Sabtu, 07 Juli 2012

Sebuah Kisah di Balik Lailatul Qadar

           Suatu ketika Nabi SAW tengah berkumpul dengan para sahabat, dan beliau menceritakan tentang seseorang dari Bani Israil yang bernama Syam’un. Allah memberikan kekuatan dan keberanian kepada Syam’un ini sehingga dia berjuang dan berjihad di jalan Allah selama seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan Qomariah/Hijriah, atau 80 tahun 10 bulan Syamsiah/Masehi) secara terus menerus. Pedang atau senjatanya yang berupa tulang rahang unta selalu tersandang di pundaknya. Pelana kudanya tidak pernah sempat kering dari keringatnya. 
Syam’un selalu mengalahkan kaum kafirin yang diperanginya di medan jihad. Hal ini membuat orang-orang musyrikin itu ciut hatinya, mereka berfikir keras bagaimana cara mengalahkan dan membunuhnya. Suatu ketika mereka menghubungi istri Syam’un dengan diam-diam, mereka membawa sepiring perhiasan emas untuk menyuapnya. Mereka minta agar ia mau mengikat Syam’un dengan tali ijuk cukup besar dan sangat kuat yang telah dipersiapkan ketika ia sedang tidur, dan perhiasan itu akan menjadi miliknya. Setelah ia tidak berdaya mereka akan datang untuk menangkap dan membunuhnya.
Syam’un memang bukan orang yang materialistis dan bergelimang dengan kekayaan. Walaupun ia memenangkan berbagai pertempuran selama puluhan tahun dan mempunyai jabatan cukup tinggi, tetapi ia memilih hidup dalam kesederhanaan. Apalagi syariat yang berlaku sebelum Nabi SAW, ghanimah atau rampasan perang diharamkan bagi kaum muslimin yang memenangkan pertempuran itu. Harta benda dari kaum musyrikin yang dikalahkan itu harus dikumpulkan pada lapangan luas, setelah itu akan muncul kobaran api dari langit yang akan membakar habis hingga menjadi abu. Dihalalkannya ghanimah bagi umat Nabi SAW merupakan keutamaan yang diberikan Allah, yang tidak pernah dialami oleh umat-umat Nabi dan Rasul sebelumnya.
Pola hidup zuhud dan sederhana yang diamalkan oleh Syam’un, yang menghabiskan waktunya untuk ibadah dan berjihad, ternyata tidak bisa sepenuhnya diikuti dan diterima oleh istrinya. Begitu melihat tawaran kaum kafirin itu, ia segera menyetujuinya. Suatu malam ia mengikat suaminya yang sedang tidur itu dengan tali ijuk, dengan sangat kuatnya. Tetapi pagi harinya, ketika Syam’un bangun dan menggerakkan tubuhnya, tali-tali itu langsung putus. Dengan heran Syam’un berkata, “Mengapa engkau melakukan hal ini?”
Istrinya berkata, “Aku hanya ingin menguji kekuatanmu!!”
Ketika peristiwa itu didengar oleh orang-orang kafir, mereka diam-diam mendatangi istri  Syam’un dengan membawa sebuah rantai besi yang sangat kuat. Malam harinya, istrinya itu mengikat Syam’un dengan rantai itu, tetapi sama seperti sebelumnya, rantai itu putus begitu Syam’un bangun dan menggerakkan tubuhnya. Lagi-lagi istrinya hanya berkilah dengan alasan yang sama.
Melihat kegagalan yang kedua kalinya ini, iblis merasa gerah dan ia ikut campur dalam masalah ini. Ia mendatangi kaum kafir dan memberikan solusinya, yakni agar istrinya itu merayu Syam’un untuk menceritakan ‘rahasia’ kekuatannya. Orang-orang kafir itu mendatangi istri Syam’un dengan menjanjikan hadiah yang lebih besar lagi jika bisa melumpuhkan suaminya itu, dengan cara yang diajarkan Iblis. Suatu ketika istrinya berkata, “Engkau bagitu kuatnya sehingga tali dan rantai besi begitu saja putus dan hancur ketika engkau menggerakkan tubuh. Apakah ada sesuatu yang engkau tidak mampu merusakkan atau memutuskannya??”
Karena kecintaan kepada istrinya, dengan jujur Syam’un berkata, “Beberapa gombak rambutku ini yang aku tidak mampu memutuskannya!!”
Kelihatannya tidak masuk akal, kalau tali ijuk dan rantai besi yang begitu kuat dengan mudah dihancurkan, bagaimana mungkin tidak mampu memutuskan rambutnya sendiri?? Tetapi memang seperti itulah sunnatullah (kebanyakan orang menyebutnya ‘hukum alam’), tidak sesuatu dari mahluk atau ciptaan Allah, kecuali ada kelemahan atau kekurangannya, di samping banyak sekali kelebihan yang dimilikinya.
Rambut itulah yang memang menjadi rahasia kekuatan Syam’un yang diberikan Allah kepadanya. Rambutnya itu memang terurai panjang hingga mencapai tanah, dan biasanya hanya digelung ke atas. Malam harinya, diam-diam istrinya memotong rambutnya itu untuk digunakan mengikat ke dua tangan dan kakinya. Pagi harinya, ketika terbangun Syam’un sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya, bahkan ia tampak lemah tidak berdaya. Istrinya begitu gembira dan memberitahukan hal itu kepada orang-orang kafir. Ia memperoleh berbagai macam perhiasan seperti yang dijanjikan, bahkan ditambahi lagi lebih banyak.
Orang-orang kafir itu membawa Syam’un kepada rajanya, dan ia ingin mempertontonkan pembantaian Syam’un di hadapan rakyatnya. Pada waktu yang ditentukan, mereka berkumpul di suatu gedung megah, dengan arsitektur canggih yang belum bisa dicontoh sampai zaman modern ini. Bangunan yang begitu luas dan tinggi, layaknya sebuah stadion sepakbola, tetapi tiang utamanya hanya satu saja. Tiang penyangganya itu tidak akan mampu digerakkan atau dirobohkan oleh ratusan atau bahkan ribuan orang.
Dalam keadaan terikat dengan rambutnya sendiri,  dan diikatkan lagi pada tiang penyangga utama gedung itu, Syam’un disiksa habis-habisan. Matanya disulut dengan besi panas hingga buta dan dicongkel keluar, dua telinganya di potong, begitu juga dengan lidahnya. Masyarakat kafirin itu bersorak-sorak gembira melihat penderitaan Syam’un. Tidak ada keluhan dan jeritan kesakitan yang keluar dari mulut Syam’un selama penyiksaan itu, kecuali kalimat-kalimat dzikr dan penyandaran diri kepada Allah. Sabar dan tawakal terhadap takdir Allah yang diterimanya.
Kemudian Allah berfirman (mengilhamkan) kepadanya, “Wahai Syam’un, apakah yang engkau inginkan atas orang-orang kafir ini? Katakanlah, Aku akan mengabulkannya!!”
Syam’un berkata atau berdoa dalam hatinya, “Ya Allah, kembalikanlah kekuatanku, sehingga aku bisa merobohkan gedung ini dan menimpa mereka semua!!”
Allah mengabulkan doanya, kekuatannya pulih kembali. Rambut, tali dan rantai yang mengikatnya langsung putus ketika ia menggerakkan tubuhnya. Ia mendorong tiang penyangga utama gedung itu, dan sebentar saja roboh dan gedung itu hancur mengubur orang-orang kafir, termasuk rajanya, yang ada di dalamnya. Mereka semua mati, kecuali Syam’un sendiri, Allah menyelamatkannya, bahkan Allah mengembalikan mata, telinga dan bibirnya seperti sediakala. Syam’un kembali mengisi waktunya dengan berjihad dan berpuasa di siang hari, malam harinya lebih banyak dihabiskan untuk shalat. Ia terus istiqomah dalam amalannya itu hingga kematian menjemputnya.
Setelah Nabi SAW selesai menceritakannya, tampak para sahabat menangis, penuh haru dan ghirah (semangat, kerinduan) melihat perjuangan Syam’un tersebut. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tahu, berapa besarnya pahala yang diperoleh Syam’un tersebut?”
Nabi SAW berkata, “Aku tidak tahu!!”
Sebagian sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, apakah kami dapat memperoleh pahala Syam’un itu??”
Lagi-lagi Nabi SAW hanya berkata, “Aku tidak tahu!!”
Melihat keadaan para sahabat tersebut, Nabi SAW berdoa, “Ya Allah, Engkau menjadikan umatku yang paling pendek umurnya di antara umat-umat yang ada, dan yang paling sedikit amal-amalnya!!”
Tidak lama kemudian Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dengan membawa wahyu Allah, lima ayat dari surah Al Qadar. Begitu pendeknya surat tersebut, tetapi merupakan keberkahan dan pengutamaan Nabi SAW dan umatnya atas Nabi dan umat-umat sebelumnya. Dengan sedikit amalan, yang sederhana sekalipun, jika dilakukan dengan ikhlas, lillaahi ta’ala dan bertepatan dengan Lailatul Qadar, maka akan memperoleh pahala yang lebih baik daripada pahala yang diterima Syam’un dalam perjuangan jihadnya selama seribu bulan tersebut. Bahkan umat Nabi SAW bisa memperoleh berkali-kali pahala seperti itu selama hidupnya, karena Lailatul Qadar akan selalu datang di Bulan Romadhon.                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar