Jumat, 22 Juni 2012

Sebuah Kisah di Balik Isra’ Mi’raj Nabi SAW

            Kisah percakapan, atau lebih tepat dikatakan perdebatan antara mahluk Allah yang bernama bumi dan langit juga menjadi salah satu sebab Allah memperjalankan dan mengundang Nabi SAW untuk menembus langit demi langit untuk langsung menghadap kepada-Nya. Percakapan yang sifatnya membanggakan diri ini mungkin mirip dengan kebanggaan Iblis ketika ia menolak perintah Allah untuk sujud  kepada Nabi Adam AS, “Saya lebih baik daripada dia…dst…!!”
            Perbedaan mendasarnya, kalau Iblis membanggakan dzat dan amal kebaikan dirinya yang dengan itu ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam, sebagai bentuk penghormatan, bukan peribadatan. Sedangkan kebanggaan langit dan bumi, sebagai bentuk syukur atas karunia dan kelimpahan yang diberikan Allah kepadanya. Karena itulah iblis menuai laknat dan kutukan Allah hingga hari kiamat tiba akibat kebanggaannya yang berlebihan, sementara Allah justru menambah karunianya kepada langit, yang kalah dalam perdebatannya dengan bumi.
            Semua itu berawal ketika bumi membanggakan dirinya kepada langit, “Aku lebih baik daripada dirimu, karena Allah menghiasi aku dengan berbagai negeri, lautan, sungai-sungai, pohon-pohon, gunung-gunung dan lain-lainnya.”
            Langit berkata kepada bumi, “Justru aku yang lebih baik dari dirimu, Allah telah menghiasi diriku dengan matahari, bintang-bintang, bulan, cakrawala, planet-planet dan lain sebagainya.”
            Bumi berkata lagi, “Padaku terdapat rumah (Baitullah, Ka’bah) yang selalu dikunjungi oleh para Nabi, para Rasul, para wali dan orang-orang mukmin secara umum, dan mereka selalu berthawaf kepadanya!!”
            Langit tidak mau kalah, ia berkata, “Padaku ada Baitul Ma’mur, di mana para malaikat selalu berthawaf kepadanya. Padaku juga terdapat surga, yang merupakan tempat ruh para Nabi, ruh para Rasul, ruh para wali dan semua ruh orang-orang yang saleh!!”
            Bumi berkata lagi, “Sesungguhnya pimpinan para rasul dan penutup para nabi, Kekasih Allah, Tuhan semesta alam, seorang rasul yang paling mulia dari segala yang ada, Muhammad SAW, yang semoga salam dan penghormatan selalu terlimpah kepadanya, ia tinggal dan menetap pada diriku, dan ia menjalankan syariatnya di atas punggungku!!”
            Mendengar perkataan bumi yang membanggakan akan keberadaan Nabi SAW pada dirinya, langit tidak bisa memberikan argumentasi tandingan yang sepadan. Ia tahu bahwa Nabi SAW adalah mahluk termulia dan yang paling dicintai oleh Allah, dan faktanya tidak pernah sekalipun Nabi SAW menjejakkan kaki pada dirinya, apalagi membuat aktivitas-aktivitas yang membekas dan memberi kesan tersendiri pada beliau. Langit hanya terdiam, merasa kalah dan terpojok dengan dibandingkan posisi bumi.
            Tetapi kemudian langit menghadapkan diri kepada Allah dan berdoa, “Ya Allah, Engkau selalu mengabulkan segala permintaan hamba-hamba-Mu yang dalam keadaan terdesak atau terjepit. Ya Allah, saat ini aku adalah hamba-Mu yang dalam keadaan terdesak dan tidak dapat memberikan jawaban yang sepadan kepada bumi!!”
            Allah memperkenankan doa langit tersebut. Saat itu adalah tanggal duapuluh tujuh Rajab, Allah berfirman, “Wahai Jibril, hentikan dahulu tasbihmu pada malam ini!! Wahai Izrail, pada malam ini janganlah engkau mencabut ruh terlebih dahulu!!”
            Jibril berkata, “Ya Allah, Apakah kiamat telah tiba masanya!!”
            Memang, Jibril dan malaikat-malaikat lainnya tidak akan pernah berhenti melantunkan Tasbih kepada Allah, apapun keadaannya, kecuali jika hari kiamat telah tiba. Allah berfirman lagi, “Tidak, wahai Jibril, tetapi pergilah engkau ke surga, bawalah salah satu buraq di sana dan bawalah Muhammad datang menghadap-Ku malam ini!!”
            Jibril segera memenuhi perintah Allah, ia datang ke surga dan dan melihat empatpuluh ribu Buraq sedang merumput di padang rumput surga, pada kening-kening buraq itu tertulis nama Muhammad SAW. Tampak satu buraq menunduk dan air matanya terus mengalir, tidak merumput seperti yang lainnya. Jibril menghampirinya dan berkata, “Apa yang terjadi dengan dirimu, wahai buraq!!”
            Buraq itu berkata, “Wahai Jibril, sejak empatpuluh tahun yang lalu aku mendengar nama Muhammad SAW, dan hatiku terbakar rindu untuk bisa bertemu dengannya. Kerinduan itu begitu meliputiku sehingga aku tidak bisa lagi makan dan minum, kecuali aku telah bertemu dengan beliau!!”
            Jibril tersenyum dan berkata, “Aku akan menyampaikan dirimu kepada orang yang selama ini kamu rindukan. Malam ini juga engkau akan bertemu dengan Muhammad SAW!!”
            Kemudian Jibril memasang pelana dan tali pengikat dari sutera surga pada buraq itu dan membawanya turun ke bumi. Setelah selesainya peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi SAW, langit bisa memberikan argumentasi kepada bumi dan ia merasa kedudukannya cukup sejajar dengan bumi.

Tanggapan atas Isra’ Mi’raj Nabi SAW

Perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW bukanlah perjalanan biasa, dan bukan pula sebuah perjalanan luar biasa dalam jangkauan pemikiran manusia, tetapi lebih dari semua itu adalah sebuah perjalanan mu’jizat. Artinya, setinggi apapun nantinya ilmu pengetahuan itu akan mencapai posisinya, sebanyak apapun nantinya rahasia alam semesta itu terungkap oleh manusia, mereka tidak akan pernah bisa “menapak-tilasi” perjalanan yang telah dialami oleh Nabi SAW dalam peristiwa Isra’ Mi’raj itu secara persis sama. Hal ini telah diindikasikan dengan awalan kata ‘Subkhaana’ (Maha Suci Allah) pada QS Al Isra ayat 1, yang menjelaskan tentang perjalanan Isra Nabi SAW.
Jarak antara Makkah di mana Baitul Haram berada dan Baitul Maqdis di Palestina, termasuk wilayah Syam, adalah sekitar 3.000 kilometer. Kafilah dagang kaum Quraisy biasanya memerlukan waktu sebulan untuk berangkatnya, dan sebulan pula ketika kembali. Hal itu disadari benar oleh Nabi SAW, beliau pernah menjalaninya bersama paman beliau Abu Thalib ketika berusia 12 tahun, atau ketika menjalankan perdagangan Khadijah saat berusia 25 tahun. Karena itu beliau sempat termenung diliputi kesedihan pada pagi harinya, orang-orang Quraisy sudah pasti tidak akan mempercayai cerita beliau ini. Tetapi perasaan seperti itu hanya hanya muncul sekejab saja, segera saja beliau tampak tenang dan mantap hatinya ketika teringat akan apa yang beliau alami semalam, di mana Allah telah menunjukkan secara langung tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Saat itulah Abu Jahal datang dan berkata sinis, “Wahai Muhammad, apakah ada yang ingin engkau katakan, sehingga aku bisa memperoleh faedah darinya??”
Bagaimanapun juga Nabi SAW tidak akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran. Sebesar dan seberat apapun cacian, halangan dan siksaan yang akan beliau hadapi setelah Isra’ Mi’raj ini, kecil dan ringan saja bagi beliau. Terlepas dari fakta bahwa selama ini Abu Thalib dan Khadijah menjadi pembela yang kokoh, tetapi sebenarnya beliau menyandarkan diri hanya kepada Allah. Dengan berbagai macam ‘Tanda-tanda Kebesaran Allah’ yang ditunjukkan kepada beliau (linuriyahuu min aayaatinaa), kepasrahan dan tawakal beliau kepada Allah makin mengerucut saja. Tidak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran ketika hanya Allah yang menjadi sandaran.
Mendengar pertanyaan menghina itu, dengan tenangnya Nabi SAW menjawab, “Benar, tadi malam aku telah diisra’kan (diperjalankan)!!”
“Ke mana?” Tanya Abu Jahal.
Nabi SAW berkata, “Ke Baitul Maqdis!!”
“Baitul Maqdis di Palestina??” Kata Abu Jahal tidak percaya, “Lalu pagi-pagi begini kamu telah berada di antara kami disini??”
“Benar!!” Kata Nabi SAW.
Tampak mata Abu Jahal berbinar gembira, seolah-olah ia telah memperoleh ‘kartu truft’ untuk bisa menghancurkan dan menghentikan dakwah Nabi SAW, dengan hal yang sangat tidak masuk akal itu. Ia berkata, “Apakah kamu mau menceritakan kepada kaummu yang lainnya, apa yang baru saja engkau ceritakan kepadaku??”
Beliau bersabda, “Baiklah!!”
Abu Jahal berteriak keras, “Wahai Bani Ka’ab bin Luay, kemarilah kamu semua!!”
Mereka segera datang dan berkumpul di sekitar Nabi SAW, kemudian Abu Jahal berkata, “Ceritakanlah kepada kaummu apa yang baru saja engkau katakan kepadaku!!”
Nabi SAW berkata, “Tadi malam aku telah diisra’kan (diperjalankan)!!”
Mereka bertanya, “Ke mana?”
Nabi SAW berkata, “Ke Baitul Maqdis!!”
“Baitul Maqdis di Palestina??” Kata mereka tidak percaya, “Lalu pagi-pagi begini kamu telah berada di antara kami disini??”
“Benar!!” Kata Nabi SAW.
Mereka saling berpandangan, tampak sekali mata mereka berbicara kalau Nabi SAW mungkin telah ‘tidak waras’. Tetapi ketika mereka memandang kembali kepada Nabi SAW yang tampak begitu tenang, dan sama sekali tidak tampak tanda-tanda kedustaan seperti biasanya, akal mereka jadi terguncang. Pada dasarnya mereka sangat mengenal Nabi SAW sebagai orang yang sangat benar dan terpercaya sejak masa kecilnya. Tidak pernah sekalipun mereka menentang dan mendustakan beliau sebelum beliau mendakwahkan Islam. Tetapi menghadapi kontradiksi logika ini, yakni ketidak-mungkinan menempuh Makkah-Palestina pulang pergi dalam semalam, dan Nabi SAW yang tidak pernah dan tidak mungkin berdusta sejak masih kecilnya, justru mereka yang menjadi terbengong. Ada sebagian dari mereka yang telah memeluk Islam menjadi murtad kembali. Sementara kebanyakan kaum kafir  makin jauh tenggelam dalam pengingkaran kepada Nabi SAW, dan tampak sangat mencemoohkan beliau.
Kalau saja yang dihadapi Nabi SAW saat menceritakan pengalaman Isra’ Mi’raj adalah ilmuwan-ilmuwan sekarang yang telah mendalami ilmu-ilmu astronomi, antariksa, astrofisika, kimia, metafisika dan lain sebagainya. Atau juga ilmuwan-ilmuwan NASA yang telah ‘berpengalaman’ membuat perjalanan jauh dalam sekejab, bahkan mencapai bulan dan mars, tentulah keadaannya tidak akan seheboh kaum kafir Quraisy saat itu. Dengan membuat kendaraan dengan kecepatan seper-seratus persen (1/10.000) saja dari kecepatan cahaya, maka Makkah-Palestina hanya ditempuh dalam seratus detik, atau kurang dari dua menit saja. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik, seper-seratus persennya berarti 30 km/detik. Apalagi dengan kemampuan menghasilkan energi dari zat radioaktif seperti yang ditemukan Einstein. Dengan hanya satu gram uranium saja, mungkin telah cukup menggerakkan kendaraan tersebut untuk menempuh Makkah-Palestina puluhan atau ratusan kali pulang pergi.
