Senin, 30 April 2012

Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (3) Ketika Ka’bah Dibangun Kembali

Lima tahun sebelum Nubuwwah, yakni ketika Nabi Muhammad SAW berusia 35 tahun, masyarakat Quraisy memutuskan untuk merenovasi Ka’bah. Keadaan Ka’bah saat itu hanya berupa susunan batu-batu yang lebih tinggi dari badan manusia, yang telah dibuat sejak zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tanpa perbaikan yang memadai. Bagian atasnya dalam keadaan terbuka tanpa atap, sehingga sering ada pencurian terhadap barang-barang yang ada di dalamnya. Beberapa waktu sebelumnya juga terjadi banjir hingga melanda Baitullah, akibatnya keadaan Ka’bah makin memprihatinkan saja.
Semua pemuka kabilah dari suku Quraisy bermusyawarah, dan mereka memutuskan untuk merenovasi Ka’bah. Tetapi mereka mereka memutuskan hanya akan mencari dan mengumpulkan bahan dan dana dari jalan yang ‘baik-baik’ saja (halal, istilah syariatnya). Walau ‘maksiat’ adalah hal yang biasa bagi umumnya mereka, tetapi untuk renovasi Ka’bah itu mereka memutuskan untuk menolak ‘sumbangan’ dan pengumpulan dana dari hasil kedzaliman, hasil transaksi yang mengandung riba, dari hasil merampas atau merampok, penggelapan atau korupsi, pelacuran dan berbagai cara ‘maksiat’ lainnya.
Sempat terjadi kebimbangan ketika akan merobohkan bangunan lama, mereka takut terkena bala’ jika melakukannya. (Jawa, kuwalat). Mereka sangat memuliakan Ka’bah, melebihi berhala-berhala sesembahannya. Akhirnya Walid bin Mughirah al Makhzumy yang mengawali melakukannya. Setelah beberapa saat lamanya tidak terjadi apa-apa pada Walid, mereka baru berani bergerak bersama-sama merobohkannya.
Untuk membangun kembali Ka’bah, kaum Quraisy mendatangkan seorang ‘arsitek’ dari Romawi bernama Pachomius, atau lebih dikenal dengan nama Baqum. Mereka bergotong-royong mengerjakannya, setiap kabilah diserahi satu bagian dari Ka’bah. Nabi SAW juga terjun langsung dalam pembangunan itu, beliau bekerja berdampingan dengan paman beliau, Abbas bin Abdul Muthalib, mengangkat batu-batuan. Kebanyakan orang mengangkat jubahnya hingga di atas lutut dalam bekerja, tetapi beliau tetap membiarkannya hingga hampir pertengahan betis atau mata kaki. Abbas berkata, “Angkatlah jubahmu agar engkau tidak terluka oleh batu!!”
Nabi SAW mengikuti saran Abbas, yang artinya terlihat paha beliau (secara syariat, terlihat auratnya), tetapi seketika itu beliau jatuh terjerembab. Beliau memandang ke langit, kemudian berkata, “Ini gara-gara jubahku (yang terbuka), ini gara-gara jubahku (yang terbuka)!!”
Kemudian beliau membiarkan jubahnya seperti semula, atau malah justru mengikatkannya agar tidak terbuka. Dan setelah peristiwa itu Nabi SAW tidak pernah lagi menampakkan auratnya.
Ketika pembangunan telah sampai pada batas tempat Hajar Aswad, terjadi perselisihan. Masing-masing kabilah merasa paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula, dan tidak ada yang mau mengalah. Perselisihan itu terus berlanjut sehingga pembangunan sempat terhenti selama empat atau lima hari. Begitu panasnya suasana pertentangan ini hingga hampir terjadi perang saudara.
