum memeluk Islam, tetapi kabar tentang Nabi SAW memang telah menyebar luas, bahkan dakwah Islam juga telah sampai di Syam dan Palestina. Ia menjawab, "Beliau telah berhijrah, meninggalkan kota Makkah pindah ke Yatsrib (Madinah)!!"
"Apakah orang-orang Arab memeranginya?" Tanya lelaki tersebut.
"Ya!!"
"Apakah yang dilakukannya atas mereka?"
"Beliau telah menundukkan orang-orang Arab terdekatnya, sehingga mereka mengikuti dan mematuhinya!!"
"Benarkah seperti itu?" Tanya lelaki itu.
"Benar..!!" Kata Tamim.
"Ketahuilah," Katanya lagi, "Bahwasanya lebih baik bagi mereka untuk mematuhinya…!!"
Setelah rangkaian panjang pembicaraan tersebut, barulah lelaki tersebut membuka dirinya, ia berkata, "Aku akan memberitahukan tentang diriku pada kalian. Aku adalah al Masih dan aku hampir diizinkan untuk keluar (dari tempat ini). Jika aku keluar, aku akan berjalan di muka bumi, aku tidak melewati suatu kampung/negeri kecuali aku akan tinggal di sana selama empatpuluh malam, kecuali kota Makkah dan Thayyibah. Kedua kota tersebut diharamkan atasku. Setiap aku akan memasuki kota tersebut, aku dihadang oleh para malaikat yang membawa pedang, mereka mengancam akan memenggal kepalaku. Setiap celah jalan di kedua kota tersebut dijaga dengan ketat oleh para malaikat…!!"
Tamim dan teman-temannya terperangah kaget dengan pengakuan lelaki tersebut sebagai al Masih. Bagi  Tamim ad Daari yang seorang pendeta dan cukup menguasai Injil, nama al Masih tentulah tidak asing. Hanya ada dua al Masih, yakni al Masih Isa ibnu Maryam dan al Masih ad Dajjal. Setiap Nabi dan Rasul selalu mengingatkan umatnya akan bahaya dan fitnah terbesar dari al Masih ad Dajjal ini, termasuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Dalam pemikiran Tamim, kalau al Masih Isa ibnu Maryam telah wafat di tiang salib, begitu menurut kepercayaannya sebagai seorang Nashrani saat itu, tentulah lelaki tinggi besar dan kekar di depannya ini adalah al Masih ad Dajjal, yang akan menjadi fitnah terbesar di akhir zaman, begitu kesimpulan yang diambil oleh Tamim ad Daari.  Karena itu segera saja ia mengajak teman-temannya untuk meninggalkan pulau tersebut. Walau dalam keadaan terbelenggu saat itu, ia khawatir sang Dajjal tersebut akan menimbulkan bahaya bagi dirinya dan teman-temannya.
Setelah keluar dari pulau tersebut dan kembali mengarungi lautan lepas, perahu yang ditumpanginya mendapat pertolongan dari perahu lain dan akhirnya bisa pulang ke tempat asalnya di Palestina. Beberapa hari kemudian ia memutuskan untuk memeluk Islam dan mendatangi Nabi SAW di Madinah, dan tiba di malam hari.
Pada pagi harinya setelah shalat shubuh, Nabi SAW berdiri di mimbar, sambil tersenyum beliau bersabda, "Hendaknya setiap orang tetap tinggal di tempat shalatnya. Tahukah kalian, kenapa aku mengumpulkan kalian saat ini?"
"Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui…!!" Kata para sahabat.
Beliau bersabda lagi, "Sesungguhnya aku, demi Allah, mengumpulkan kalian bukan karena ada pengharapan atau ketakutan, tetapi aku mengumpulkan kalian karena Tamim ad Daari, yang dahulunya seorang Nashrani datang kepadaku untuk berba'iat memeluk Islam. Ia menceritakan kepadaku, seperti yang pernah aku sampaikan kepada kalian tentang  Dajjal…"
Nabi SAW kemudian menceritakan pengalaman Tamim ad Daari sejak terombang-ambing di lautan selama  satu bulan sampai akhirnya terdampar di suatu pulau yang dihuni oleh al Masih ad Dajjal. Beliau menceritakannya  secara mendetail seperti ketika Tamim menceritakannya kepada beliau.  Setelah sampai pada perkataan Dajjal tentang dua kota, Makkah dan Thayyibah, beliau memukulkan tongkat beliau pada mimbar dan bersabda, "Inilah Thayyibah, inilah Thayyibah, inilah Thayyibah, yakni kota Madinah ini. Bukankah aku telah memberitahukan hal ini kepada kalian?"
"Benar, ya Rasulullah..!!" Kata para sahabat.
Kemudian beliau bersabda lagi, "Sungguh cerita Tamim ini sesuai benar dengan apa yang telah aku sampaikan kepada kalian (tentang Dajjal), dan juga tentang kota Makkah dan Madinah. Ketahuilah, Dajjal ini berada di laut Syam atau di laut Yaman…"
Sesaat terdiam, kemudian beliau bersabda lagi, "Oh, tidak!! Tetapi dia akan datang dari arah timur…dari arah timur…dari arah timur…!!" Sambil bersabda tersebut, tangan beliau menunjuk ke arah timur, entah tempat di timur mana yang dimaksudkan Nabi SAW.
Tidak ada riwayat yang pasti tentang aktivitas Dajjal hingga telah dekatnya hari kiamat kelak. Ada yang berpendapat bahwa Dajjal dalam keadaan terbelenggu, dan setiap saat ia menggerogoti belenggunya tersebut, tetapi ketika ada adzan dikumandangkan, belenggunya makin menebal dan menguat. Dajjal tidak akan pernah bosan dan berhenti untuk menggerogoti, hingga apabila tidak ada lagi yang mengumandangkan adzan di bumi, belenggunya akan terlepas atau putus dan ia mulai berjalan di bumi untuk menebarkan fitnahnya. Wallahu A’lam.
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa setelah wafatnya Rasulullah SAW, Dajjal terlepas dari belenggunya di pulau terpencil tersebut. Kemudian ia berjalan menjelajah seluruh penjuru bumi, dan akhirnya ia ‘bermarkas’ di Segitiga Bermuda sambil menyusun kekuatan dan menebarkan pengaruhnya secara rahasia dan tersamar ke seluruh penjuru dunia. Jika telah tiba saat yang dikehendaki Allah, saat telah dekatnya kiamat, barulah ia keluar dari tempat persembunyiannya dan menebarkan fitnahnya. Wallahu A’lam.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Dajjal akan melakukan ‘perjalanan fitnahnya’ di bumi itu selama 40 hari (malam). Satu hari pertama itu lamanya seperti satu tahun, satu hari ke dua lamanya seperti satu bulan, satu hari lagi lamanya seperti satu minggu, dan hari-hari lainnya seperti hari biasanya. Ia bergerak dan berpindah di bumi begitu cepatnya layaknya awan yang bergerak karena didorong angin. Hampir semua wilayah di bumi dijelajahinya untuk menebarkan fitnah dan tipuannya, kecuali Makkah dan Madinah. Setiap jalan dan lorong-lorong di dua kota tersebut dijaga dengan ketat oleh para malaikat, dan Dajjal tidak berani memasukinya. Dajjal sempat berhenti di suatu tempat gersang di dekat Madinah, tiba-tiba terasa tiga kali goncangan (semacam gempa). Bagi kaum muslimin, gempa itu tidak berpengaruh apa-apa, tetapi hal itu membuat orang-orang kafir dan munafik menjadi gelisah dan tidak kerasan. Karena itu keluarlah mereka itu dari kota Nabi SAW tersebut dan bergabung dengan Dajjal, sehingga tidak tersisa satu orang pun di antara mereka di dalam kota.
Dajjal adalah sosok yang sangat jenius, ia mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan menguasai berbagai macam rahasia alam semesta. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia juga sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman, sehingga pada awal kemunculannya nanti, ia tampil sebagai seorang muballigh yang saleh sehingga banyak sekali pengikutnya. Ia bisa menampilkan berbagai macam keajaiban karena pengetahuannya akan rahasia alam semesta, dan tentunya karena diijinkan oleh Allah. Ketika para pengikutnya makin banyak dan memujanya, ia mengaku dirinya sebagai nabi, dan akhirnya mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Walau telah hidup ketika Nabi SAW diutus (atau bahkan sejak Nabi Musa AS belum dilahirkan, menurut suatu pendapat), ketika nantinya muncul menebar fitnah, ia seperti seorang pemuda berambut keriting, sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang berusia ribuan tahun (mungkin dalam film-film Amerika/Eropa digambarkan seperti Vampire). Matanya agak menonjol keluar dan salah satunya buta. Setiap orang yang beriman akan bisa melihat dan membaca huruf ka, fa, ra di antara dua matanya, yang berarti ‘kafir’. Ia akan muncul di antara Syam dan Irak, atau dalam riwayat lainnya, di Khurasan yang berada di Iran sekarang. Ia akan selalu diikuti oleh tujuh puluh ribu (atau lebih banyak lagi) orang-orang Yahudi Ishbahan yang berseragam dan bersenjata lengkap. Ketika kemunculannya itu seolah-olah dunia ada di genggamannya.  
Dajjal dan pasukannya akan mendatangi suatu kaum dan mengajak mereka mengikutinya. Jika mereka mau percaya dan mengikuti ajarannya, maka Dajjal akan memberikan kemakmuran pada kaum tersebut. Ia akan memerintahkan langit untuk menurunkan hujannya, memerintahkan bumi untuk mengeluarkan tumbuh-tumbuhannya, dan semua itu seketika menjadi kenyataan, bahkan lebih segar dan lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Ternak-ternakpun menjadi gemuk dan mengeluarkan air susu dengan banyaknya. Tetapi jika kaum itu menolak, maka Dajjal akan meninggalkan kaum itu dalam keadaan yang sangat menyedihkan, tanah gersang, makanan tidak ada dan harta kekayaan mereka itu seketika lenyap.
Dalam kesempatan lainnya, Dajjal akan mendatangi suatu kaum dengan membawa air dan api. Jika kaum itu mau mengikuti ajarannya, maka ia akan memberikan air dan kaum itu akan merasakan kesenangan dan kenikmatan dalam hidupnya. Tetapi jika menolak, maka Dajjal akan memberikan api yang menyebabkan kaum itu merasakan kesengsaraan dan kesulitan hidup yang luar biasa. Dalam riwayat lainnya, Dajjal membawa semacam surga dan neraka, ia akan memberikan surga kepada mereka yang taat dan mengikutinya, dan memberikan neraka kepada mereka yang ingkar dan menolak ajakannya. Dalam riwayat lain lagi, Dajjal akan membawa atau diikuti dengan bukit roti (artinya bahan makanan yang berlimpah) dan sungai dengan air yang sejuk dan berlimpah (maksudnya berbagai macam minuman yang nikmat dan menyegarkan), yang dengan keduanya ia mempengaruhi orang-orang untuk mengikutinya.
Mereka yang memilih untuk percaya dan taat kepada Dajjal sehingga memperoleh kesenangan dalam hidupnya, air yang sejuk dan juga kenikmatan surga yang dibawanya, pada hakekatnya telah menjatuhkan pilihan yang salah, dan akan memperoleh kesengsaraan abadi di akhirat kelak. Sebaliknya mereka yang ingkar sehingga merasakan kesengsaraan dalam hidupnya, layaknya sedang dalam bara panas api neraka, bahkan jadi mati sekalipun, pada hakekatnya menjatuhkan pilihan yang benar, dan akan memperoleh kenikmatan abadi di akhirat kelak. Nabi SAW berpesan, “ ….barang siapa di antara kalian berjumpa dengan Dajjal, maka hendaknya ia menjatuhkan pilihannya pada apa yang terlihat api, karena sesungguhnya itu adalah air yang segar dan baik!!”
Jika Dajjal melalui suatu daerah yang kosong dan tidak berpenghuni,maka ia akan berseru, “Keluarkanlah simpananmu!!”
Maka harta kekayaan yang ada di daerah itu tiba-tiba muncul dan terkumpul, dan bergerak mengikuti kemana Dajjal bergerak/berpindah, layaknya para lebah yang bergerak mengikuti gerak perpindahan pemimpinnya. Emas, perak, permata dan lain-lainnya seolah bernyawa saja bisa bergerak sendiri, atau mungkin dibawa oleh jin-jin kafir dan syetan yang tidak nampak, yang saat itu memang menjadi masa kejayaannya di bawah kepemimpinan Dajjal.
Untuk menunjukkan kekuatan dan kemampuannya, Dajjal akan memanggil seorang anak muda dan memenggalnya menjadi dua, kemudian melemparkan ke dua arah yang berlawanan. Dajjal memanggilnya kembali dan anak muda tiba-tiba muncul dengan tertawa dan wajah yang berseri-seri. Ia juga menunjukkan kemampuannya untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit secara instan, termasuk penyakit bawaan lahir, kebutaan dan lain-lainnya, bahkan ia ‘seolah-olah’ bisa menghidupkan orang yang telah mati, sebagaimana mu’jizat Nabi Isa AS.
Dalam suatu kesempatan, jika ada orang yang ‘didakwahi’ Dajjal itu ingin dipertemukan dengan orang tuanya yang telah meninggal, atau bahkan nenek moyangnya yang telah ribuan tahun dikuburkan, permintaan itu akan dipenuhinya juga. Dajjal akan memerintahkan syaitan untuk menyerupakan diri dengan dua orang tuanya, dan muncul di hadapannya dengan penampilan mewah dan penuh kebahagiaan, kemudian berkata, “Wahai anakku, sebaiknya engkau percaya dan mengikuti Tuhanku ini (yakni, Dajjal) agar hidupmu tidak sengsara. Lihatkah aku orang tuamu ini, aku bisa hidup mewah dan bahagia seperti ini karena mengikuti perintah Tuhanku ini, sesungguhnya Tuhanku ini adalah Tuhanmu juga!!”
Banyak sekali orang yang tergelincir dan tertipu dengan trik-trik yang dilakukan oleh Dajjal tersebut, khususnya bagi mereka yang hanya menginginkan kesenangan dan kemewahan duniawiah sesaat. Memang sudah menjadi kehendak Allah bahwa Dajjal akan menjadi fitnah yang besar, khususnya bagi kaum mukminin karena ia ‘dibekali’ Allah dengan kemampuan luar biasa, layaknya sebuah mu’jizat bagi Nabi dan Rasul, atau suatu karamah bagi seorang waliyullah. Kalau tidak cermat dan hati-hati bisa saja seorang mukmin terjebak dalam tipuannya, apalagi bagi seorang muslim dengan keimanan ‘sekedarnya’. Bahkan di saat itu, ada orang-orang yang berkata, “Kami mengetahui bahwa Dajjal itu dusta, tetapi kami tetap bersahabat dengannya agar kami mendapatkan makanan dan dapat menggembalakan ternak dari pepohonan dan tetumbuhan yang ada!!”
Sungguh saat itu sangatlah rawan bagi keimanan kita. Kita sangat berharap agar jangan sampai mengalami masa fitnah Dajjal tersebut. Nabi SAW mengajarkan suatu doa perlindungan, yang disunnahkan dibaca pada sujud terakhir dari setiap shalat fardhu yang kita lakukan, yaitu : "Allaahumma innii a'uudzubika min 'adzaabil qabri, wamin 'adzaabin naar, wamin fitnatil mahyaa wal mamaat, wamin fitnatil masiikhad dajjaal."
Artinya adalah : "Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari siksa neraka, dan dari fitnahnya kehidupan dan kematian, serta dari fitnahnya al masiih ad dajjal."
Nabi SAW berpesan, “Barang siapa mendengar berita kehadiran Dajjal, maka usahakan ia menjauh darinya. Demi Allah, adakalanya seseorang didatangi oleh Dajjal dan ia mengira Dajjal sebagai seorang mukmin karena diperlihatkan berbagai syubhat kepadanya, sehingga ia menjadi pengikutnya.”
Nabi SAW juga berpesan, jika nantinya kita menemui masa-masa itu, hendaknya kita membacakan kepada Dajjal, sepuluh ayat awal surat Al Kahfi, yang akan bisa melindungi kita dari fitnah-fitnahnya. Bahkan kalau perlu kita berlari dan bersembunyi ke gunung-gunung agar tidak bertemu dengan Dajjal. Beliau pernah bersabda, “Sungguh manusia melarikan diri dari Dajjal sampai di atas gunung-gunung.”
Begitu hebatnya fitnah Dajjal ini sehingga beliau bersabda, ”Jika Dajjal muncul dan aku berada di antara kalian, maka akulah yang akan menghadapinya untuk kalian. Tetapi jika ia muncul dan aku tidak ada di antara kalian, maka setiap orang harus membela dirinya sendiri (yakni dengan bersandar dan memohon pertolongan Allah), Allah adalah waliku atas setiap muslim….!”
Pada saat itu, pilihan untuk tetap bertahan dalam keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang berarti mengingkari bahkan melakukan perlawanan kepada Dajjal bukanlah perkara yang mudah. Kalau telah terlanjur berhadapan dan menolak untuk bergabung, kemungkinannya hanya mati syahid, atau kalau kita selamat dari fitnahnya karena perlindungan Allah, misalnya dengan membaca ayat-ayat awal surat Al Kahfi, kita akan hidup dalam keadaan berat dan mungkin menderita. Tidak ada harta, makanan dan minuman, serta perlengkapan yang layak dan memadai untuk menunjang kehidupan, tetapi itulah memang pilihan terbaik saat itu. Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini, salah seorang sahabat sempat bertanya tentang apa yang bisa mereka makan. Beliau bersabda, “Makanan kalian adalah dzikr : Subhaanallaah wal hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wa allaahu akbar laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…”
Cukup banyak kaum muslimin di seluruh penjuru bumi yang mati syahid karena menolak kemauan dan perintah Dajjal. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya muncul seorang mukmin yang mendatangi tempat Dajjal, yang membuat para pengawal Dajjal merasa keheranan. Biasanya jika mereka mendatangi suatu tempat, orang-orang, khususnya kaum muslimin, berusaha lari menghindar, karena itu mereka mencegatnya dan berkata, “Hendak kemana kamu??”
Lelaki mukmin itu berkata, “Aku hendak menemui seseorang yang baru saja muncul?”
Para ajudan itu berkata, “Apakah kamu tidak percaya kepada Tuhan kami?”
Memang, saat itu Dajjal telah mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan, dan telah mempunyai pengaruh dan pengikut hampir di seluruh penjuru dunia.
Ia berkata, “Tidak ada keraguan sedikitpun tentang Tuhan kami (yakni Allah SWT)!!”
Mereka segera bereaksi keras, “Bunuhlah orang ini!!”
Tetapi salah satu dari mereka berkata kepada yang lainnya, “Bukankah Tuhanmu telah melarang kita membunuh seseorang tanpa perintahnya?”
Mereka segera meringkus pendatang itu dan membawanya kepada Dajjal. Begitu melihat wajah dan penampilannya, segera saja lelaki itu berseru keras, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya inilah Dajjal yang disebut-sebut Rasulullah SAW!!”
Memang, lelaki mukmin itu sekaligus seorang ulama yang mempunyai pengetahuan luas tentang fitnah akhir zaman, termasuk seluk beluk Dajjal. Sebagian ulama bahkan menafsirkan lelaki mukmin itu adalah Nabi Khidr AS, yang akan menjadi syahid di tangan Dajjal.
Dajjal memerintahkan pasukannya untuk menelentangkan lelaki mukmin itu dan menyiksa dengan pedihnya. Ia berkata, “Siksalah orang ini, pecahkan kepalanya, pukulilah punggung dan perutnya!!”
Mereka melaksanakan perintah itu, melakukan penyiksaan dengan sekeras-kerasnya. Sesaat kemudian Dajjal menghentikan penyiksaan dan berkata kepada lelaki mukmin itu, “Apakah engkau belum mau percaya kepadaku (sebagai Tuhan)?”
Lelaki mukmin itu masih berkata lantang, “Engkau adalah al masih sang pendusta besar (Al Masih Ad Dajjal)!!”
Dajjal makin memuncak kemarahannya, ia memerintahkan pasukannya untuk menggergaji lelaki mukmin itu dari arah kepala hingga selangkangannya, hingga terpotong menjadi dua. Setelah itu Dajjal berjalan di antara dua potongan tubuh itu, dan berkata, “Bangkit dan berdirilah!!”
Tiba-tiba dua potongan tubuh itu menyatu dan hidup lagi, bangkit seperti sediakala. Dajjal berkata kepadanya, “Apakah engkau belum percaya juga kepadaku??”
Lelaki mukmin itu berkata, “Tidak, justru pengetahuanku tentang engkau bertambah jelas, engkaulah al masih sang pendusta besar, Dajjal!!”
Setelah itu ia berkata kepada yang lainnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Dajjal tidak akan bisa berbuat seperti ini lagi kepada siapapun, setelah apa yang dilakukannya seperti ini kepadaku…!!”
Dajjal makin marah mendengarnya, ia memegang lelaki mukmin itu dan bermaksud menyembelihnya, tetapi tiba-tiba Allah membuat leher dan daerah sekitarnya dari lelaki mukmin itu menjadi sekeras baja. Bagaimanapun upaya Dajjal untuk memotong lehernya sia-sia belaka, akhirnya dengan kemarahan memuncak ia memegang dua tangan dan dua kaki lelaki mukmin itu, dan melemparkannya ke arah neraka yang diciptakannya. Para pasukannya bersorak-sorak gembira melihatnya masuk neraka, tetapi pada hakekatnya lelaki mukmin itu dilemparkan ke surga.
Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini, beliau berkomentar, “Itulah manusia yang paling besar persaksiannya/kesyahidannya menurut Tuhan Semesta Alam!!”
Setelah peristiwa itu, Dajjal tidak mampu lagi berbuat semena-mena kepada manusia. Tidak lama setelah itu Allah memerintahkan Nabi Isa AS turun ke bumi, yakni pada menara putih di sebelah timur Damaskus dengan berpegangan pada sayap dua malaikat. Beliau mencari Dajjal dan bertemu di Babul Lud, sebuah tempat di Palestina, sekitar 3 km dari Baitul Maqdis, dan berhasil membunuhnya. Nabi Isa mendatangi orang-orang yang dilindungi Allah dari fitnah Dajjal tetapi keadaannya memprihatinkan, setelah beliau mengusap wajahnya sambil memberitahukan kedudukannya di surga, mereka kembali seperti sediakala.  
           
Note:Fum,phsm,sb2,sm,tg2,rs2,dis,

Selasa, 01 April 2014

Ketika Ibrahim bin Muhammad SAW Meninggal

            Nabi SAW pernah menasehati para sahabat agar bersabar ketika ada anggota keluarga atau orang yang dicintainya meninggal dunia. Bahkan beliau melarang kebiasaan di masa jahiliah atau tradisi di negeri-negeri lainnya, yakni mereka yang meratap dan menjerit-jerit, bahkan merobek-robek pakaiannya ketika orang yang dicintainya meninggal dunia. Tetapi para sahabat sempat terheran-heran melihat beliau bercucuran air mata ketika putra beliau, Ibrahim meninggal dunia.
            Ibrahim adalah putra beliau dari Mariyah al Qibtiyah, istri jariyah (yakni budak) pemberian dari gubernur Mesir Muqauqis. Setelah hampir sepuluh tahun ditinggalkan Khadijah, dan menikah dengan beberapa orang wanita, seorang gadis, yakni Aisyah binti Abu Bakar dan lainnya adalah janda, ternyata beliau tidak dikarunia anak keturunan. Karena itulah Nabi SAW sangat menyayangi putranya tersebut, walau bukan dalam arti ada ambisi pribadi untuk ‘mewariskan’ pemerintahan Islam Madinah kepadanya, apalagi mewariskan kenabian, sama sekali tidak!!
            Saat itu pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah telah diakui eksistensinya di jazirah Arabia, bahkan oleh dua imperium besar yang paling berkuasa sebelumnya, Persia dan Romawi. Dalam perang terakhir yang dipimpin sendiri oleh Nabi SAW, yakni Perang Tabuk, pasukan Romawi justru memilih untuk meninggalkan gelanggang sebelum pasukan muslimin sampai di sana, padahal jumlah mereka berlipat-lipat jauh lebih besar. Karena itulah kehadiran Ibrahim seolah menjadi hiburan dan ‘pengobat kelelahan’ bagi beliau setelah perjuangan yang begitu berat dan lama. Apalagi saat itu beliau hanya tinggal memiliki satu anak, Fatimah az Zahrah, yang telah menikah pula. Nabi SAW seolah-olah dibawa kembali pada kenangan-kenangan bersama Khadijah, ketika menimang dua orang putra beliau, Qashim dan Thahir, yang meninggal ketika masih sangat kecil.
            Tetapi kesenangan Nabi SAW dengan kehadiran Ibrahim berlangsung tidak terlalu lama, hanya beberapa bulan saja. Suatu ketika seorang utusan memberitahukan kalau Ibrahim sedang sakit yang cukup parah, maka beliau, bersama Abdurrahman bin Auf dan beberapa sahabat lainnya, segera mendatangi kediaman istri jariyahnya tersebut di luar kota Madinah, sebuah rumah sederhana di samping kebun kurma. Kini dikenal dengan nama Masyraba Ummu Ibrahim. Nabi SAW tampak sangat sedih, bahkan lemas sehingga berjalan setengah bersandar kepada Ibnu Auf. Begitu masuk rumah dan mendapati Ibrahim dengan nafas-nafasnya yang terakhir, beliau langsung merengkuhnya dan menaruhnya dalam pangkuan. Beliau bersabda, “Wahai Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Tuhan."
            Tidak lama kemudian ia meninggal dunia, dan tak urung Nabi SAW bercucuran air mata penuh kesedihan. Mariyah dan saudaranya Sirin menangis dengan suara yang cukup keras. Melihat keadaan beliau itu, Abdurrahman bin Auf berkata, seolah-olah menegur, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah melarang orang-orang berbuat seperti ini? (yakni menangisi orang yang meninggal) Jika orang-orang melihat engkau menangis, tentulah mereka juga akan ikut menangis!!”
            Beliau bersabda, “Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang adalah menangis dengan suara keras, dan meratapi apa yang tidak layak diratapi. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang, ialah pengaruh cinta dan kasih sayang di dalam hati. Siapa yang tiada menunjukkan rasa kasih sayangnya, maka orang lainpun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya..."
            Kemudian beliau bersabda lagi, “Oh Ibrahim, kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami yang kemudian akan menyusul orang yang sudah lebih dahulu daripada kami, tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini."
            Kemudian Nabi SAW menenangkan Mariyah dan Sirin sambil bersabda, “Ia akan mendapat anugerah inang pengasuh di surga!!”
            Jasad Ibrahim dimandikan oleh Umm Burdah (atau oleh Fadhl bin Abbas dalam riwayat lainnya). Setelah dishalatkan, ia dibawa di atas sebuah ranjang kecil menuju Baqi. Nabi SAW, Abbas, dan beberapa kaum Muslimin ikut mengantarkannya. Selesai pemakaman Nabi SAW meratakan dengan tangan beliau sendiri. Beliau memercikkan air dan memberi tanda di atas kubur itu, dan bersabda, "Sebenarnya hal ini tidak membawa kerugian, dan juga tidak mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya akan menyenangkan hati orang yang masih hidup. Apabila orang mengerjakan sesuatu, Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna."
            Saat kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi matahari gerhana. Orang-orang menganggap bahwa peristiwa itu suatu mujizat, matahari mengalami gerhana karena Ibrahim meninggal, seolah-olah alam ikut bersedih. Mungkin dengan anggapan seperti itu, bisa mengurangi kesedihan yang dirasakan oleh Nabi SAW. Tetapi beliau langsung mematahkan anggapan yang berbau takahyul tersebut, dengan bersabda, "Matahari dan bulan ialah salah satu tanda-tanda kebesaran Tuhan. Tidak akan jadi gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah kalian kepada Allah dengan berdzikir dan berdoa."

Note:snh,sn,ash194

Lima Peringatan Nabi SAW

            Suatu ketika Nabi SAW datang di antara para sahabat Muhajirin dan bersabda, “Wahai para sahabat Muhajirin, ada lima perkara, jika kalian diuji dengan lima perkara itu, hendaklah kalian berlindung kepada Allah, dan sungguh aku telah terlebih dahulu berlindung (kepada Allah) darinya. Semoga kalian tidak akan pernah mendapatinya …..”
            Selanjutnya beliau menjelaskan, yang pertama adalah : Tiada menjalar pelacuran atau tindak asusila pada suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan, bahkan dilegalisir, kecuali akan menjalar pada mereka wabah (penyakit) tha’un dan berbagai macam penyakit yang tidak pernah terjadi pada nenek moyang mereka di masa lalu.
            Kedua adalah : Tidaklah menjalar praktek mengurangi takaran dan timbangan, kecuali akan dilanda bala’ atau musibah berkurangnya hasil bumi dan beban kehidupan sehari-hari yang berat, serta penguasa yang dholim atau kejam.
            Ketiga adalah : Tidaklah orang-orang yang kaya menahan atau menolak membayar zakat hartanya, kecuali hujan akan tertahan turun dari langit, sehingga seandainya tidak ada hewan ternak, tentulah hujan tidak akan pernah turun lagi.
            Keempat adalah : Tidaklah suatu kaum menyalahi janjinya kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan mendatangkan kepada mereka penjajah dari golongan lainnya, yang akan merampas sebagian dari harta milik mereka.
            Kelima adalah : Tidaklah para pemimpin (para imam) menghukum dengan hukum selain kitab Allah (atau berlawanan dengan kitabullah), serta memilih dan memilah hukum dalam kitabullah (yakni hanya yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan nafsunya yang dipakai), kecuali Allah akan menjadikan kebinasaan/kerusakan timbul di antara mereka sendiri.     

Note:ii524