Belum lagi kalau Nabi SAW menceritakan kisah Isra’ Mi’raj beliau kepada para Futurolog Scientist yang punya imaginasi tinggi, sehingga bisa memperkirakan terjadi Star Wars (Perang Bintang), atau sekedar membuat film-film imaginasi antariksa semacam Star Trek dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan adanya fenomena UFO (Unidentification Flying Obyek/Piring Terbang) yang memiliki kecepatan sangat super, yang saat ini belum bisa dijelaskan oleh ilmuwan paling brilliant sekalipun di bumi ini. Bisa jadi mereka ini, dan juga para ilmuwan tersebut - terlepas karena hidayah Allah - akan segera memeluk Islam dengan keimanan yang sangat mendalam. Hal ini disebabkan apa yang dialami Nabi SAW bisa jadi sangat masuk akal dan sangat ilmiah dalam pemikiran, penelitian dan pengamatan mereka. Bahkan sangat mungkin bisa membawa mereka pada tingkat pengetahuan yang lebih tinggi lagi.
Dalam keadaan yang membingungkan tersebut, kaum kafir itu mendatangi Abu Bakar, sahabat terbaik Nabi SAW. Mereka berharap, setelah mendengar cerita beliau tentang Isra’ Mi’raj itu Abu Bakar akan ingkar, dan hal itu akan melemahkan dakwah beliau. Setelah bertemu Abu Bakar, mereka menceritakan pengalaman Nabi SAW pada malam itu, Abu Bakar berkata, "Kalian berdusta!!"
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang bicara dengan orang banyak."
Abu Bakar berkata, "Dan kalaupun itu yang dikatakannya, tentu beliau bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya!!”
Kemudian Abu Bakar bangkit mengikuti mereka datang ke Masjidil Haram, saat itu Nabi SAW tengah melukiskan keadaan Masjidil Aqsha dengan mendetail. Memang, ketika mereka mendatangi Abu Bakar, ada salah seorang kafir yang sangat mengenal seluk beluk Masjidil Aqsha meminta beliau menyebutkan ciri-cirinya, sebagai bukti bahwa beliau memang singgah di sana. Sebenarnya suatu permintaan yang sangat tidak masuk akal, namanya singgah tentulah Nabi SAW tidak secara mendetail memperhatikannya karena hanya sekedar shalat dua rakaat di sana. Tetapi tentunya mudah saja bagi Allah, tinggal memerintahkan Jibril untuk menunjukkan kepada beliau. Kalau sekarang ini, layaknya seperti sedang menonton video rekaman tentang Masjidil Aqsha, Nabi SAW dengan lancar menceritakan ciri-cirinya, warnanya, jumlah pintu dan jendelanya, dan tanda-tanda lainnya. Lagi-lagi orang kafir itu hanya terbengong, tidak percaya dan tidak masuk akal (dalam kemampuan logika dan pengetahuan mereka saat itu), tetapi nyata dan semua jawaban beliau itu benar.    
Setelah Nabi SAW selesai melukiskan keadaan masjidnya, Abu Bakar yang juga cukup mengenal keadaan Masjidil Aqsha berkata, “Engkau benar, ya Rasulullah, dan saya percaya dengan semua yang engkau alami (yakni Isra’ Mi’raj beliau itu) tadi malam. Bahkan apabila engkau menceritakan pengalaman engkau yang lebih jauh (atau lebih hebat) daripada itu, saya mempercayainya!!”
Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar, “Sungguh, engkau ini adalah ash Shiddiq!!”
Ash Shiddiq artinya adalah yang selalu membenarkan. Sejak itulah Nabi SAW menggelari Abu Bakar dengan ‘Ash Shiddiq’ dan beliau lebih sering memanggilnya dengan nama gelarannya tersebut. Ketegasan Abu Bakar dalam membenarkan Nabi SAW ‘tanpa reserve’ itu ikut berperan besar dalam memantapkan kaum muslimin yang dalam kebimbangan. Mungkin memang ada beberapa orang yang menjadi murtad, tetapi sebagian besar tetap bertahan dalam keislaman berkat ketegasan Abu Bakar dalam membenarkan Nabi SAW apapun dan bagaimanapun yang belum sampaikan dan ceritakan.
Orang-orang kafir Quraisy menjadi tidak puas karena ‘prediksinya’ tentang sikap Abu Bakar meleset. Mereka berfikir cepat, dan salah seorang dari mereka berkata, “Ceritakanlah tentang rombongan kafilah dagang kami yang berangkat ke Syam!!”
Nabi SAW berkata, “Sesungguhnya aku telah melewati rombongan Bani Fulan (yakni salah satu kafilah dagang mereka) di Rauha’, mereka sedang mencari salah satu untanya yang hilang, dan aku menunjukkan dimana untanya tersesat. Aku juga sempat minum segelas air pada kendaraan mereka, dan menyisakannya. Silahkan kalian bertanya kepada mereka tentang hal ini jika mereka telah kembali!!”
Mendengar penjelasan itu, salah seorang dari mereka berkomentar, “Sungguh ini suatu bukti (bahwa Nabi SAW benar dengan cerita dan pengalaman beliau)!!”
Mereka berkata lagi, “Ceritakanlah rombongan unta kami lainnya yang akan kembali??”
Nabi SAW bersabda, “Aku melewati mereka di Tan’im.”
Tan’im adalah daerah perbatasan ‘tanah haram’ tetapi sudah termasuk ‘tanah halal’, jauhnya tidak sampai sepuluh kilometer dari Makkah. Mereka berkata, “Berapa jumlahnya, apa saja muatannya, keadaannya bagaimana, siapa saja dan kapan akan tiba di sini?”
Lagi-lagi suatu permintaan yang tidak masuk akal. Tetapi segera saja Jibril ‘menyetel video clip’ perjalanan rombongan dagang itu untuk beliau, dan Nabi SAW dengan lancar menceritakannya, “Rombongan dagang itu adalah begini dan begini, di dalamnya ada si Fulan dan si Fulan, yang paling depan adalah seekor unta berwarna abu-abu. Dan mereka akan tiba di sini pada saat matahari terbit besok pagi!!”
Ternyata rombongan kafilah itu telah mengirimkan utusan tentang kedatangan mereka, dan dia hadir juga saat itu. Spontan ia berkomentar, “Ini juga suatu tanda bukti!!”
Keesokan harinya ketika matahari terbit, mereka menjumpai rombongan kafilah dagang itu datang dengan ciri-ciri yang tepat seperti digambarkan Rasulullah SAW. Namun, karena Allah memang belum menghendaki mereka untuk memperoleh hidayah keislaman, mereka hanya berkata, “Sungguh ini adalah suatu sihir yang nyata!!”

Jumat, 15 Juni 2012

Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW

Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi ketika Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya dalam tekanan dan siksaan yang terkira dari kaum kafir Quraisy, karena telah meninggalnya dua orang yang selama ini menjadi pilar dan pembela beliau. Pertama adalah paman beliau, Abu Thalib, yang selalu berdiri tegak membela Nabi SAW dari kaum kafir Quraisy, layaknya sebuah benteng yang susah ditembus. Sayangnya, Abu Thalib meninggal dalam kemusyrikannya pada bulan Rajab tahun sepuluh dari kenabian. Dua atau tiga bulan berikutnya, yakni pada Ramadhan tahun yang sama, istri beliau Khadijah RA wafat. Istri tersayang beliau ini, adalah pendukung dan pelindung beliau, baik secara materi dengan merelakan semua harta kekayaannya untuk menjalankan dakwah Islamiyah. Atau secara mental, menjadi penyejuk dan penguat hati Nabi SAW ketika menghadapi berbagai macam halangan dan tantangan dalam mengemban risalah kenabian.
‘Undangan’ Allah kepada Nabi SAW menjalani Isra’ Mi’raj ini seolah-olah menjadi ‘hiburan’ tersendiri sekaligus motivasi bagi beliau, ketika beliau begitu sedih dan berduka karena kehilangan dua orang yang sangat beliau sayangi. Apalagi hal itu (meninggalnya dua orang tersebut) juga berdampak pada meningkatnya penyiksaan kaum Quraisy kepada orang-orang muslim. Begitu dalamnya kesedihan Nabi SAW itu sehingga dalam tarikh Islam disebut sebagai ‘Amul Huzni’, Tahun Duka Cita. Allah ingin menunjukkan kepada Nabi SAW sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya (linuriyahuu min aayaatinaa) dalam perjalanan Isra’ Mi’raj itu, untuk lebih memantapkan hati Nabi SAW dalam mengemban dakwah Islamiyah.
Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini, Allah menetapkan kewajiban shalat lima waktu bagi Umat Islam. Sebelumnya kewajiban shalat bagi kaum muslimin hanyalah shalat malam, sebagaimana disitir dalam QS Al-Muzammil ayat 20. Walau sifatnya sebagai suatu kewajiban, tetapi shalat lima waktu itu lebih merupakan pemuliaan dan pengutamaan bagi beliau dan umat beliau. Shalat juga merupakan sarana komunikasi dengan Allah untuk meminta pertolongan, sebagaimana disitir dalam QS Al-Baqarah ayat 45, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk!!”
Juga disitir dalam QS Al-Baqarah 153, “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar!!”
Nabi SAW juga membuka peluang bagi umat islam untuk bisa “merasakan” pengalaman Mi’raj yang beliau jalani itu, walau tentunya tidak mungkin persis sama, dengan jalan shalat pula. Tentunya hal ini bagi kaum muslimin yang telah mencapai tingkat/derajad keimanan tertentu. Nabi SAW pernah bersabda, “Ash shalaatu mi’rajul mu’miniin.” Maksudnya adalah : Shalat itu adalah Mi’raj-nya orang-orang mukmin.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang peristiwa Isra Mi’raj yang dialami Rasulullah SAW, apakah beliau mengalaminya dengan jasad kasar (tubuh fisik) atau hanya sekedar dengan ruh beliau saja, yakni semacam perjalanan mimpi saja? Tentu bukan di sini tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut, hanya saja logika paling sederhana, jika saat menceritakan kepada kaum kafir Quraisy, beliau mengatakan telah bermimpi atau mengalami perjalanan rohani (secara ruh) ke Baitul Makdis kemudian ke langit ke tujuh dalam semalam itu, tentu tidak akan terjadi ‘kehebohan’ pada mereka. Karena itu mayoritas ulama berpendapat bahwa beliau menjalani peristiwa Isra’ Mi’raj ini dengan tubuh fisik beliau.
Malam itu Nabi SAW sedang berada di Baitullah, bersandar pada dinding Ka’bah atau pada dinding Hijr Ismail, dan sebagian riwayat menyebutkan berada di rumah Ummu Hani binti Abu Thalib, saudara sepupu beliau. Tiba-tiba datanglah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail sambil membawa tunggangan berwarna putih bersayap yang disebut Buraq, lebih tinggi daripada himar (keledai) tetapi lebih rendah daripada baghal. Jibril berkata kepada Mikail, “Bawalah seember air zam-zam, aku akan membersihkan hati Muhammad dan melapangkan dadanya!!”
Mikail datang dengan seember air zam-zam dan ia pulang baik hingga tiga kali, sementara Jibril mengoperasi (membelah) perut beliau dan membersihkan kemudian melapangkan dada beliau. Dibuanglah sifat dengki dan segala (bibit-bibit) sifat keburukan yang umumnya ada pada manusia, kemudian dipenuhi (digantikan) dengan hikmah, ilmu dan keimanan. Akhirnya Jibril memerintahkan beliau untuk berwudhu, dan menaiki Buraq sambil berkata, “Berangkatlah wahai Muhammad!!”
Nabi SAW berkata, “Kemana?”
Jibril menjawab, “Menghadap kepada Tuhanmu dan Tuhan segala sesuatu!!”
Dengan diiringi Jibril, Buraq dengan Nabi SAW di atasnya bergerak begitu cepatnya, jangkauan kaki depannya adalah sejauh pandangan matanya, yang mencapai batas cakrawala. Sesaat sebelum berangkat, beliau mendengar seruan dari arah kanan, “Wahai Muhammad, pelan-pelan, tunggulah!!”
Beliau mengabaikan seruan itu. Begitu juga ketika terdengar seruan yang sama dari arah kiri, beliau tidak memperdulikannya. Ada seorang wanita yang memakai segala macam perhiasan yang dimilikinya, mengulurkan tangan kepada beliau dan berkata, “pelan-pelan, tunggulah aku!!”
Sekali lagi beliau tidak memperdulikan dan segera berangkat. Pada suatu tempat Buraq berhenti dan Jibril berkata, “Turunlah dan lakukan shalat!!”
Nabi SAW turun dan melakukan shalat sesuai perintah Jibril. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah kamu dimana kamu shalat!!”  
Beliau berkata, “Tidak!!”
Jibril berkata, “Kamu telah shalat di tanah Thaibah (yakni, Madinah), kesanalah kamu akan berhijrah, insyaallah!!”
Mereka melanjutkan perjalanan, di suatu tempat mereka berhenti dan Jibril berkata, “Turunlah dan lakukan shalat!!”   
Nabi SAW turun dan melakukan shalat sesuai perintah Jibril. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah kamu dimana kamu shalat!!” 
Beliau berkata, “Tidak!!”
Jibril berkata, “Kamu telah shalat di bukit Thursina, di sanalah Allah berfirman secara langsung kepada Nabi Musa!!”
Mereka melanjutkan perjalanan, di suatu tempat mereka berhenti dan Jibril berkata, “Turunlah dan lakukan shalat!!”  
Nabi SAW turun dan melakukan shalat sesuai perintah Jibril. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah kamu dimana kamu shalat!!” 
Beliau berkata, “Tidak!!”
Jibril berkata, “Kamu telah shalat di Baitul Lahm (Betlehem), di sanalah Nabi Isa dilahirkan!!”
Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di Baitul Makdis. Ternyata para penghuni langit, yakni para malaikat telah berkumpul di sana dan menyambut kedatangan Nabi SAW dengan penuh penghormatan dan keramahan. Mereka berkata, “Salam untukmu wahai Nabi yang awal dan akhir, dan Nabi yang mengumpulkan!!”
Setelah menjawab salam mereka, Nabi SAW berkata kepada Jibril, “Apa maksud salam penghormatan mereka itu?”
Jibril berkata, “Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang bangkit dari bumi (pada hari kiamat nanti), begitu juga dengan umatmu (adalah umat yang pertama dibangkitkan). Engkau adalah orang yang pertama kali memberi syafaat dan diterima syafaatnya. Dan engkau memang Nabi yang terakhir di antara nabi-nabi dan rasul-rasul. Sedangkan penghimpunan, karena semua mahluk akan terlaksana dihimpun (di padang Makhsyar) kelak adalah berkat kamu dan umatmu!!”
Nabi SAW bersama Jibril berjalan menuju Masjidil Aqsha dan Buraq ditambatkan pada lingkaran di depan Masjid dengan tali sutera dari surga. Begitu memasuki pintunya, beliau melihat di dalam masjid telah penuh orang, dan mereka mengucapkan salam dan penghormatan seperti yang dilakukan para malaikat sebelumnya. Setelah menjawab salam mereka, Nabi SAW berkata, “Wahai Jibril, siapakah mereka ini?”
Jibril berkata, “Mereka adalah saudara-saudaramu, yaitu para nabi dan rasul terdahulu!!”
Nabi SAW shalat sunnah dua rakaat dan mereka semua bermakmum kepada beliau. Usai shalat, Nabi SAW berkata, “Wahai Jibril, pada waktu akan berangkat tadi, aku mendengar panggilan dari arah kananku!!”
Jibril berkata, “Itu adalah panggilan Yahudi, jika engkau berhenti pada panggilan itu, maka akan banyak umatmu yang menjadi pengikut Yahudi!!”
Beliau berkata lagi, “Saya juga mendengar seruan yang sama dari arah kiri dan seorang wanita yang memakai semua perhiasannya!!”
Jibril berkata, “Itu adalah panggilan Nashrani, jika engkau berhenti pada panggilan itu, maka akan banyak umatmu yang menjadi pengikut Nashrani. Sedangkan wanita itu adalah dunia yang menghiasi dirinya untukmu. Jika engkau berhenti pada panggilannya, akan sangat banyak umatmu yang memilih dunia daripada akhirat!!”
