Sabtu, 14 April 2012

Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (2) Rahib Nashrani Mengenali Kenabian Beliau

Sejak usia delapan tahun, yakni sejak kematian kakeknya Abdul Muthalib, Nabi SAW diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayahnya. Abu Thalib sangat memperhatikan dan mengistimewakan beliau, melebihi kepada anak-anaknya sendiri. Walau ia bukan orang yang kaya dan berkelimpahan, tetapi ia selalu mendahulukan kepentingan putra saudaranya tersebut. Sikap dan perilakunya yang baik, pekertinya yang luhur, cerdas dan sangat berbakti kepada orang tua dan beberapa hal menarik lainnya, yang menyebabkan Abu Thalib bersikap seperti itu.
Ketika Nabi SAW berusia 12 tahun, Abu Thalib berdagang ke Syam. Sebagian riwayat menyebutkan, ia hanya membawakan barang dagangan orang-orang kaya di Makkah, bukan barang dagangan miliknya sendiri. Ia hanya mengambil gaji atau bagian keuntungan dari barang dagangan yang dibawanya, sama seperti yang dilakukan Nabi SAW kelak, membawa barang dagangan Khadijah RA untuk dijualkan.
Sebenarnya agak berat bagi Abu Thalib untuk membawa beliau yang masih kecil menyeberangi lautan pasir yang begitu luas. Begitu banyak halangan dan kesulitan yang harus dihadapi dalam perjalanan seperti itu. Tetapi ternyata Nabi SAW menyatakan kesediaan dan keikhlasannya untuk mengikuti pamannya tersebut. Tentu sikap beliau itu sangat melegakan, karena pada dasarnya Abu Thalib memang tidak ingin berpisah lama dengan keponakannya yang menakjubkan itu.
Perjalanan kafilah dagang tersebut berjalan lancar. Nabi SAW belajar banyak dari perjalanannya yang pertama ini. Luasnya padang pasir yang seolah tak bertepi, gemerlap gemintang di langit yang jernih dan melengkung sempurna, daerah-daerah yang mempunyai kisah di masa lalu, seperti Madyan, Wadil Qura, peninggalan kaum Tsamud dan lain-lainnya menambah perbendaharaan pengetahuan beliau.
Ketika kafilah dagang ini tiba di daerah Bushra, sudah termasuk wilayah Syam bagian selatan, mereka dihentikan oleh seorang rahib (pendeta) Nashrani yang bernama Bahira (sebagian riwayat menyebutnya Buhaira). Rahib Bahira yang nama aslinya Jurjis ini, sebelumnya tidak pernah meninggalkan tempatnya, ia hanya menghabiskan waktunya untuk ibadah demi ibadah kepada Allah. Bushra adalah wilayah Syam yang sebagian besar penghuninya adalah orang-orang Arab, walau berada di bawah kekuasaan Romawi yang beragama Nashrani. Artinya, keberadaan orang-orang Arab sebenarnya tidak asing bagi Bahira, tetapi hari itu tiba-tiba ia memerintahkan pembantunya menyediakan jamuan yang istimewa untuk tamunya orang-orang Arab.
Bahira memerintahkan pembantunya untuk mengundang anggota kafilah tersebut menjadi tamu kehormatan. Karena menganggap Nabi SAW masih kecil, Abu Thalib meminta beliau menunggu saja di antara unta-unta yang ditinggalkan di luar, dan beliau tidak keberatan. Perjalanan itu sendiri begitu menyenangkan bagi Nabi SAW, apalagi melihat keadaan kota Bushra yang begitu indah dan ‘moderen’ dibandingkan dengan kota Makkah atau daerah ‘pedalaman’ padang pasir lainnya. Sepertinya beliau lebih menyukai berada di luar daripada masuk ke dalam rumah atau tempat tinggal rahib tersebut.
Ketika anggota kafilah masuk ke rumahnya, Bahira memperhatikan mereka satu persatu, kemudian dengan keheranan ia berkata, “Apakah ada di antara kalian yang tertinggal, tidak ikut masuk ke sini??”
Abu Thalib berkata, “Ada keponakanku yang masih kecil tinggal di luar, sambil menjaga unta-unta dan barang dagangan kami!!”
“Bisakah kalian membawanya kemari??” Kata Bahira.
Abu Thalib memerintahkan seseorang untuk menjemput Nabi SAW, dan begitu beliau tiba di hadapan Bahira, rahib itu memperhatikan dengan seksama, termasuk sedikit menyingkap kain beliau di bagian bahu belakang. Sambil memegang tangan Nabi SAW, Bahira berkata, “Anak ini akan menjadi pemimpin semesta alam, anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam!!”
Abu Thalib berkata, “Darimana engkau tahu tentang hal itu?”
Bahira berkata, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan kecuali mereka bersujud kepada anak ini. Mereka tidak sujud, kecuali kepada seorang nabi. Kalau ia berjalan, sebenarnya ia selalu dinaungi awan, hanya saja kalian tidak menyadarinya. Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwwah yang ada di bagian bawah tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel. Aku juga mendapatkan tanda-tanda itu dalam kitab suci agama kami..!!”
Kemudian Bahira mewasiatkan agar menjaga Nabi SAW dengan sebaik-baiknya, bahkan menyarankan untuk membawa beliau pulang ke Makkah, sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi dan Romawi di Syam. Jika mereka mengenali tanda kenabiannya, Bahira khawatir mereka akan mengganggunya, atau bahkan menyakitinya dan membunuhnya. Belum selesai Bahira memberikan nasehatnya kepada Abu Thalib, tampak sembilan orang tentara Romawi menuju rumahnya. Ia menyambutnya dan berkata, “Untuk apa kalian ke sini?”
Salah satu dari mereka berkata, “Kami dengar dari pendeta-pendeta kami bahwa pada bulan ini ada seorang (calon) nabi dari bangsa Arab yang akan mengunjungi negeri ini. Tidak ada satu jalanpun kecuali dikirim penjagaan di sana, dan kami yang bertugas di sini!!”
Bahira berkata, “Bagaimanakah pendapat kalian jika Allah menghendaki sesuatu, dapatkah seseorang, bagaimanapun kuatnya akan mampu  menghalanginya?”
Mereka berkata “Tidak!!”
Bahira berkata lagi, “Karena itu, jika nantinya kalian bertemu dengannya, berba’iatlah kalian kepada Nabi itu, sesungguhnya ia benar-benar seorang Nabi…!!!”
Pasukan itu tinggal di sekitar rumah rahib itu, melakukan penjagaan di jalan masuk ke Syam tersebut. Diam-diam Abu Thalib memerintahkan beberapa orang anggota kafilahnya untuk membawa Nabi SAW pulang ke Makkah, sesuai dengan saran Rahib Bahira tersebut. Tetapi riwayat lain menyebutkan, beliau tetap dibawa serta ke Syam, tetapi dengan pengawasan dan penjagaan ketat dari anggota kafilah lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar