Perang Uhud terjadi setahun setelah
Perang Badar Kubra, yakni pada Bulan Syawal 3 H. Perang ini didedikasikan kaum
kafir Quraisy sebagai ‘balas dendam’ atas kekalahannya di Perang Badar, walau
tidak bisa dikatakan mereka memenangkan pertempuran ini. Pasukan muslimin
memang lebih banyak yang tewas, tetapi tidak ada satupun yang tertawan atau
menyerah. Nabi SAW sendiri sempat mengalami saat-saat kritis dalam pengepungan
kaum kafir Quraisy, dan dikabarkan terbunuh. Hasil pertempuran itu bisa
dikatakan mengambang karena pasukan kaum kafir Quraisy meninggalkan arena
peperangan, ketika kaum muslimin mulai bisa berkumpul dan bersiaga kembali di
sekitar Nabi SAW, setelah sebelumnya sempat kocar-kacir.
Sejak
kekalahannya di Perang Badar, apalagi dengan terbunuhnya beberapa tokoh
utamanya seperti Abu Jahal, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah, Umayyah bin
Khalaf, Walid bin Utbah dan lain-lainnya, kebencian kaum kafir Quraisy terhadap
kaum muslimin di Madinah, khususnya Nabi SAW makin menggumpal saja. Setelah
beberapa bulan berlalu dan kesedihan mulai reda, mereka mulai membangkitkan
semangat untuk menuntut balas (balas dendam). Bahkan mereka tidak segan
‘membayar’ penyair untuk membangkitkan kebencian kepada Nabi SAW dan
orang-orang Islam, yaitu Musafi bin Abdi Manaf dan Abu Azzah. Padahal Abu Azzah
yang pernah tertawan pada Perang Badar dan dibebaskan tanpa tebusan itu, telah
berjanji kepada Nabi SAW tidak akan melantunkan syair-syair untuk membenci
Islam.
Kemarahan
mereka makin memuncak setelah gagalnya kafilah dagang Quraisy ke Syam yang dipimpin
oleh Shafwan bin Umayyah. Walau mereka telah mencoba melalui jalur Irak yang
memutar dan jarang dilalui orang karena melewati padang pasir yang ganas, pasukan muslimin yang
dipimpin oleh Zaid bin Haritsah berhasil melakukan pencegatan, dan mereka lari
kembali ke Makkah, dan meninggalkan perniagaannya. Karena itulah mereka
mempercepat pembentukan pasukan, dan dalam waktu singkat telah bergabung
tigaribu orang, termasuk dari beberapa kabilah di sekitar Makkah yang menjadi
sekutu kaum Quraisy. Pimpinan tertinggi dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb,
sedangkan pasukan berkuda sejumlah 200 orang dipimpin Khalid bin Walid dan
Ikrimah bin Abu Jahal. Persenjataan mereka cukup lengkap, ada 3000 ekor unta
termasuk perbekalannya, dan 700 orang berbaju besi. Beberapa wanita Quraisy
yang dipimpin oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, ikut serta untuk
menggelorakan semangat pasukannya. Mereka langsung bergerak menuju Madinah.
Abbas
bin Abdul Muthalib diam-diam mengirim surat kepada Nabi SAW, seorang utusan dari
kabilah Bani Ghifar yang cekatan dan berpengalaman berhasil sampai di Madinah
hanya dalam tiga hari, ketika itu beliau sedang berada di Quba. Setelah surat diterima dan dibacakan
oleh Ubay bin Ka’ab, beliau segera kembali ke Madinah dan mengadakan
perundingan dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar.
Kota
Madinah bisa dikatakan dalam keadaan genting setelah mendengar keberangkatan
pasukan Quraisy tersebut. Hampir setiap orang tidak lepas dari senjatanya,
termasuk ketika shalat dan tidur. Sekelompok sahabat Anshar, dipimpin oleh Sa’d
bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair dan Sa’d bin Ubadah menjaga dan mengawal Nabi SAW
dalam 24 jam, termasuk penjagaan tempat tinggal beliau. Beberapa orang
ditugaskan untuk melakukan penjagaan di pintu masuk Madinah, beberapa lainnya
dikirim lebih jauh menyusuri jalur perjalanan Makkah Madinah untuk
mematai-matai gerakan pasukan Quraisy. Kegentingan itu makin meningkat ketika
pasukan musyrikin itu telah bermarkas di kaki Bukit Uhud, di suatu tempat yang
disebut Ainain, Al Aqiq, sekitar 5 mil atau 8 km di luar Madinah.
Persiapan
Kaum Muslimin
Ketika
menggelar musyawarah dengan pemuka Muhajirin dan Anshar, Rasulullah SAW
mengusulkan agar mereka bertahan saja di dalam Kota Madinah. Jika pasukan
musyrikin tidak melakukan serangan ke dalam kota , kaum muslimin tidak perlu bergerak, dan
biarlah keadaan itu mengambang begitu saja. Tetapi jika mereka melakukan serangan
ke dalam kota , pasukan muslimin akan
menghadapinya di lorong-lorong kota ,
yang mereka sangat mengenalinya, dan para wanita dan anak-anak akan menyerang
mereka dengan batu dari atap-atap rumahnya.
Sebagian
sahabat menerima usulan Nabi SAW, bahkan Abdullah bin Ubay bin Salul, salah
satu tokoh Khazraj yang juga ‘memimpin’ kaum munafik, dengan menggebu-gebu
mendukung usulan tersebut. Tetapi sebagian besar sahabat lainnya mengusulkan
agar menghadapinya di luar kota
Madinah saja, apalagi beberapa sahabat yang sempat tertinggal dalam Perang
Badar. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sejak lama kami mengharapkan hari
seperti ini, dan kami selalu berdoa kepada Allah. Dia telah menuntun kami dan
tempat yang dituju telah dekat. Lebih baik kita keluar menghadapi musuh, agar
mereka tidak menganggap kita takut kepada mereka!!”
Hamzah
bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW dan pahlawan Quraisy yang banyak
‘menganggur’ setelah Perang Badar, dengan semangat berkata, “Demi Dzat yang
menurunkan Al-Kitab kepada engkau, aku tidak akan memberi makanan hingga aku
membabatkan pedangku ini kepada mereka di luar Madinah!!”
Nabi
SAW akhirnya mengikuti pendapat mayoritas untuk menghadapi musuh di luar kota . Saat itu hari
Jum’at, waktu khutbah beliau banyak sekali memberikan nasehat dan juga membakar
semangat untuk berjihad di jalan Allah. Usai shalat Jum’at pasukan muslimin
telah siap untuk berangkat, mereka menunggu cukup lama tetapi Nabi SAW belum
juga keluar dari rumah. Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair berkata kepada
mereka, “Rupanya kalian terlalu memaksa Rasulullah!!”
Para
sahabat sepertinya merasakan hal yang sama sehingga mereka memutuskan untuk
menyerahkan urusan itu (yakni keluar atau bertahan di dalam kota ) kepada beliau. Apapun keputusan beliau,
mereka akan taat dan mengikutinya. Tetapi sebenarnya bukan maksud Nabi SAW
berlama-lama di dalam rumah, apalagi menyelisihi hasil musyawarah sebelumnya.
Beliau tertahan karena kesulitan dalam memakai baju besi, sehingga harus
ditolong oleh Abu Bakar dan Umar. Ketika Nabi SAW keluar rumah, mereka berkata,
“Wahai Rasulullah, bukan maksud kami untuk menentang engkau. Berbuatlah
sekehendak engkau, jika engkau lebih suka untuk bertahan di Madinah, maka
lakukanlah, dan kami akan berada di belakang engkau!!”
Nabi
SAW bersabda, “Tidak selayaknya bagi seorang nabi, apabila telah memakai baju
besinya untuk melepasnya kembali, hingga Allah memberikan keputusan antara
dirinya dengan musuhnya!!”
Seribu
orang prajurit telah siap untuk diberangkatkan. Nabi SAW membaginya menjadi
tiga kelompok. Kaum Muhajirin dengan panjinya dibawa Mush’ab bin Umair al
Abdary, dari Suku Aus dengan panjinya dibawa Usaid bin Hudhair, dan dari Suku
Khazraj dengan panjinya dipegang Hubab bin Mundzir. Ada sekelompok orang Yahudi bersenjata lengkap
dari sekutu kaum Khazraj yang ingin bergabung dengan pasukan itu, tetapi Nabi
SAW menolak mereka karena belum memeluk Islam. Di samping itu, kaum Yahudi
tersebut memiliki kedekatan yang lebih baik kepada Abdullah bin Ubay daripada
orang-orang Khazraj lainnya.
Setelah
pasukan bergerak beberapa jauhnya, di suatu tempat yang disebut asy-Syaikhani,
mereka berhenti dan Nabi SAW menginspeksi kesiapan pasukan. Beliau menemukan
beberapa remaja yang berusia sekitar 15 tahunan, dan beliau melarangnya untuk
ikut serta dalam pertempuran itu. Mereka memohon-mohon agar diperbolehkan ikut
berjihad, bahkan orang tuanya juga ikut memohon, tetapi Nabi SAW tetap dalam
keputusannya. Mereka itu di antaranya : Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid,
Usaid bin Zhuhair, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Amr bin Hazm, Abu Sa’id al
Khudry, Sa’d bin Habbah, dan Barra bin Azib. Mereka terpaksa kembali ke Madinah
dengan berlinang air mata karena sedih tidak bisa ikut berjihad.
Tetapi
dua remaja lainnya yang seusia mereka diperbolehkan ikut, yakni Rafi bin Khadij
dan Samurah bin Jundub. Khadij datang kepada Nabi SAW dan mengatakan kalau
putranya itu ahli memanah dan memainkan tombak. Nabi SAW mengamati Rafi, yang
ia menjinjitkan kakinya agar tampak lebih tinggi. Setelah ia menunjukkan kemampuannya
itu, termasuk ketrampilannya bergulat, beliau mengijinkannya ikut serta. Melihat
hal itu, Samurah menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya lebih
kuat daripada Rafi!!”
Maka
Nabi SAW memerintahkan mereka berdua bergulat adu kekuatan, dan Samurah yang
menang sehingga beliau mengijinkannya ikut serta.
Karena
hari telah gelap, beliau memutuskan untuk beristirahat dan bermalam di tempat
itu. Setelah melaksanakan shalat maghrib dan isya, beliau menugaskan 50 orang
untuk berjaga di sekeliling pasukan, dan Dzakwan bin Abdul Qais khusus untuk
menjaga beliau. Sebenarnya beliau menginginkan tiga orang untuk bergantian
menjaga, tetapi dalam tiga kali penawaran Dzakwan yang berdiri. Pertama ia
menyebut namanya Dzakwan, kemudian Abu Saba
dan Ibnu Abdul Qais. Tempatnya yang gelap dan agak jauh dari Rasulullah SAW
membuat beliau tidak mengenalinya sebagai satu orang.
Keesokan
harinya, setelah shalat subuh dan hari mulai terang sehingga keadaan musuh
dapat dilihat dari kejauhan, Abdullah bin Ubay dan pengikutnya sekitar 300
orang membelot, pulang kembali ke Madinah. Mereka sempat memprovokasi kaum
muslimin lainnya, sehingga Bani Haritsah dari Aus dan Bani Salimah dari Khazraj
sempat kehilangan semangat dan berniat kembali ke Madinah. Untungnya mereka
bisa dipengaruhi kaum muslimin lainnya, di antaranya oleh Abdullah bin Amr bin
Haram (Abu Jabir) sehingga semangat jihadnya kembali membara. Sepertinya sejak tokoh
munafik itu telah merencanakannya sejak awal, dengan harapan kaum muslimin jadi
melemah, dan kaum musyrikin meningkat semangatnya. Jika Nabi SAW dan kaum
muslimin ditumpas habis dalam perang tersebut, mereka yang akan menjadi
‘penguasa’ kota
Madinah.
Dengan
sekitar 700 orang prajurit yang tersisa, Nabi SAW meneruskan perjalanan ke
bukit Uhud. Walau secara jumlah berkurang, tetapi sebenarnya pasukan muslimin
makin solid karena tidak ada lagi ‘musuh dalam selimut’ di antara mereka.