Kabilah Bani Abdid Dar datang membawa baki berisi darah. Mereka mengangkat sumpah bersama Bani Ady bin Ka’ab bin Luay untuk berjuang sampai titik darah penghabisan demi memperoleh kehormatan meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Semua orang dari dua kabilah itu mencelupkan tangannya ke baki berisi darah, dan peristiwa itu terkenal dengan nama Luq’atud-Daam (Jilatan Darah).
Melihat perkembangan situasi yang membahayakan tersebut, para pemuka itu berkumpul di Baitullah untuk mencari jalan tengah. Salah seorang tetua bijaksana yang dihormati di antara mereka, Abu Umayyah bin Mughirah al Makhzumy berkata, “Wahai kaum Quraisy, serahkanlah masalah yang kalian pertentangkan itu kepada orang yang pertama muncul dari pintu masjid ini (yakni pintu Bani Syaibah), dan biarkanlah dia yang memutuskan!!”
Mereka menerima saran dari Abu Umayyah tersebut. Dan tak lama berselang, sepertinya Allah berkehendak menunjukkan keutamaan beliau, Nabi SAW muncul dari pintu Bani Syaibah tersebut. Begitu melihat kemunculan beliau, mereka langsung berseru, “Inilah dia Muhammad, inilah dia al Amin (yang dapat dipercaya), kami rela dengan apa yang diputuskannya!!”
Mereka memanggil Nabi SAW mendekat dan menyampaikan hasil musyawarah mereka. Walau beliau mengetahui terjadinya pertentangan, tetapi selama empat atau lima hari tersebut beliau menjauhkan diri dari mereka, sambil menunggu pembangunan dilanjutkan kembali. Setelah mendengar keputusan mereka itu, beliau meminta selembar kain atau selendang dan dibentangkan, dalam riwayat lain, beliau membentangkan surban beliau. Kemudian beliau meminta setiap pimpinan kabilah untuk memegang sisi-sisi kain atau surban tersebut, beliau meletakkan Hajar Aswad di atasnya dan memerintahkan mereka untuk membawanya ke tempatnya di salah satu sudut Ka’bah. Setibanyanya di sana, Nabi SAW mengambil Hajar Aswad dari tengah kain/surban dan meletakkan/menanamkan pada tempatnya semula.
Para pemuka Quraisy itu sangat gembira dengan keputusan yang diambil oleh Nabi SAW. Mereka terselamatkan dari perpecahan dan pertumpahan darah karena kecerdikan dan kebijakan beliau, yang tak lain adalah bagian dari sisi kenabian (salah satu sifat kenabian, yakni Fathonah), dan mereka mengakui hal itu. Sayangnya, beberapa tahun kemudian ketika beliau menyampaikan Risalah Kebenaran Islam, sebagian besar dari mereka justru menentang habis-habisan. Lebih sayangnya lagi, mereka menentang bukan karena mereka tidak tahu bahwa Islam itu adalah kebenaran, dan Nabi Muhammad SAW adalah orang yang sangat dapat dipercaya sebagaimana mereka mengenali sejak kecil. Tetapi mereka menentang hanya karena gengsi, kesombongan dan arogansi kekuasaan, yang takut terlepas dari tangan mereka.  
Pembangunan Ka’bah dapat dilanjutkan setelah mereka bersatu kembali. Hanya saja mereka kehabisan dana dari sumber-sumber yang baik (yakni, halal), sehingga ada bagian di sisi utara yang tidak terbangun, yakni bagian setengah lingkaran yang kini dikenal dengan nama al Hijir (Ismail) atau al Hathim. Dalam sebuah riwayat, Ummul Mukminin, Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang Hijir Ismail tersebut, “Wahai Rasulullah, apakah ia (Hijir Ismail ini) termasuk dari rumah suci ini??”
Nabi SAW bersabda, “Benar!!”
“Mengapa mereka tidak memasukkannya ke dalam bangunan Ka’bah?” Kata Aisyah.
Beliau bersabda, “Itu karena kaummu tidak mempunyai (kehabisan) dana!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar