Berada pada lingkungan yang tidak
sesuai dengan karakter jiwanya sungguhlah tidak mudah, dan itulah yang
dirasakan oleh Rasulullah SAW. Untungnya, ketika dalam pengasuhan Abu Thalib
yang merupakan tokoh Quraisy penyembah berhala, beliau ‘dibebaskan’ dengan
sikap dan pemikiran beliau sendiri, tidak dipaksa dan ‘dididik’ untuk mengikuti
keyakinan pamannya tersebut.
Ketika menikah, Nabi SAW mendapat
dukungan penuh dari istrinya, Khadijah binti Khuwailid, yang sejak lama memang
telah terpikat dengan keluhuran dan ketinggian akhlak beliau. Ia termasuk orang
yang ‘berpendidikan’ dan terjaga, ia tidak hanya mengenal lingkungan Quraisy
dan seluk beluknya, tetapi ia juga mengenal agama wahyu sebelumnya, yakni
Nashrani. Hal ini disebabkan anak pamannya (yakni sepupunya), Waraqah bin
Naufal adalah seorang pemeluk Nashrani yang taat dan sangat mengenal kitab
Injil, dan ia cukup akrab dengannya.. Karena itulah Nabi SAW sangat mencintai
dan menyayangi Khadijah, tidak hanya sebagai istri, tetapi juga sebagai sahabat
yang bisa menjadi sandaran ketika beliau mengalami ‘keresahan’ dalam pencarian
hakekat kebenaran.
Dari tahun ke tahun, seolah-olah Nabi
SAW asyik menjelajah waktu, tenggelam
dalam ‘pencarian’ dan perenungan untuk mematangkan pemikiran dan kejiwaan
beliau. Puncaknya adalah tahun-tahun menjelang usia 40 tahun, beliau sangat
senang mengasingkan diri (berkhalwat) ke Gua Hira di Jabal Nur, sekitar dua mil
(3 km) dari Kota Makkah. Di gua yang tidak terlalu besar tersebut, sekitar satu
hasta kali empat hasta, beliau merenungkan berbagai macam hal, termasuk hal-hal
yang tersembunyi di balik kenyataan. Beliau membawa bekal secukupnya, yang
biasanya cukup untuk satu bulan di dalam gua Hira. Setelah bekalnya habis,
beliau kembali ke rumah di Makkah. Setelah beberapa hari di rumah, beliau
kembali lagi ke Gua Hira meneruskan "uzlah" dan perenungan beliau.
Sekitar tiga tahun lamanya Nabi SAW
berkhalwat di Gua Hira, dan setelah genap berusia 40 tahun (dalam hitungan
qomariah/hijriah), beliau memperoleh impian yang mirip dengan suasana fajar
menyingsing di waktu subuh. Mimpi yang bisa dikatakan sebagai permulaan
nubuwwah itu terjadi pada Bulan Rabi’ul Awwal. Dan impian sama seperti itu
berulang-ulang datang selama enam bulan, hingga pada suatu malam ketika sedang
berada di gua Hira, saat itu hari senin tanggal 21 Ramadhan (sebagian pendapat
menyatakan tanggal 27, 17, 18 atau 7
Ramadhan), Nabi SAW didatangi sosok, yang kemudian dikenali sebagai Malaikat
Jibril, yang berkata kepada beliau, "Bacalah"
Beliau gemetar melihat kehadiran
sosok Malaikat Jibril yang tidak/belum dikenalinya ini, dan berkata, "Saya
tidak bisa membaca!!"
Memang Nabi SAW tidak mengerti baca
tulis, karena itu beliau sering disebut dengan Nabiyyil Ummi (Nabi yang buta
huruf). Malaikat Jibril memegang dan mendekap Nabi SAW hingga beliau merasa
sesak. Kemudian melepaskannya lagi dan berkata, "Bacalah!!"
Nabi SAW berkata lagi, "Saya
tidak bisa membaca…!!"
Malaikat Jibril mendekap beliau
hingga beliau merasa sesak, kemudian melepaskannya. Hal itu masih berulang
sekali, setelah itu Malaikat Jibril berkata, "Iqra' bismi rabbikalladzii
kholaq, kholaqol insaana min alaq, Iqra' wa rabbukal akram, alladzii 'allama
bil qolam, 'allamal insaana maa lam ya'lam." (QS Al Alaq 1-5).
Artinya lebih kurang sebagai
berikut : Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang telah menciptakan; Dia menciptakan
manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah; Yang
mengajar dengan perantaraan kalam (pena); Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
Itulah wahyu pertama yang
diturunkan Allah kepada Nabi SAW lewat Malaikat Jibril. Beliau mengulang
kalimat-kalimat wahyu tersebut dengan lancar, walaupun dengan hati yang
gemetar, kemudian Malaikat Jibril berlalu (menghilang). Beliau segera turun
dari Gua Hira dan pulang ke Makkah. Badan beliau menggigil seperti orang yang
terkena penyakit demam. Setelah bertemu istri beliau, Khadijah, beliau berkata,
"Selimutilah aku, Selimutilah aku!!"
Khadijah menyelimuti beliau, dan
setelah mulai tenang, beliau berkata, "Apa yang terjadi denganku?"
Kemudian beliau menceritakan semua
peristiwa yang beliau alami di dalam Gua Hira malam itu, dan menutupnya dengan
berkata, "Sesungguhnya aku mengkhawatirkan keadaan diriku
sendiri..!!"
Khadijah dengan bijak berkata,
"Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakan dirimu selamanya, karena
engkau suka menyambung tali persaudaraan, ikut membawakan dan meringankan beban
orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu dan menolong orang
yang menegakkan kebenaran…!!"
Beberapa tahun sebelum
pernikahannya dengan Nabi Muhammad SAW (saat itu belum menjadi Nabi SAW),
Khadijah pernah bermimpi, matahari turun dari langit ke atas Kota Makkah,
kemudian matahari itu meluncur masuk ke rumahnya, dan menerangi seluruh penjuru
rumahnya, dan juga lingkungan sekelilingnya. Mimpi yang begitu berkesan
tersebut diceritakan kepada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal. Dengan
pemahamannya atas kitab Injil dan kitab lainnya, ia berkata, "Sungguh akan
turun (datang) seorang nabi dari Kota Makkah, dan engkau (Khadijah) akan
menjadi istrinya, dan nabi tersebut akan menyampaikan dakwah dari dalam
rumahmu…!!"
Dengan cerita yang disampaikan Nabi
SAW itu, segera saja Khadijah teringat akan impiannya belasan tahun sebelumnya.
Ia mengajak Nabi SAW untuk menemui Waraqah bin Naufal, yang saat itu usianya
telah sangat lanjut dan matanya telah buta. Setelah bertemu, Khadijah berkata,
"Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita dari anak saudaramu ini (yakni Nabi
Muhammad SAW)!!"
Waraqah berkata kepada Nabi SAW,
"Apa yang telah engkau lihat, wahai anak saudaraku??"
Nabi SAW menceritakan secara detail
pengalaman beliau ketika didatangi sosok (Malaikat Jibril) di Gua Hira.
Mendengar cerita tersebut, Waraqah berkata dengan rona wajah gembira, "Itu
adalah Namus (yakni, Malaikat Jibril) yang diturunkan Allah kepada Musa!! Andai
saja aku masih muda ketika masa itu tiba…andai saja aku masih hidup ketika
kaummu mengusirmu..!!"
Matanya yang telah memutih dan buta
tersebut tampak berbinar-binar penuh harapan. Nabi SAW berkata, "Benarkah
mereka akan mengusirku??"
"Benar, tak seorangpun yang
membawa seperti apa yang engkau bawa, kecuali dia akan dimusuhi…" Kata
Waraqah, matanya yang buta tampak menerawang jauh, kemudian berkata lagi,
"Andai saja aku masih hidup pada masamu nanti (diangkat menjadi Rasul),
tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh…!!"
Nabi SAW menjadi lebih tenang
dengan penjelasan Waraqah bin Naufal.
Beberapa waktu bulan berselang, sebagian
menyebutkan beberapa hari, atau lainnya beberapa bulan (ada juga pendapat yang
menyebutkan hingga 3 tahun), wahyu tersebut seakan terputus dan beliau menjadi
bimbang. Pada dasarnya, Nabi SAW sangat tidak suka dengan penyair dan
syair-syairnya. Ketika wahyu pertama tersebut terputus seakan tidak ada
kelanjutannya, beliau berfikir jangan-jangan itu sekedar syair semata,
sebagaimana syair-syair yang disenandungkan oleh kaum Quraisy, dan hal itu
menyebabkan beliau sangat gelisah.
Dalam puncak kegelisahan tersebut,
beliau ingin mati saja dengan menerjunkan diri dari puncak gunung yang tinggi.
Beliau mendaki sebuah gunung, tetapi belum jauh mendaki, tiba-tiba terdengar
suara dari langit, "Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku
adalah Jibril…!!"
Beliau mendongakkan kepala ke
langit, dan di sana
beliau melihat Jibril dalam rupa seorang lelaki dengan wajah sangat berseri,
kedua kakinya menapak di ufuk langit. Sekali lagi Jibril berkata, "Wahai
Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku adalah Jibril…!!"
Nabi SAW hanya terdiam dalam
kebingungan, kaki beliau seakan terpaku ke bumi, tidak bisa bergerak maju
ataupun mundur. Setiap kali beliau berpaling ke arah langit yang lain, sosok
Jibril tersebut telah ada di sana
dengan tersenyum kepada beliau. Peristiwa tersebut berlangsung beberapa waktu
lamanya, setelah Malaikat Jibril telah benar-benar lenyap (pergi) dari ufuk
langit, barulah beliau bisa menggerakkan kaki dan beliau segera pulang ke Makkah.
Sementara itu di Makkah, Khadijah
merasa kehilangan Nabi SAW. Ia telah mengutus beberapa orang untuk mencari
keberadaan beliau di Makkah dan sekitarnya tetapi mereka tidak bisa menemukan
beliau. Setelah para pencari tersebut pulang dengan tangan hampa dan kembali ke rumahnya
masing-masing, barulah Nabi SAW sampai di rumah, dan beliau langsung duduk di
paha Khadijah dan bersandar kepada istrinya tercinta tersebut. Khadijah
berkata, "Darimana saja engkau, wahai Abul Qasim? Sungguh aku telah mengirim
beberapa orang untuk mencarimu ke Makkah dan sekitarnya, tetapi mereka pulang
dengan tangan hampa…!!"
Nabi SAW menceritakan peristiwa yang
dialaminya dengan lengkap, setelah itu Nabi SAW tertidur karena cape. Khadijah
segera menemui Waraqah dan menceritakan pengalaman Nabi SAW tersebut, dengan
gembira Waraqah berkata, "Mahasuci, Mahasuci, demi diri Waraqah yang ada
di Tangan-Nya, Namus yang besar, yang pernah datang kepada Musa kini benar-benar telah datang
kepadanya (lagi), dia (Muhammad SAW) adalah benar-benar nabi umat ini…!!
Katakan kepadanya agar ia berteguh hati..!!"
Khadijah segera kembali ke rumah.
Setelah Nabi SAW bangun dari tidurnya, Khadijah berkata, "Bergembiralah
anak pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang berada di
Tangan-Nya, aku benar-benar berharap engkau akan menjadi nabi dari umat
ini…!!"
Beberapa waktu kemudian, ketika
Nabi SAW bertemu langsung dengan Waraqah bin Naufal, beliau menceritakan
pengalaman beliau tersebut, dan sekali lagi Waraqah berkata dengan gembira,
"Demi diri Waraqah yang ada di Tangan-Nya, engkau adalah benar-benar nabi
umat ini. Namus yang besar telah datang
kepadamu, sebagaimana ia pernah datang kepada Musa…!!"
Setelah beberapa waktu berlalu
‘kegoncangan jiwa’ beliau berangsur sirna, dan tumbuhlah keyakinan bahwa Allah
Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar telah menetapkan beliau sebagai Nabi umat ini,
Nabi akhir zaman. Tentu semua itu tidak lepas dari dukungan moral dan pemahaman
yang diberikan oleh istrinya, Khadijah dan juga Waraqah bin Naufal. Sayangnya
tidak lama setelah itu, Waraqah meninggal dunia.
Beberapa hari berlalu, ketika Nabi
SAW tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara dari langit, dan tampak malaikat
Jibril yang mendatangi beliau di Gua Hira, sedang duduk di suatu kursi yang
menggantung antara bumi dan langit. Nabi SAW mencoba mendekatinya tetapi
tiba-tiba beliau jatuh terjerembab, dan malaikat Jibril hilang dari pandangan.
Beliau segera pulang dan setibanya di rumah beliau berkata kepada Khadijah,
“Selimutilah aku, selimutiah aku….!!”
Setelah diselimuti oleh istrinya
Nabi SAW mulai tenang. Masih ada sedikit gemetar, tetapi keadaannya tidak
seperti saat pertama kali beliau bertemu malaikat Jibril di Gua Hira. Dan tak
lama berselang Allah menurunkan wahyu, QS Al Muddatstsir ayat 1 s.d. 5, : Hai
orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah.
Dengan turunnya wahyu yang kedua
ini, makin mantaplah beliau akan ‘identitas’ kenabian dan tugas risalah yang
beliau emban dari Allah SWT untuk umat manusia. Wahyu pertama al Iqra (QS al
Alaq 1 – 5) bisa dikatakan sebagai pengenalan (ma’rifat) ‘identitas’ ketuhanan,
yakni Allah SWT sebagai pemberi Risalah. Dan wahyu kedua QS al Muddatstsir 1 –
5, bisa dikatakan ‘wahyu pertama’ tentang kewajiban Nabi SAW menyampaikan
Risalah kepada umat manusia. Wallahu A’lam.
Note : sn89muq79