Beliau akan menerapkan strategi bertahan dengan memunggungi bukit Uhud, untuk
itu mereka harus berjalan memutari pasukan musyrikin. Beliau menempatkan 50
orang pasukan pemanah di atas bukit, yang dipimpin Abdullah bin Jubair, dan
beliau berpesan, “Lindungilah kami dengan anak panah kalian agar musuh tidak
menyerang dari arah belakang. Tetaplah di tempat kalian apapun yang terjadi,
baik saat kita menang ataupun di saat kita terdesak. Kalian boleh turun setelah
ada utusanku yang membawa perintahku kepada kalian untuk turun!!”
Ibnu
Jubair dan pasukannya segera menempati posisi yang ditunjukkan Nabi SAW dengan
panah yang siap dilepaskan. Sekelompok pasukan dipimpin Mundzir bin Amr bersiap
di sayap kanan, dan di sayap kiri dipimpin oleh Zubair bin Awwam. Sedang induk
pasukan mengarah ke depan, langsung ke pasukan musyrikin. Nabi SAW menghunus
sebuah pedang sambil bersabda, “Siapakah yang mau mengambil pedang ini dengan
menunaikan haknya??”
Beberapa
sahabat tampil untuk mengambilnya, seperti Ali bin Abi Thalib, Zubair bin
Awwam, Umar bin Khattab dll-nya, tetapi beliau tidak memberikannya. Ketika Abu
Dujanah tampil sambil menanyakan hak pedang tersebut, Nabi SAW menyerahkannya.
Dengan pedang Nabi SAW di tangannya, ia memakai sorban merahnya, yang
menandakan ia siap berperang hingga mati, kemudian berjalan dengan gagahnya ke
barisan terdepan, langsung berhadapan dengan musuh. Nabi SAW sempat
berkomentar, “Sungguh itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali di
tempat seperti ini!!”
Berlangsungnya
Pertempuran
Hari
Sabtu tanggal 7 Syawal 3 H di Uhud, dua pasukan telah berhadapan. Abu Sufyan
sempat memprovokasi kaum Anshar, agar mereka meninggalkan arena karena
peperangan itu adalah ‘urusan keluarga’ kaum Quraisy, mereka tidak perlu ikut
campur. Mereka berjanji tidak akan mengusik atau menyerang orang-orang Madinah,
setelah ‘menyelesaikan urusannya’ dengan Nabi SAW dan kaum Muhajirin lainnya. Tentu
saja mereka tidak akan mudah termakan oleh provokasi semacam itu, setelah apa
yang dilakukan orang kaum munafik sebelumnya. Bahkan kaum Anshar membalasnya
dengan ‘provokasi’ juga sebagai wujud keteguhan imannya, serta kecintaan dan
pembelaan mereka kepada Nabi SAW.
Seorang
pemuka Aus bernama Abdul Amr bin Shaify, kunyahnya Abu Amir, atau kadang
disebut dengan si Rahib sangat disegani oleh kaumnya. Tetapi tidak seperti
kebanyakan penduduk Madinah, termasuk para pemukanya yang menerima Nabi SAW dan
memeluk Islam, Abu Amir justru terang-terangan memusuhi beliau, dan akhirnya
pindah ke Makkah untuk bergabung dengan kaum Quraisy. Nabi SAW kadang
menggelarinya dengan nama si Fasik. Setelah provokasi yang dilakukan Abu Sufyan
gagal, Abu Amir muncul di antara dua pasukan dan berkata, “Wahai orang-orang
Aus, aku adalah Abu Amir!!”
Mungkin
ia beranggapan masih punya pengaruh untuk menarik kaumnya, dan bisa memecah
belah pasukan muslimin. Tetapi kemudian ia mundur dengan rasa malu, karena kaum
Aus berkata, “Wahai si Fasik, Allah tidak akan memberikan kesenangan
kepadamu!!”
Sesaat
dalam keadaan stagnan (saling menunggu), kemudian pemegang panji Quraisy,
Thalhah bin Abi Thalhah dari Bani Abdid Dar, yang mengendarai unta tampil untuk
mengajak berduel. Beberapa saat tidak ada yang melayani tantangannya, karena
Thalhah memang terkenal sebagai salah seorang pahlawan Quraisy. Akhirnya Zubair
bin Awwam datang menghadapinya, ia melakukan serangan cepat, dengan meloncat di
belakangnya sebelum Thalhah sempat turun dari untanya. Mereka berdua jatuh
bergulingan di tanah. Beberapa saat adu kekuatan, akhirnya Zubair berhasil
membantingnya dan menghabisinya dengan pedang yang pernah didoakan Rasulullah
SAW.
Melihat
peristiwa itu, Nabi SAW bersabda, “Setiap nabi mempunyai hawari (penolong), dan
hawariku adalah az Zubair!!”
Setelah
itu pertempuran berkobar di segala penjuru. Panji Quraisy yang jatuh, diambil
oleh saudara Thalhah, Usman bin Abi Thalhah. Hamzah menghadapinya dan berhasil
membunuhnya. Panji diambil alih oleh Abu Sa’d bin Abi Thalhah, tetapi tidak
lama, Sa’d bin Abi Waqqash berhasil memanahnya hingga tewas. Riwayat lain
menyebutkan Ali bin Abi Thalib yang berhasil menewaskan Abu Sa’d. Saudara Abu
Sa’d, Musafi bin Thalhah mengambil alih panji, tetapi tidak lama kemudian ia
terbunuh oleh panah yang dilepaskan Ashim bin Tsabit. Ganti Julas bin Thalhah
yang mengambilnya, kali ini Ali bin Abi Thalib yang berhasil membunuhnya (atau
Hamzah bin Abdul Muthalib, dalam riwayat lainnya).
Panji
pertempuran bisa dikatakan sebagai lambang eksistensi suatu pasukan, karena itu
ia harus tetap berkibar. Kali ini orang dari Bani Abdid Dar lainnya yang
mengambil, yakni Syuraih bin Qarizh, dan ia ditewaskan oleh Quzman. Dua orang pemegang
panji selanjutnya, yakni Abu Zaid Amr bin Abdi Manaf dan Syurahbil bin Hasyim
juga ditewaskan oleh Quzman. Beberapa waktu lamanya panji Quraisy tergeletak
tanpa ada yang mengambil, sampai seorang budak Bani Abdid Dar yang berasal dari
Habasyah bernama Shuab menegakkan panji itu sambil bertempur dengan sengitnya. Ia
bertahan lebih lama, bahkan tampak lebih perkasa daripada tuan-tuannya yang
memegang panji itu sebelumnya, tetapi akhirnya ia tewas juga dengan lengan
tertebas dan putus. Setelah panji Quraisy tergeletak tanpa ada yang mengambilnya
lagi.
Strategi
yang diterapkan Nabi SAW dengan menempatkan 50 pemanah jitu di atas bukit
sangatlah tepat. Walau dengan jumlah yang jauh lebih besar, yakni lebih dari
empat kali lipatnya, ternyata pasukan Quraisy tidak bisa bergerak leluasa karena
‘hujan’ anak panah yang menyerang mereka. Pasukan muslim berada di atas angin,
hampir di semua pertarungan, kaum muslimin dapat mengalahkan musuh yang
dihadapinya, baik terbunuh atau mereka lari menyelamatkan diri.
Hamzah
bin Abdul Muthalib bergerak seperti ombak yang menerjang pantai, siapa yang
menghadapinya pasti akan tewas, atau lari tunggang langgang meninggalkan arena.
Abu Dujanah dengan pedang Rasulullah SAW di tangannya bergerak laksana air bah
yang tidak terbendung, siapa yang menghadapinya pasti terbunuh. Ia merangsek
jauh ke jantung pertahanan kaum Quraisy, ia sempat mengayunkan pedangnya kepada
seseorang yang begitu gencar membangkitkan semangat kaum Quraisy. Tiba-tiba
orang itu menjerit atau berteriak keras, dan itu adalah suara wanita yang tak
lain adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb. Maka Abu Dujanah
membelokkan arah pedangnya dan tidak jadi membunuhnya. Ia beranggapan bahwa
pedang Rasulullah SAW terlalu mulia untuk membunuh seorang wanita.
Di
antara pasukan kafir Quraisy, ada seseorang yang tidak berkepentingan dengan perang
itu, yakni memusuhi Nabi SAW dan kaum muslimin, tetapi hanya mengemban tugas
untuk membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, yakni Wahsyi. Ia adalah budak Jubair
bin Muth’im, salah satu pemuka Quraisy, yang pamannya bernama Thu’aimah bin Ady
tewas dalam Perang Badar. Jubair menjanjikan kemerdekaannya jika ia berhasil
membunuh Hamzah. Hindun binti Utbah mendukung rencana Jubair, bahkan ia
menjanjikan perhiasan dan uang yang banyak jika Wahsyi bisa mewujudkan hal itu,
sebagai pembalasan atas kematian ayah, paman dan saudaranya di Perang Badar.
Seperti umumnya orang Habsyi, Wahsyi sebenarnya telah memiliki keahlian
memainkan tombak. Tetapi untuk menjamin keberhasilan misinya itu, dalam
beberapa bulan terakhir ia tidak dibebani pekerjaan lain kecuali hanya mengasah
kemampuannya tersebut.
Dalam
Perang Uhud itu Wahsyi bergerak mendekati posisi Hamzah, yang memang merangsek
jauh ke jantung pasukan Quraisy. Ia menyelinap di balik batu dan pepohonan sambil
menunggu saat yang tepat melemparkan tombaknya. Ia mengetahui bagaimana
hebatnya Hamzah dalam bertempur, karena itu ia tetap menjaga jarak yang aman
bagi dirinya, tetapi lemparan tombaknya akan mematikan. Ketika Hamzah sedang
bertempur dengan Siba bin Abdul Uzza, dan tengah menebas kepala Siba, Wahsyi
melemparkan tombaknya hingga tepat mengenai pinggang Hamzah dan tembus ke di
antara dua pahanya. Hamzah sempat bergerak untuk membalas serangan Wahsyi,
tetapi badannya limbung dan jatuh, seketika tewas menemui syahidnya. Setelah
yakin telah membunuhnya, Wahsyi mencabut kembali tombaknya dan kembali ke tenda
menunggu usainya pertempuran untuk kembali ke Makkah.
Walaupun
Hamzah telah tewas, tetapi secara umum pasukan muslimin dapat menguasai keadaan
dan memukul mundur pasukan kafir Quraisy. Bagaimanapun nyawa lebih berharga
daripada harta, karena itu mereka meninggalkan berbagai harta dan perbekalannya
berserakan di gelanggang pertempuran untuk menyelamatkan diri. Setelah beberapa
saatnya tidak ada pasukan kafir Quraisy yang kembali ke arena pertempuran, Nabi
SAW memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan ghanimah tersebut.
Ternyata
mayoritas pasukan pemanah di atas bukit masih dihinggapi kecintaan dunia, dan
tergiur untuk mengumpulkan harta yang berserakan itu. Mereka berkata, “Harta
rampasan!! Harta rampasan!! Wahai teman-teman, kita sudah menang, apalagi yang
kalian tunggu??”
Abdullah
bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah berkata keras, “Apakah kalian sudah
lupa dengan apa yang diwasiatkan Rasulullah kepada kalian?”
Tetapi
mereka mengabaikan peringatannya itu, empatpuluh orang meninggalkan tempat dan
menuruni bukit untuk ikut serta mengumpulkan ghanimah. Keadaan ini ternyata
diketahui oleh Khalid bin Walid yang memimpin pasukan berkuda Quraisy. Walau
telah mengarah ke jalan pulang ke Makkah, ia segera menghentikan pasukannya dan
memutar balik untuk menuju ke atas bukit. Panah yang diluncurkan Ibnu Jubair
dan sembilan temannya tidak mampu menghentikan laju pasukan Khalid, dan segera
mereka menghunus pedangnya untuk bertempur. Tetapi jumlah yang tidak seimbang
menyebabkan mereka dengan mudah dikalahkan dan gugur sebagai syahid.
Melihat
pasukan Khalid yang berhasil melumpuhkan barisan pemanah kaum muslimin, pasukan
Quraisy lainnya segera berkumpul dan kembali ke arena pertempuran. Seorang
wanita Quraisy bernama Amrah bin Alqamah al Haritsiyah segera memungut panji
pertempuran dan mengibar-ngibarkannya sehingga semangat pasukan Quraisy kembali
bangkit. Khalid menuruni bukit dan menyerang kaum muslimin dari sisi belakang,
dan pasukan Quraisy lainnya menyerang dari sisi depan. Tentu saja pasukan
muslimin yang sedang mengumpulkan ghanimah dan tidak siap dengan senjatanya
menjadi porak-poranda. Dalam keadaan panik, kebanyakan melarikan diri ke segala
arah untuk menyelamatkan diri. Beberapa orang yang mencoba bertahan bertempur,
terkadang senjatanya sampai mengenai teman sendiri, walau tanpa sengaja. Di
antaranya adalah Husail bin Jabir yang pedangnya mengenai al Yaman, ayah dari
Hudzaifah bin Yaman, yang sedang berada di belakangnya. Ia mengira al Yaman
adalah musuh yang akan menyerangnya dari arah belakangnya.
Keadaan
Kritis Rasulullah SAW
Saat
itu keberadaan Nabi SAW belum diketahui oleh kaum Quraisy, dan beliau hanya
bersama sembilan orang sahabat, tujuh Anshar dan dua Muhajirin, yakni Thalhah
bin Ubaidillah dan Sa’d bin Abi Waqqash. Sempat menjadi dilema, jika beliau
menyeru kaum muslimin, kaum kafir Quraisy juga akan mendengarnya dan mereka
akan menumpahkan kekuatan ke tempat beliau berada. Tetapi jika dibiarkan saja
seperti itu, kaum muslimin akan makin kocar-kacir seperti anak ayam yang
kehilangan induknya. Maka beliau berteriak cukup lantang, “Wahai hamba-hamba
Allah, kemarilah, aku adalah Rasulullah!!”
Mendengar
teriakan beliau itu, kaum muslimin yang mendengarnya berusaha menyibak jalan
untuk bisa menghampiri beliau, tetapi pada saat yang sama, kaum Quraisy
memusatkan serangannya ke arah yang sama. Melihat gelombang serangan kaum
Quraisy itu, Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang melindungi kami, dia akan masuk
surga dan menjadi pendampingku di sana !!”
Salah
seorang Anshar langsung maju menyongsong untuk menghambat gerak pasukan
Quraisy. Jika ia tewas, salah satunya akan menggantikannya, satu persatu tampil
hingga yang terakhir menemui syahidnya, yakni Umarah bin Yazid bin Sakan.
Thalhah akan menghadapi kaum Quraisy yang berhasil melewati sahabat Anshar, untuk
melindungi Nabi SAW. Sedangkan Sa’d yang memang terkenal sebagai ‘pemanah
jitu’, menghambat gerak pasukan dengan panahnya, bahkan Nabi SAW sendiri yang
mengulurkan anak panah kepadanya.
Dalam
riwayat lain disebutkan, Ibnu Qamiah meneriakkan perkataannya itu setelah ia
membunuh Mush’ab bin Umair, yang dikiranya adalah Rasulullah SAW.
Pengorbanan
yang dilakukan oleh tujuh sahabat Anshar tidaklah sia-sia. Perlahan tapi pasti
para sahabat berhasil mendekati posisi Nabi SAW, dan yang terdahulu adalah Abu
Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah, tepat ketika Thalhah ambruk karena begitu
parahnya luka yang dideritanya. Beberapa sahabat lainnya menyusul seperti Abu
Dujanah, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, Sahl bin Hanif, Malik bin
Sinan, Ummu Umarah (Nashibah binti Ka’b), Qatadah bin Nu’man, Umar bin
Khaththab, Hathib bin Abi Balthaah, Abdurahman bin Auf dan Abu Thalhah. Satu-satunya
wanita dalam kelompok sahabat ini, Ummu Umarah, tadinya bertugas untuk
memberikan air minum kepada para sahabat yang berjuang. Tetapi ketika melihat
keadaan kritis seperti itu, ia meletakkan tempat airnya dan mengambil pedang
untuk ikut berjuang menjaga Nabi SAW.
Abu
Bakar bermaksud menolong Thalhah, tetapi Nabi SAW bersabda, “Biarkan saja
saudaramu itu, toh ia sudah berada di surga!!”