Kemudian Jibril menyodorkan dua gelas minuman, satu gelas berisi susu dan satunya lagi berisi khamr, dan berkata kepada beliau, “Minumlah mana yang engkau suka!!”
Nabi SAW memilih gelas berisi susu dan meminumnya hingga habis, gelas berisi khamr dibiarkan begitu saja. Jibril berkata, “Kamu telah memilih yang benar, yaitu fitrah. Yakni, engkau telah memberikan Islam kepada umatmu, sehingga mereka akan kembali kepada fitrah. Jika engkau memilih meminum khamr, tentulah umatmu akan tersesat!!”
Kemudian Jibril memegang tangan Nabi SAW keluar dari Masjid menuju suatu batu yang terletak tidak terlalu jauh dari sisi masjid. Tampak di sana sebuah ‘tangga’ menuju langit yang begitu indah dan cemerlangnya. Jibril membawa Nabi SAW naik melewati tangga itu dengan cepat hingga sampai di pintu langit pertama (langit dunia). Ketika Jibril minta dibukakan pintu, Malaikat penjaga bertanya, “Siapakah engkau?”
Jibril berkata, “Saya Jibril.”
Ia bertanya lagi, “Siapa yang bersamamu?”
Jibril menjawab, “Muhammad!!”
Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”
Jawab Jibril, “Ya, ia telah diutus!!”
Lalu pintu dibukakan bagi mereka. Pada langit pertama itu Nabi SAW melihat seorang laki-laki sedang duduk, di sebelah kanannya ada hitam-hitam (yakni siluet dari banyak orang) dan di sebelah kirinya juga ada hitam-hitam (siluet dari banyak orang). Apabila ia memandang ke kanan, ia tertawa dan apabila ia berpaling ke kiri, ia menangis. Ketika melihat kedatangan Nabi SAW, lelaki itu berkata, “Selamat datang Nabi yang saleh dan anak laki-laki yang saleh.”
Beliau bertanya kepada Jibril, “Siapakah orang ini?”
Jibril menjawab, “Dia adalah Nabi Adam, yang hitam-hitam di kanan dan kirinya itu adalah jiwa anak cucunya. Yang di sebelah kanan itu adalah penghuni surga dan yang di sebelah kirinya adalah penghuni neraka. Karena itulah jika melihat ke sebelah kanannya, ia tertawa, dan apabila ia melihat ke sebelah kirinya, ia menangis!!”
Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke dua. Jibril minta dibukakan pintu dan malaikat  penjaga bertanya, “Siapakah engkau?”
Jawab Jibril, “Jibril.”
Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”
Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”
Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”
Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”
Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke dua ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakaria. Mereka berdua menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan.
Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke tiga. Jibril minta dibukakan pintu dan malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”
Jawab Jibril, “Jibril.”
Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”
Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”
Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”
Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”
Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke tiga ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi Yusuf, yang dikarunia Allah sebagian dari keindahan pada wajahnya. Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan.
Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke empat. Jibril minta dibukakan pintu dan malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”
Jawab Jibril, “Jibril.”
Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”
Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”
Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”
Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”
Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke empat ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi Idris. Allah telah berfirman tentang Nabi Idris, “Kami mengangkatnya pada tempat (martabat) yang tinggi!!” Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan.
Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke lima. Jibril minta dibukakan pintu dan malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”
Jawab Jibril, “Jibril.”
Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”
Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”
Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”
Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”
Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke lima ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun. Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan.
Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke enam. Jibril minta dibukakan pintu dan malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”
Jawab Jibril, “Jibril.”
Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”
Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”
Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”
Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”
Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke enam ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi Musa. Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan. Ketika Nabi SAW dan Jibril meninggalkannya, Nabi Musa menangis. Terdengar Allah berfirman, “Wahai Musa, mengapa engkau menangis??”
Nabi  Musa berkata, “Ya Tuhanku, orang muda ini (yakni Nabi SAW) Engkau utus (sebagai Nabi dan Rasul) setelah aku, tetapi umatnya yang masuk surga lebih banyak daripada umatku!!”
Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke tujuh. Jibril minta dibukakan pintu dan malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”
Jawab Jibril, “Jibril.”
Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”
Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”
Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”
Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”
Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke tujuh ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi Ibrahim, yang tampak menyandarkan tubuhnya pada dinding Baitul Makmur. Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan.
Baitul Makmur adalah ‘kiblat’ bagi seluruh malaikat, layaknya Ka’bah menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam. Setiap hari ada tujuhpuluh ribu malaikat yang masuk ke dalam Baitul Makmur untuk beribadah di dalamnya, dan mereka tidak pernah keluar lagi dari sana.
Dalam perjalanan melalui langit demi langit itu, Nabi SAW juga menyaksikan para malaikat yang beribadah, yakni shalat, dengan cara yang berbeda-beda pada setiap lapisan langit. Hal itu membuat beliau terkagum-kagum dan sangat menginginkan umatnya bisa beribadah seperti itu. Kisah lengkapnya bisa dilihat pada Buku/Laman ini juga dengan judul “Nabi SAW dan Umatnya Dimuliakan dengan Shalat.”
Kemudian Jibril membawa Nabi SAW pergi ke Sidratul Muntaha yang dedaunannya seperti kuping-kuping gajah dan buahnya sebesar tempayan. Ketika atas perintah Allah, Sidratul Muntaha diselubungi berbagai macam keindahan, maka suasana menjadi berubah, sehingga tak seorang pun di antara makhluk Allah mampu melukiskan keindahannya. Di sana terdapat malaikat yang tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah saja, dan Jibril berada di tengah-tengahnya. Jibril berkata, “Majulah ke depan!!”
Nabi SAW menjawab, “Wahai Jibril, kamu sajalah, silahkan maju!!”
Jibril berkata lagi, “Tidak, wahai Muhammad, silahkan kamu yang maju ke depan, karena dalam pandangan Allah, kamu lebih mulia daripada aku!!”
Nabi SAW berjalan di depan dan Jibril mengikuti di belakang. Ketika tiba pada suatu dinding hijab (pembatas) dari cahaya, terdengar pertanyaan dari malaikat penjaga, “Siapa ini?”
Jibril berkata, “Aku Jibril, datang bersama Muhammad!!”
Malaikat penjaga hijab itu mengulurkan tangannya dan membawa Nabi SAW memasuki (menembus) hijab cahaya tersebut, sementara Malaikat Jibril tetap tinggal di Sidratul Muntaha. Nabi SAW berkata, “Aku mau dibawa kemana??”
Malaikat itu berkata, “Wahai Muhammad, tiadalah dari kami (para malaikat) kecuali mempunyai tempat tertentu. Ini adalah batas terakhir dari semua mahluk, dan kami diijinkan menempati hijab ini karena kehormatan dan kemuliaanmu!!”
Mereka bergerak sangat cepat, dan tiba di dinding hijab berikutnya. Terdengar sebuah seruan, “Siapakah ini?”
Malaikat itu menjawab, “Aku penjaga hamparan hijab emas, dan bersamaku adalah Muhammad!!”
Malaikat yang bertanya itu mengucap takbir, kemudian mengulurkan tangannya dan membawa Nabi SAW menembus hijab yang dijaganya. Begitulah, Nabi SAW diantar setiap malaikat penjaga menembus hijab demi hijab yang dijaganya hingga tiba pada suatu hamparan hijau, dengan cahaya yang berkilauan cemerlang di sekelilingnya. Tiba-tiba Nabi SAW terbawa mendekat pada Arsy sendirian saja. Beliau duduk bersandar kepada Arsy tersebut ‘berhadapan’ dengan Allah. Kemudian Allah berfirman kepada Nabi SAW, menceritakan keadaan orang-orang yang terdahulu dan terkemudian. Beliau hanya duduk diam dengan lidah kelu karena diliputi dengan Keagungan dan Kewibawaan Allah.
Para ulama berbeda pendapat ketika Nabi SAW berhadapan dengan Allah tersebut, apakah beliau bisa melihat Allah dengan mata kepalanya secara langsung? Atau beliau melihat Allah hanya dengan mata hati (fuad) saja? Atau bahkan hanya melihat-Nya (merasakan-Nya) di dalam hati (qolbu) saja? Bukan di sini tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut, yang jelas bahwa kemuliaan dan penghormatan yang diperoleh Nabi SAW dalam peristiwa Mi’raj ini tidak pernah dialami oleh Nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya, bahkan tidak juga oleh para malaikat, termasuk Malaikat Jibril sebagai penghulunya para malaikat. Jauh lebih mulia dan agung daripada ‘percakapan’ Nabi Musa dengan Allah ketika tajalli di Bukit Thursina.
Kemudian Nabi SAW mengucap pujian kepada Allah, “Attahiyyaatu lillaahi wash sholawaatu wath thoyyibaatu…!!” Maksudnya adalah : Segala kehormatan hanyalah milik Allah, demikian pula dengan segala rahmat dan kebaikan.
Mendengar pujian Nabi SAW itu, Allah berfirman, “Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh…!!” Maksudnya adalah : Kesejahteraan bagi kamu wahai Nabi, demikian juga dengan rahmat dan barakah Allah (akan selalu terlimpah kepadamu).
Nabi SAW amat gembira dengan firman Allah tersebut, tetapi kemudian beliau teringat akan umat beliau, karena itu beliau berkata, “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin…!!” Maksudnya adalah : Semoga kesejahtreraan dilimpahkan kepada kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh. Beliau tidak ingin sendirian dalam memperoleh kesejahteraan itu, tetapi ingin mengikut-sertakan umat beliau yang saleh juga.
Malaikat Jibril, walaupun berada ‘jauh di bawah’ Arsy, tetapi ia bisa mendengar percakapan antara Allah dan Nabi SAW itu, dan ia ikut kagum dan berkata, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan abduhuu wa rasuuluh!!”
Bacaan-bacaan tersebut ‘diabadikan’ sebagai bagian dari shalat yang menjadi kewajiban kaum muslimin, yakni bacaan saat tasyahud, baik waktu tasyahud akhir yang sifatrnya wajib (bagian dari rukunnya shalat), atau  tasyahud awal yang bersifat sunnah. Beberapa riwayat lain mempunyai redaksi (susunan kalimat) yang agak berbeda, walau intinya sama.
Kemudian Allah memfirmankan beberapa perkara, yang tidak semuanya diijinkan untuk disampaikan kepada umat beliau, tetapi semua itu makin memperkuat semangat beliau untuk mendakwahkan Risalah Islamiah, walau tidak ada lagi Khadijah dan Abu Thalib. Penentangan dan siksaan dari berbagai pihak mungkin makin kuat menghalangi, tetapi tidak ada lagi kegentaran beliau menghadapinya, karena sandaran beliau kini makin kuat dan tampak sangat nyata, yakni Allah SWT. Allah juga men-syariatkan pelaksanaan shalat 50 waktu bagi beliau dan seluruh umat beliau. Dan Allah berfirman, “Kembalilah kepada umatmu, dan sampaikanlah kepada mereka apa yang kamu peroleh dari-Ku (yakni, apa-apa yang diijinkan-Nya untuk disampaikan, khususnya kewajiban shalat tersebut)!!”
Nabi SAW mundur dan turun dari Arsy, dalam sekejab saja telah tiba kembali di Sidratul Muntaha. Jibril menyambut beliau dan memberikan ucapan selamat atas penghormatan yang diberikan Allah kepada beliau. Suatu kedudukan terpuji (maqaman mahmudah) yang tidak pernah dicapai oleh nabi dan rasul manapun, bahkan oleh para malaikat muqarrabin, termasuk Jibril sendiri. Ia memerintahkan beliau untuk bersyukur, dan Nabi SAW segera mengucapkan puji syukur kepada Allah atas anugerah yang beliau terima itu.
Kemudian Jibril berkata, “Wahai Muhammad, pergilah engkau ke surga, akan aku perlihatkan apa yang dipersiapkan untukmu di sana, sehingga engkau akan makin zuhud terhadap dunia dan semakin cinta kepada akhirat!!”
Jibril mendampingi Nabi SAW menuju surga dan menjelajah semua tempat di dalamnya atas ijin Allah, tidak ada satu sudutpun yang terlewat, walau memang masih kosong tanpa penghuni. Beberapa peristiwa juga ditampakkan kepada Nabi SAW berkaitan dengan surga ini, seperti bau harum yang begitu menyengat, yang ternyata adalah dari Masyitoh, tukang sisir Fir’aun yang dihukum mati karena mempertahankan akidah tauhidnya. Begitu juga dengan suara terompah (sandal atau sepatu) sahabat Bilal yang terdengar di surga. Juga seorang wanita (bidadari) yang sangat jelita, yang ternyata adalah milik Sahabat Zaid bin Haritsah, padahal Zaid adalah seorang yang berkulit hitam dan bekas budak. Nabi SAW berkomentar, “Untuk (kenikmatan) yang semacam inilah hendaknya (sepantasnya) beramal orang-orang yang ingin beramal!!”
Kemudian Jibril membawa Nabi SAW mengunjungi neraka. Diperlihatkan kepada beliau beberapa siksaan yang dialami oleh penghuni neraka, seperti orang yang memakan (mengambil) harta anak yatim secara tidak sah, orang-orang yang memakan (menjalankan) riba, dan orang-orang yang suka berzina. Beliau juga sempat mendengar suara yang sangat keras dan bergemuruh dari sebuah benda jatuh, ketika beliau bertanya kepada Jibril, ia berkata, “Itu adalah batu yang dilemparkan ke neraka Sa’ir sejak tujuhpuluh tahun yang lalu, dan sekarang ini baru sampai ke dasarnya!!”
Sempat diperlihatkan pula kepada Nabi SAW para penghuni neraka itu, dan kebanyakan atau lebih banyak kaum wanitanya daripada kaum lelakinya. Nabi SAW selalu menangis jika teringat dengan pemandangan ini, karena sangat sedih dengan nasib yang menimpa kaum wanita dari umat beliau itu. (Lebih lengkapnya tentang apa yang dilihat Nabi SAW ini, baca kembali kisah pada Buku/Laman ini dengan judul “Nabi SAW Menangisi Kaum Wanita di Neraka”)
Setelah mengalami ‘perjalanan’ menyenangkan dan menyedihkan itu, Jibril membawa Nabi SAW turun ke lapisan langit di bawahnya untuk kembali ke bumi. Tetapi ketika tiba di langit ke enam, Nabi Musa menyapa beliau, “Wahai Muhammad, apa yang difardhukan Allah kepadamu dan kepada umatmu?”
Nabi SAW berkata, “Shalat limapuluh kali dalam sehari!!”
Nabi Musa berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat melaksanakannya. Sungguh aku pernah mencobanya pada Bani Israil (yang lebih ringan dari ini) dan mereka tidak mampu!!”
Nasehat yang sangat masuk akal, dengan limapuluh waktu shalat berarti kewajiban shalat (kalau dirata-rata) dikerjakan setiap 28 menit, sungguh sangat memberatkan. Nabi SAW menyadari itu dan beliau segera kembali menghadap ke hadirat Allah di Arsy, sementara Jibril menunggu di Sidratul Muntaha seperti sebelumnya. Beliau berkata, “Ya Rabbi, berilah keringanan kepada umatku!!”
Allah memenuhi permintaan beliau, dan mengurangi sepuluh waktu menjadi empatpuluh waktu shalat sehari semalamnya. Ketika turun bersama Jibril dan sampai di langit ke enam, Nabi Musa bertanya seperti sebelumnya. Nabi SAW menjelaskan kalau telah dikurangi sepuluh, ia berkata lagi, “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat melaksanakannya!!”
Nabi SAW memenuhi saran tersebut, dan beliau kembali menghadap Allah beberapa kali lagi karena Nabi Musa selalu menyarankan untuk meminta keringanan. Ketika telah tinggal sepuluh waktupun Nabi Musa masih meminta beliau untuk kembali kepada Allah. Tetapi ketika telah tinggal lima waktu shalat dan Nabi Musa masih juga menyarankan meminta keringanan, Nabi SAW berkata, “Aku malu untuk kembali lagi meminta keringanan kepada Allah, aku ridha dan tunduk dengan apa yang difardhukan Allah kepadaku dan kepada umatku!!”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, setiap kali menghadap Allah dikurangkan lima-lima sehingga tinggal lima waktu shalat. Riwayat lain lagi, dikurangkan separuh-separuh hingga tinggal lima waktu shalat.
Nabi SAW bersama Jibril meneruskan perjalanan ke bumi, dan ketika telah melewati Nabi Musa, terdengar Allah berfirman, “Engkau telah berlalu dengan membawa kefardhuan dari-Ku dan Aku telah memberikan keringanan kepada hamba-hamba-Ku. Dan Aku membalas setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya!!”
Nabi SAW makin gembira dengan adanya ‘pemberitahuan’ Allah tersebut. Jibril dan Nabi SAW turun di Baitul Makdis, di tempat seperti ketika mulai naik ke langit, dan pulang kembali ke Makkah dengan Buraq. Dalam perjalanan pulang itu beliau sempat bertemu dengan rombongan Bani Fulan yang sedang berhenti di Rauha’, mereka kehilangan seekor untanya dan mencari-carinya, Nabi SAW menunjukkan tempat untanya yang tengah tersesat itu. Beliau juga sempat minum air dari sebuah gelas mereka, tetapi beliau tidak menghabiskannya.
Beliau juga melewati kafilah dagang kaum Quraisy yang baru kembali dari Syam, mereka berada di Tan’im, salah satu daerah di luar batas tanah Haram.     

Sabtu, 09 Juni 2012

Berkah Istiqomah Membaca Shalawat Nabi SAW

Dalam menjalankan ibadah haji, Nabi SAW telah mengajarkan banyak sekali doa-doa yang dibaca pada saat dan tempat tertentu. Ketika melihat Ka’bah, memakai pakaian Ihram, Thawaf, Sa’i, atau ketika berada di tempat-tempat tertentu seperti Multazam, di padang Arafah, di Mina dan berbagai tempat dan aktivitas lainnya ketika berhaji, Nabi SAW telah mengajarkan doa khusus walau sifatnya hanyalah sunnah.
Di suatu musim haji, ada seorang lelaki yang hanya mengucapkan shalawat kepada Nabi SAW dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika berada di tempat-tempat mustajabah. Hal itu sempat menimbulkan berbagai dugaan dan tanda tanya pada orang-orang di sekitarnya, padahal tampaknya ia bukan orang yang awam dalam hal ilmu agama. Akhirnya ada seseorang yang memberanikan diri bertanya, “Mengapa engkau tidak membaca doa-doa ma’tsur yang diajarkan Nabi SAW pada tempat-tempat tertentu?”
Lelaki itu minta maaf kalau aktivitasnya membaca shalawat itu mengganggu mereka, kemudian ia menceritakan pengalamannya beberapa tahun yang lalu. Saat itu ia berangkat haji bersama ayahnya, tetapi ketika sampai di Bashrah di suatu malam, ayahnya itu meninggal dunia. Ia sangat sedih karenanya, tetapi yang lebih menyedihkan lagi, wajah ayahnya itu ternyata berubah seperti wajah himar (keledai).
Dengan kesedihan yang begitu mendalam sehingga mempengaruhi keadaan jiwanya, ia jatuh tertidur. Dalam tidurnya itu ia bermimpi melihat kehadiran Nabi SAW, ia segera memegang tangan beliau dan menceritakan ayahnya yang meninggal dalam keadaan begitu memprihatinkan. Padahal mereka dalam niat dan perjalanan kepada kebaikan, yakni beribadah haji. Nabi SAW bersabda, “Ayahmu itu makan riba, sedang pemakan riba keadaannya memang seperti itu ketika meninggal. Namun demikian ayahmu mempunyai amalan istiqomah membaca shalawat kepadaku seratus kali setiap malamnya. Karena itu, ketika malaikat memberitahukan keadaan ayahmu kepadaku, aku meminta ijin kepada Allah untuk memberikan syafaat kepada ayahmu dan Allah mengijinkannya…!!”  
Setelah itu ia terbangun dari mimpinya, dan ia melihat wajah ayahnya kembali seperti semula, bahkan kali ini tampak sangat cemerlang seperti bulan purnama. Keesokan harinya ia memakamkan jenazah ayahnya, dan terdengar hathif (suara tanpa wujud), “Keselamatan ayahmu karena ia suka dan sering membacakan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW!!”
Lelaki itu menutup ceritanya dengan berkata kepada jamaah haji yang mengitarinya, “Sejak saat itulah aku bersumpah kepada diriku sendiri, tidak akan meninggalkan shalawat kepada Nabi SAW, dalam keadaan bagaimanapun dan dimanapun aku berada!!”
Idealnya, jika kita mempunyai suatu dosa atau kesalahan, hendaknya kita bertaubat sebelum kematian menjemput kita. Hanya saja memang Allah mempunyai ‘wewenang’ untuk mengampuni suatu dosa walau ia belum bertaubat sampai ia meninggal, asal bukan dosa menyekutukan Allah (dosa syirik) atau menjadi murtad/musyrik. Amalan-amalan tertentu yang dilakukan secara ikhlas, walau terkadang tampak remeh dan tidak berarti, bisa jadi ‘memancing’ kasih sayang Allah untuk mengampuni dosa-dosanya, termasuk shalawat Nabi SAW.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku, karena shalawatmu kepadaku itu (bisa) menyebabkan pengampunan dosa-dosamu. Dan bermohonlah kepada Allah derajad washilah untukku, karena sesungguhnya derajad washilahku di sisi Tuhan akan menjadi syafaat untukmu!!”     

Kecintaan Sahabat Rabiah kepada Nabi SAW

Para sahabat sangat mencintai Nabi SAW, yang pada dasarnya adalah juga ekspresi kecintaan kepada Allah SWT. Hanya saja setiap dari mereka berbeda dalam tingkat kecintaan kepada beliau, begitu juga berbeda cara dalam mengekspresikan kecintaannya, tetapi sebagian besar ‘tidak pernah terekam’ dalam catatan sejarah. Yang jelas mereka selalu berusaha mengikuti (ittiba’, meneladani) perilaku dan perbuatan Nabi SAW dalam batas kemampuan masing-masing.
Tidak mungkin para sahabat itu, termasuk umat beliau, ada yang bisa 100 persen seperti Nabi SAW dalam akhlak dan ibadah, karena ‘mengikuti’ memang berbeda dengan ‘menyamai’. Dan perintah Allah dalam Al Qur’an memang hanya ittiba’, seperti disitir dalam QS Ali Imran ayat 31 : Katakanlah (wahai Muhammad), "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Rabiah bin Ka'b al Aslamy adalah salah seorang sahabat yang berasal dari Kabilah Bani Aslam, salah satu dari dua kabilah yang di masa jahiliah paling ditakuti para kafilah dagang karena sering melakukan perampokan di padang pasir pada malam hari. Kabilah lainnya adalah Bani Ghifar, yang kemudian dua kabilah itu menjadi pemeluk Islam yang kokoh atas dakwah yang dilakukan oleh Abu Dzar al Ghifari. Ketika dua kabilah ini berhijrah ke Madinah dengan pimpinan Abu Dzar, Nabi SAW memandang mereka dengan mata berkaca-kaca penuh haru, kemudian bersabda, "Ghifaarun ghafarallahu laha, Wa Aslamu Saalamahallahu.” (Bani Ghifar telah diampuni oleh Allah, Bani Aslam telah diterima dengan selamat (damai) oleh Allah).
Rabiah al Aslamy adalah salah seorang Ahlu Shuffah dan ia membaktikan dirinya sebagai salah satu pelayan Rasulullah SAW. Ia bertugas untuk mengurus keperluan Nabi SAW pada waktu malam, termasuk ketika beliau akan shalat tahajud, ia yang menyiapkan air untuk wudhu atau mandi beliau. Ia dengan tekun dan sabar menjalankan tugasnya itu selama bertahun-tahun tanpa meminta imbalan, baik berupa doa, apalagi sekedar harta duniawiah.
Suatu ketika di malam hari, setelah selesai shalat tahajud, Nabi SAW memandang Rabiah dengan penuh kasih, kemudian berkata kepadanya, "Mintalah kamu kepadaku!"
Pada dasarnya Rabiah melaksanakan tugas itu dengan senang hati, didorong rasa cinta kepada Nabi SAW sehingga tidak mengharapkan balasan apapun juga. Diijinkan untuk melayani Nabi SAW sudah merupakan berkah tersendiri dan ia tidak memerlukan yang lainnya lagi.  Ia berkata, "Saya sudah cukup puas dengan bisa melayani keperluan engkau, ya Rasulullah!"
Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk meminta, tetapi Rabiah memberikan jawaban yang sama. Ketika untuk ketiga kalinya beliau memerintahkan, ia berfikir sejenak, kemudian berkata, "Ya Rasulullah, aku hanya ingin bersama (menjadi teman) engkau di surga!"
Mungkin yang dimaksudkan Nabi SAW adalah permintaan yang sifatnya dapat dinikmati di dunia ini walau bukan duniawiah, tetapi hal itu tidak dimintanya. Justru karena itu kekaguman beliau kepada Rabiah makin bertambah, yang usianya relatif masih muda. Nabi SAW bersabda lagi, "Apakah engkau tidak memiliki permintaan yang lain lagi?"
"Tidak ada, ya Rasulullah, hanya itu yang menjadi idam-idaman saya selama ini!" Jawab Rabiah menegaskan.
Nabi SAW bersabda, "Baiklah kalau begitu, engkau harus menolong aku (mewujudkan keinginanmu itu) dengan memperbanyak sujud kepada Allah."
Setelah itu Nabi SAW berdoa kepada Allah seperti yang diminta oleh Rabiah tersebut. 
Maksud ‘memperbanyak sujud’ adalah agar Rabiah memperbanyak mengerjakan shalat-shalat sunnah, selain shalat fardhu yang menjadi kewajibannya. Dan setelah itu Rabiah al Aslamy makin meningkatkan kuantitas dan kualitas shalat sunnah yang dikerjakannya.
Kisah lebih lengkap tentang sahabat Rabiah bin Ka’b al Aslamy ini bisa dilihat pada Laman facebook, “Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW.”

