Nabi SAW pernah menasehati para
sahabat agar bersabar ketika ada anggota keluarga atau orang yang dicintainya
meninggal dunia. Bahkan beliau melarang kebiasaan di masa jahiliah atau tradisi
di negeri-negeri lainnya, yakni mereka yang meratap dan menjerit-jerit, bahkan
merobek-robek pakaiannya ketika orang yang dicintainya meninggal dunia. Tetapi
para sahabat sempat terheran-heran melihat beliau bercucuran air mata ketika
putra beliau, Ibrahim meninggal dunia.
Ibrahim
adalah putra beliau dari Mariyah al Qibtiyah, istri jariyah (yakni budak)
pemberian dari gubernur Mesir Muqauqis. Setelah hampir sepuluh tahun
ditinggalkan Khadijah, dan menikah dengan beberapa orang wanita, seorang gadis,
yakni Aisyah binti Abu Bakar dan lainnya adalah janda, ternyata beliau tidak
dikarunia anak keturunan. Karena itulah Nabi SAW sangat menyayangi putranya
tersebut, walau bukan dalam arti ada ambisi pribadi untuk ‘mewariskan’
pemerintahan Islam Madinah kepadanya, apalagi mewariskan kenabian, sama sekali
tidak!!
Saat
itu pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah telah diakui eksistensinya di
jazirah Arabia, bahkan oleh dua imperium besar yang paling berkuasa sebelumnya,
Persia
dan Romawi. Dalam perang terakhir yang dipimpin sendiri oleh Nabi SAW, yakni
Perang Tabuk, pasukan Romawi justru memilih untuk meninggalkan gelanggang
sebelum pasukan muslimin sampai di sana, padahal jumlah mereka berlipat-lipat
jauh lebih besar. Karena itulah kehadiran Ibrahim seolah menjadi hiburan dan
‘pengobat kelelahan’ bagi beliau setelah perjuangan yang begitu berat dan lama.
Apalagi saat itu beliau hanya tinggal memiliki satu anak, Fatimah az Zahrah,
yang telah menikah pula. Nabi SAW seolah-olah dibawa kembali pada
kenangan-kenangan bersama Khadijah, ketika menimang dua orang putra beliau, Qashim
dan Thahir, yang meninggal ketika masih sangat kecil.
Tetapi
kesenangan Nabi SAW dengan kehadiran Ibrahim berlangsung tidak terlalu lama,
hanya beberapa bulan saja. Suatu ketika seorang utusan memberitahukan kalau
Ibrahim sedang sakit yang cukup parah, maka beliau, bersama Abdurrahman bin Auf
dan beberapa sahabat lainnya, segera mendatangi kediaman istri jariyahnya
tersebut di luar kota
Madinah, sebuah rumah sederhana di samping kebun kurma. Kini dikenal dengan
nama Masyraba Ummu Ibrahim. Nabi SAW tampak sangat sedih, bahkan lemas sehingga
berjalan setengah bersandar kepada Ibnu Auf. Begitu masuk rumah dan mendapati Ibrahim
dengan nafas-nafasnya yang terakhir, beliau langsung merengkuhnya dan
menaruhnya dalam pangkuan. Beliau bersabda, “Wahai Ibrahim, kami tak dapat
menolongmu dari kehendak Tuhan."
Tidak
lama kemudian ia meninggal dunia, dan tak urung Nabi SAW bercucuran air mata
penuh kesedihan. Mariyah dan saudaranya Sirin menangis dengan suara yang cukup
keras. Melihat keadaan beliau itu, Abdurrahman bin Auf berkata, seolah-olah
menegur, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah melarang orang-orang berbuat
seperti ini? (yakni menangisi orang yang meninggal) Jika orang-orang melihat
engkau menangis, tentulah mereka juga akan ikut menangis!!”
Beliau
bersabda, “Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang adalah
menangis dengan suara keras, dan meratapi apa yang tidak layak diratapi. Apa
yang kamu lihat dalam diriku sekarang, ialah pengaruh cinta dan kasih sayang di
dalam hati. Siapa yang tiada menunjukkan rasa kasih sayangnya, maka orang
lainpun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya..."
Kemudian
beliau bersabda lagi, “Oh Ibrahim, kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji
yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami yang kemudian akan menyusul orang
yang sudah lebih dahulu daripada kami, tentu akan lebih lagi kesedihan kami
dari ini."
Kemudian
Nabi SAW menenangkan Mariyah dan Sirin sambil bersabda, “Ia akan mendapat
anugerah inang pengasuh di surga!!”
Jasad
Ibrahim dimandikan oleh Umm Burdah (atau oleh Fadhl bin Abbas dalam riwayat
lainnya). Setelah dishalatkan, ia dibawa di atas sebuah ranjang kecil menuju
Baqi. Nabi SAW, Abbas, dan beberapa kaum Muslimin ikut mengantarkannya. Selesai
pemakaman Nabi SAW meratakan dengan tangan beliau sendiri. Beliau memercikkan
air dan memberi tanda di atas kubur itu, dan bersabda, "Sebenarnya hal ini
tidak membawa kerugian, dan juga tidak mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya
akan menyenangkan hati orang yang masih hidup. Apabila orang mengerjakan
sesuatu, Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna."
Saat
kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi matahari gerhana. Orang-orang menganggap
bahwa peristiwa itu suatu mujizat, matahari mengalami gerhana karena Ibrahim
meninggal, seolah-olah alam ikut bersedih. Mungkin dengan anggapan seperti itu,
bisa mengurangi kesedihan yang dirasakan oleh Nabi SAW. Tetapi beliau langsung
mematahkan anggapan yang berbau takahyul tersebut, dengan bersabda, "Matahari
dan bulan ialah salah satu tanda-tanda kebesaran Tuhan. Tidak akan jadi gerhana
karena kematian atau hidupnya seseorang. Kalau kamu melihat hal itu,
berlindunglah kalian kepada Allah dengan berdzikir dan berdoa."
Note:snh,sn,ash194
Tidak ada komentar:
Posting Komentar