Sabtu, 14 Juli 2012

Berpuasa dari Halal Makan dari Haram

         Suatu ketika di bulan Romadhon, dua orang wanita tampak sangat payah dan menderita dalam menjalankan puasa. Ketika sore hari tiba, mereka hampir pingsan karena lapar dan hausnya, karena itu mereka mengirim utusan kepada Nabi SAW meminta ijin untuk membatalkan puasa. Mereka khawatir kalau tetap meneruskan puasa akan makin menderita dan meninggal, yang justru secara syariat bisa dianggap sebagai kesalahan. 
            Ketika utusan itu tiba di hadapan Nabi SAW dan menceritakan keadaan dua wanita itu,  beliau terdiam sesaat seolah memperoleh ‘pemberitahuan’ tertentu dari Malaikat Jibril. Setelah itu beliau minta diambilkan dua gelas atau bejana agak besar dan berkata kepada utusan itu, “Suruhlah dua wanita itu muntah di dalam dua gelas ini!!”
            Utusan itu kembali kepada dua wanita tersebut dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW. Masing-masing dari mereka memuntahkan darah dan daging mentah dari mulutnya. Ketika utusan itu kembali kepada Nabi SAW dan melaporkan keadaan dua wanita tersebut, para sahabat yang tengah berkumpul merasa sangat heran dan ajaib. Rasulullah SAW bersabda, “Keduanya berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah, tetapi mereka makan dari apa yang diharamkan Allah. Di pagi hari yang satu datang kepada yang lainnya, kemudian duduk bersama melakukan ghibah (Jawa: ngerasani atau membicarakan keburukan orang lain). Itulah buktinya, mereka makan daging dari mereka yang di-ghibah-nya!!”
            Memang, Allah telah memperingatkan untuk tidak melakukan ghibah, sebagaimana disitir dalam QS Al Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
            Ghibah sendiri secara syariat atau secara ilmu fiqih memang tidak membatalkan puasa, artinya tidak ada kewajiban bagi seorang muslim untuk meng-qadha’ (mengganti) puasanya karena ghibah. Tetapi para ulama sepakat bahwa ghibah bisa menghilangkan atau membatalkan pahala puasa yang dijalankan seseorang. 
            Ada riwayat lain lagi, ketika beberapa orang sahabat tengah berkumpul, tiba-tiba ada bau bangkai menyebar. Mereka mencoba mencari-carinya tetapi tidak menjumpai bangkai apapun di sekitar mereka. Maka salah seorang sahabat berkata, “Tentu ada salah seorang dari kalian yang telah melakukan ghibah, dan kini ia mengeluarkan bau dari mulutnya seperti bau bangkai. Sungguh benar firman Allah….!!”
            Kemudian sahabat tersebut mengutip Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 12 seperti yang tertera di atas.
            Pada masa Nabi SAW dan para sahabat memang jarang sekali terjadi kemaksiatan yang berlarut-larut, karena akan langsung diingatkan (amar ma’ruf nahi munkar) oleh beliau atau sahabat lainnya. Karena itu, jika ada seseorang yang ghibah atau berbuat makisat lainnya, hawa dan suasana ‘tidak nyaman’ yang ditimbulkannya langsung dirasakan oleh para sahabat lainnya.
Kalau di masa kita sekarang, karena mayoritas dari kita kebanyakan bergelimang dengan dosa, termasuk ghibah, kita tidak akan mampu merasakan seperti para sahabat tersebut. Justru kebalikannya, ketika kita berada di tempat terpencil, yang belum terjamah oleh banyak manusia, atau kita berada di suatu tempat yang kebanyakan orang-orangnya beribadah dengan tulus, kita akan merasakan suatu kenyamanan dan kenikmatan yang luar biasa. Hal itu bisa terjadi karena saat itu kita ‘terbebas’ dari suasana dan hawa dosa yang sehari-harinya melingkupi kita. Wallahu A’lam.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar