Selasa, 01 April 2014

Ketika Ibrahim bin Muhammad SAW Meninggal

            Nabi SAW pernah menasehati para sahabat agar bersabar ketika ada anggota keluarga atau orang yang dicintainya meninggal dunia. Bahkan beliau melarang kebiasaan di masa jahiliah atau tradisi di negeri-negeri lainnya, yakni mereka yang meratap dan menjerit-jerit, bahkan merobek-robek pakaiannya ketika orang yang dicintainya meninggal dunia. Tetapi para sahabat sempat terheran-heran melihat beliau bercucuran air mata ketika putra beliau, Ibrahim meninggal dunia.
            Ibrahim adalah putra beliau dari Mariyah al Qibtiyah, istri jariyah (yakni budak) pemberian dari gubernur Mesir Muqauqis. Setelah hampir sepuluh tahun ditinggalkan Khadijah, dan menikah dengan beberapa orang wanita, seorang gadis, yakni Aisyah binti Abu Bakar dan lainnya adalah janda, ternyata beliau tidak dikarunia anak keturunan. Karena itulah Nabi SAW sangat menyayangi putranya tersebut, walau bukan dalam arti ada ambisi pribadi untuk ‘mewariskan’ pemerintahan Islam Madinah kepadanya, apalagi mewariskan kenabian, sama sekali tidak!!
            Saat itu pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah telah diakui eksistensinya di jazirah Arabia, bahkan oleh dua imperium besar yang paling berkuasa sebelumnya, Persia dan Romawi. Dalam perang terakhir yang dipimpin sendiri oleh Nabi SAW, yakni Perang Tabuk, pasukan Romawi justru memilih untuk meninggalkan gelanggang sebelum pasukan muslimin sampai di sana, padahal jumlah mereka berlipat-lipat jauh lebih besar. Karena itulah kehadiran Ibrahim seolah menjadi hiburan dan ‘pengobat kelelahan’ bagi beliau setelah perjuangan yang begitu berat dan lama. Apalagi saat itu beliau hanya tinggal memiliki satu anak, Fatimah az Zahrah, yang telah menikah pula. Nabi SAW seolah-olah dibawa kembali pada kenangan-kenangan bersama Khadijah, ketika menimang dua orang putra beliau, Qashim dan Thahir, yang meninggal ketika masih sangat kecil.
            Tetapi kesenangan Nabi SAW dengan kehadiran Ibrahim berlangsung tidak terlalu lama, hanya beberapa bulan saja. Suatu ketika seorang utusan memberitahukan kalau Ibrahim sedang sakit yang cukup parah, maka beliau, bersama Abdurrahman bin Auf dan beberapa sahabat lainnya, segera mendatangi kediaman istri jariyahnya tersebut di luar kota Madinah, sebuah rumah sederhana di samping kebun kurma. Kini dikenal dengan nama Masyraba Ummu Ibrahim. Nabi SAW tampak sangat sedih, bahkan lemas sehingga berjalan setengah bersandar kepada Ibnu Auf. Begitu masuk rumah dan mendapati Ibrahim dengan nafas-nafasnya yang terakhir, beliau langsung merengkuhnya dan menaruhnya dalam pangkuan. Beliau bersabda, “Wahai Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Tuhan."
            Tidak lama kemudian ia meninggal dunia, dan tak urung Nabi SAW bercucuran air mata penuh kesedihan. Mariyah dan saudaranya Sirin menangis dengan suara yang cukup keras. Melihat keadaan beliau itu, Abdurrahman bin Auf berkata, seolah-olah menegur, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah melarang orang-orang berbuat seperti ini? (yakni menangisi orang yang meninggal) Jika orang-orang melihat engkau menangis, tentulah mereka juga akan ikut menangis!!”
            Beliau bersabda, “Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang adalah menangis dengan suara keras, dan meratapi apa yang tidak layak diratapi. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang, ialah pengaruh cinta dan kasih sayang di dalam hati. Siapa yang tiada menunjukkan rasa kasih sayangnya, maka orang lainpun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya..."
            Kemudian beliau bersabda lagi, “Oh Ibrahim, kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami yang kemudian akan menyusul orang yang sudah lebih dahulu daripada kami, tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini."
            Kemudian Nabi SAW menenangkan Mariyah dan Sirin sambil bersabda, “Ia akan mendapat anugerah inang pengasuh di surga!!”
            Jasad Ibrahim dimandikan oleh Umm Burdah (atau oleh Fadhl bin Abbas dalam riwayat lainnya). Setelah dishalatkan, ia dibawa di atas sebuah ranjang kecil menuju Baqi. Nabi SAW, Abbas, dan beberapa kaum Muslimin ikut mengantarkannya. Selesai pemakaman Nabi SAW meratakan dengan tangan beliau sendiri. Beliau memercikkan air dan memberi tanda di atas kubur itu, dan bersabda, "Sebenarnya hal ini tidak membawa kerugian, dan juga tidak mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya akan menyenangkan hati orang yang masih hidup. Apabila orang mengerjakan sesuatu, Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna."
            Saat kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi matahari gerhana. Orang-orang menganggap bahwa peristiwa itu suatu mujizat, matahari mengalami gerhana karena Ibrahim meninggal, seolah-olah alam ikut bersedih. Mungkin dengan anggapan seperti itu, bisa mengurangi kesedihan yang dirasakan oleh Nabi SAW. Tetapi beliau langsung mematahkan anggapan yang berbau takahyul tersebut, dengan bersabda, "Matahari dan bulan ialah salah satu tanda-tanda kebesaran Tuhan. Tidak akan jadi gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah kalian kepada Allah dengan berdzikir dan berdoa."

Note:snh,sn,ash194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar