Pada tahun 9 Hijriah Nabi SAW
menggerakkan pasukan ke Tabuk untuk menghadapi pasukan Romawi yang banyak
melakukan gangguan dan serangan ke wilayah-wilayah kaum muslimin. Perang ini
disebut juga dengan jaisyul ‘usyra, yakni perang di masa yang sulit, karena
saat itu Madinah dalam masa paceklik, para penduduknya dalam masa yang sulit.
Cuaca saat itu juga sedang panas-panasnya sehingga perjalanan ke Tabuk juga
luar biasa beratnya.
Walau pada akhirnya peperangan ini
tidak terjadi karena pasukan Romawi memilih untuk pergi (melarikan diri)
sebelum Nabi SAW sampai di Tabuk, tetapi kaum muslimin yang mengikuti pasukan
ini benar-benar mengalami perjuangan hidup yang sangat hebat dan berat,
berjuang dalam menetapi keimanan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Pernah ketika sedang tinggal di Tabuk, hampir semua sahabat mengalami
kelaparan, termasuk Nabi SAW. Salah seorang dari mereka berkata, “Wahai
Rasulullah, seandainya tuan mengijinkan maka kami akan menyembelih hewan
tunggangan kami, sehingga kita bisa makan dan dapat menambah kekuatan kita!!”
“Lakukanlah!!” Kata Nabi SAW
memberikan ijin.
Mendengar percakapan itu, Umar bin
Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau mengijinkan (dan akan banyak
sahabat lain yang mengikuti), maka hanya tinggal sedikitlah kendaraan kita!!
Tetapi engkau perintahkan saja mereka yang masih memiliki sisa-sisa makanan
untuk mengumpulkannya, lantas engkau berdoa kepada Allah agar sisa-sisa makanan
itu membawa keberkahan bagi kita semua!!”
Memang di saat itu tunggangan yang
dipergunakan hanya sedikit karena keadaan yang sulit tersebut. Kebanyakan satu
ekor unta atau kuda dipergunakan untuk tunggangan dua orang, bahkan tiga orang
secara bergantian, dan banyak juga yang berjalan kaki. Abu Dzar al Ghifari
mengendarai seekor keledai yang tua dan lemah sehingga ia tertinggal jauh dalam
perjalanan itu. Akhirnya ia melepas bebas keledainya itu dan memanggul
bawaannya di punggungnya, dan berjalan kaki menyusul Nabi SAW dan pasukan
muslimin lainnya yang berada jauh di depan.
Apa yang diusulkan oleh Umar
tersebut adalah ‘konsep’ dari kaum Asy’ariyyin, yakni kaumnya sahabat Abdullah
bin Qais, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Musa al Asy’ary. Nabi SAW menyatakan
bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, dan memberi
gambaran tentang mereka, "Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa
kekurangan makanan dalam pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan
semua makanan yang tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka
ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!"
“Ya, benar!!” Kata Nabi SAW,
kemudian beliau menghamparkan kain (dalam riwayat lain, sorban beliau) dan
memerintahkan seorang sahabat untuk menyeru agar mereka yang mempunyai sisa
makanan untuk meletakkan pada kain tersebut.
Satu persatu para sahabat mengambil
makanan dari kain yang terhampar itu dan memenuhi tempat makanannya. Tidak
seorangpun kecuali telah mengambil dan makan dengan kenyangnya, tetapi makanan
di hamparan kain itu seperti tidak berkurang jumlahnya, padahal jumlah pasukan
yang dibawa Rasulullah SAW ke Tabuk sebanyak 30.000 orang. Setelah semua itu,
Nabi SAW bersabda, “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa annii rasuulullaah (aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan sesungguhnya aku adalah
utusan Allah). Tidak ada seorangpun hamba (manusia) yang menghadap kepada Allah
tanpa ragu-ragu dengan dua kalimat ini, yang akan terhalang dari surga…”
Maksudnya, setiap orang yang
menghadap kepada Allah dengan membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ada
keraguan sedikitpun (yakni, sangat yakin), maka dipastikan akan masuk surga.
luar biasa ...
BalasHapus