Selasa, 05 Juni 2012

Nabi SAW dan Wanita yang Berdosa Besar

Suatu ketika seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, setelah mengucap salam ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah berdosa besar!!”
Maksud kedatangan wanita itu menghadap Nabi SAW adalah untuk mencari jalan kaffarat (tebusan dosa), kalau perlu dilakukan qishas (hukuman), agar ia tidak mendapat siksa pada hari akhirat kelak. Tetapi tanpa bertanya dan meminta penjelasan apa dosa yang dilakukannya, Nabi SAW berkata pendek, “Bertaubatlah engkau kepada Allah!!”
Wanita itu berkata, “Apakah cukup seperti itu, sedangkan bumi telah mengetahui bahwa saya berbuat dosa, dan ia akan menjadi saksi pada hari kiamat nanti!!”
Nabi SAW bersabda, “Ia tidak akan bisa menjadi saksi bagi dosamu. Sesungguhnya Allah telah berfirman : Pada hari itu bumi akan diganti dengan bumi yang lain!! (QS Ibrahim 48)”
Wanita itu berkata, “Tetapi langit yang di atas saya juga tahu, dan akan menjadi saksi pada hari kiamat nanti!!”
Nabi SAW bersabda lagi, “Langit tidak akan bisa menjadi saksi karena ia akan terlipat. Sesungguhnya Allah telah berfirman : Hari itu Kami akan menggulung (melipat) langit seperti melipat lembaran-lembaran kitab!! (QS Al-Anbiya 104)”
Wanita itu berkata, “Tetapi malaikat pencatat amal telah menulis dosaku dalam kitab mereka!!”
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kebaikan itu akan menyingkirkan (menghapus catatan amal) kejelekan!! (QS Hud 114) Bukankah orang yang bertaubat itu seperti orang yang tidak punya dosa!!”
Tampaknya wanita itu masih juga dihantui oleh ketakutan atas dosa-dosanya, yang menurut keyakinannya tidak bisa dihapus hanya dengan sekedar bertaubat. Ia berkata lagi, “Wahai Rasulullah, bukankah malaikat itu berhenti (mencatat kebaikanku) ketika ia melihat amal-amal burukku!!”
Memang, Nabi SAW pernah menyampaikan bahwa jika beberapa jenis dosa dilakukan, amal-amal kebaikan seseorang, termasuk shalat tidak akan diterima selama 40 hari. Tetapi Nabi SAW bersabda menenangkan dirinya, “Sesungguhnya pada hari kiamat Allah akan menjadikan para malaikat pencatat amal lupa (atas apa yang pernah dicatatnya)!!”
Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW memang pernah bersabda, “Jika seorang hamba bertaubat kepada Allah, dan Allah menerima taubatnya, maka Allah akan menjadikan para malaikat pencatat amal itu lupa dengan apa yang telah dikerjakan (oleh hamba itu)!!”
Wanita itu masih berkata lagi, “Wahai Rasulullah, bukanlah Allah berfirman : pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan!! (QS An Nur 24)!!”
Tetapi Nabi SAW bersabda, “Allah akan berfirman kepada bumi dan seluruh anggota tubuhnya : Sembunyikanlah, dan janganlah engkau mengungkapkan kejelekannya selamanya!!”
Akhirnya wanita itu berkata, “Benar, ya Rasulullah, semua itu menjadi hak bagi orang yang bertaubat. Hanya saja saya merasa gentar pada hari kiamat nanti, dan merasa malu kepada Allah. Bagaimana saya akan bisa mengatasinya (menghadapinya) nanti?? Bukankah engkau telah bersabda : Pada hari kiamat, orang-orang yang berdosa akan mengakui dosa-dosanya, kemudian mereka akan merasa malu kepada Allah, sehingga keringat mereka menetes hingga selutut, sebagian dari mereka hingga sampai ke pusar, dan sebagian lagi sampai ke lehernya!!”
Nabi SAW bersabda, “Benar, karena itu, wahai orang-orang yang beriman, ingatlah hari tersebut dan jangan sampai engkau melupakannya. Bertaubatlah kepada Allah dan selalulah engkau mendekat (taqarrub) kepada-Nya, sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang!!”

”Tidak Ada Pahala Baginya!!”

Nabi SAW sedang duduk berkumpul dengan beberapa sahabat lainnya. Tiba-tiba datang seorang lelaki menghadap beliau, setelah mengucap salam dan meminta ijin untuk bicara serta diijinkan, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang berjihad fi sabilillah, tetapi ia juga mengharapkan suatu tujuan/kepentingan dunia (dalam perjuangannya itu) ??”
Nabi SAW berkata tegas, “Tidak ada pahala baginya!!”
Para sahabat yang mendengar jawaban pendek dan tegas beliau itu merasa gentar hatinya, yakni antara takut dan khawatir. Salah seorang sahabat berkata pelan kepada lelaki itu, “Ulangilah pertanyaanmu kepada Nabi SAW, mungkin beliau belum jelas benar dengan maksud pertanyaanmu!!”
Lelaki penanya itu menuruti permintaan sang sahabat tetapi ia tidak mengubah redaksi (susunan kalimat) pertanyannya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang berjihad fi sabilillah, tetapi ia juga mengharapkan suatu tujuan/kepentingan dunia (dalam perjuangannya itu) ??”
Sekali lagi Nabi SAW berkata pendek dan tegas, “Tidak ada pahala baginya!!”
Seorang sahabat lainnya berkata pelan kepada lelaki penanya itu, “Ulangilah pertanyaanmu kepada Nabi SAW, mungkin engkau yang belum jelas dengan maksud pertanyaanmu itu!!”
Mungkin sahabat tersebut 'menangkap' isyarat, bahwa yang dimaksudkannya adalah seseorang yang berjihad “Lillaahi Ta'ala”, hanya saja terselip sedikit harapan, siapa tahu akan memperoleh ghanimah (rampasan perang) dalam peperangan tersebut, seperti umumnya orang kebanyakan. Karena itu ia menyarankan mengulang pertanyaannya. Lelaki itu menuruti permintaan sahabat tersebut, tetapi ia tidak mengubah redaksi pertanyaannya. Ia mengulang pertanyaannya kepada Nabi SAW seperti semula, dan beliau tetap menjawab, “Tidak ada pahala baginya!!”
Memang, amalan yang dikerjakan tidak ikhlas karena Allah akan tertolak. Bahkan yang pertama-tama menjadi umpan api neraka pada hari kiamat nanti bukanlah orang-orang kafir, tetapi justru orang-orang yang saat di dunia dikenal sebagai orang-orang yang saleh yang senang membaca Al Qur’an, para dermawan dan mujahid yang syahid di medan jihad. Mereka mengerjakan amal-amal kebaikannya itu tidak semata-mata karena Allah, tetapi ‘ditunggangi’ dengan keinginan dan ambisi pribadi yang bersifat duniawiah. (Lihat kisah lengkapnya pada Laman “Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman” dengan judul “Yang Pertama Dibakar Api Neraka” atau kunjungi blog-nya di www.percikkisahhikmah.blogspot.com dengan judul yang sama).
Nabi SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya yang sangat aku khawatirkan (akan terjadi) kepada umatku adalah syirik kepada Allah. Ingatlah (perhatikanlah), sesungguhnya aku tidak berkata bahwa kalian akan menyembah matahari, bulan atau berhala. Tetapi kalian akan beramal (kebaikan) untuk selain Allah, dan karena terdorong oleh syahwat (keinginan) yang samar!!”
Amal kebaikan yang disinyalir Rasulullah SAW akan terjadi pada umat beliau itu (khususnya di akhir zaman) disebut sebagai riya. Dan Al Qur’an ‘menempelkan’ sifat riya ini pada shalat yang dilakukan oleh orang-orang munafik, sebagaimana disitir pada QS An-Nisa ayat 142 : Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.