Maksud
Nabi SAW agar mereka lebih fokus dalam menghadapi serangan kaum kafir Quraisy
yang masih terus datang bergelombang. Tetapi ternyata Thalhah belum gugur, dan
akhirnya ia selamat walaupun luka-lukanya sangat parah. Lebih dari tigapuluh
luka tusukan dan sayatan yang dideritanya, bahkan jari tangannya ada yang
terpotong pedang. Ketika Nabi SAW telah ditolong keluar dari lubang, Abu Bakar
bermaksud melepaskan besi yang menancap di pipi beliau, tetapi Abu Ubaidah meminta
dengan sangat agar ia yang melakukannya. Ia mengambilnya dengan gigi serinya
agar tidak terlalu menyakiti Nabi SAW, akibatnya gigi serinya menjadi goyah dan
rompal di dua tempat.
Malik
bin Sinan, ayah dari Abu Sa’id al Khudry, berinisiatif untuk menghisab darah
yang mengucur dari wajah Nabi SAW, hingga akhirnya bersih, tidak keluar lagi.
Beliau berkata, “Muntahkanlah!!”
Ibnu
Sinan malah menelannya sambil berkata, “Demi Allah saya tidak akan memuntahkan
darah engkau, ya Rasulullah!!”
Kemudian
ia bangkit dan bergabung dengan sahabat lainnya untuk menahan gempuran pasukan
Quraisy. Sambil tersenyum Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat
salah seorang penguni surga, hendaklah ia melihat orang itu!!”
Dan
seperti biasanya, ketika Nabi SAW menyebut seseorang sebagai penghuni surga
dalam suatu pertempuran maka ia akan memperoleh kesyahidan, begitu juga dengan
Malik bin Sinan. Setelah bertempur dengan hebatnya melawan pasukan Quraisy, ia
ambruk dengan luka-luka hampir di sekujur tubuhnya.
Qatadah
yang pernah diberi busur oleh Nabi SAW, dengan gencar menyerang musuh dengan
panahnya sambil melindungi beliau. Tiba-tiba satu anak panah datang mengarah ke
wajah Nabi SAW, maka Qatadah langsung bergerak menghadangnya hingga mengenai
matanya. Bola matanya terlepas dari kelopaknya dan jatuh ke tangannya. Nabi SAW
menangis melihat keadaannya itu, dan beliau berdoa, "Ya Allah,
sesungguhnya Qatadah telah melindungi wajah Nabi-Mu dengan wajahnya sendiri,
karena itu jadikanlah matanya yang rusak itu lebih baik dan lebih tajam
penglihatannya daripada mata satunya….!"
Setelah
itu Nabi SAW mengambil bola mata dari tangan Qatadah dan meletakkannya di
tempatnya, dan sungguh suatu mu'jizat, seketika mata Qatadah sembuh dan lebih
baik keadaanya dari mata satunya.
Mush’ab
bin Umair, sang pemegang panji Muslim, langsung bergerak menahan serangan
Abdullah bin Qamiah dan kelompoknya, hingga akhirnya ia tewas di tangan pemuka
Quraisy yang melukai Nabi SAW itu. Dalam satu riwayat, saat inilah Ibnu Qamiah
berseru kalau Nabi SAW telah terbunuh, karena Mush’ab tewas dalam keadaan
tertelungkup dengan dua tangan terpotong, sedangkan panji pertempuran tetap
dalam dekapan sisa tangannya.
Ummu
Umarah langsung bergerak menyerang Ibnu Qamiah dan mengenai bahunya hingga
menimbulkan luka menganga. Ia menyusuli lagi dengan beberapa serangan tetapi
tidak sampai melukainya karena memakai baju besi. Karena kewalahan menghadapi
serangan wanita Anshar itu, Ibnu Qamiah lari menyelamatkan diri.
Berkumpulnya
beberapa sahabat itu, dan disusul beberapa orang lainnya di sekitar Nabi SAW
sebenarnya telah cukup mengamankan beliau. Tetapi teriakan Ibnu Qamiah bahwa
Nabi SAW telah tewas terbunuh cukup membuat kekacauan pada pasukan muslimin,
khususnya dalam lingkaran yang cukup jauh sehingga tidak mengetahui keadaan beliau
yang sebenarnya. Mental dan semangat perjuangannya langsung merosot. Sebagian
dari mereka ada yang langsung meletakkan senjatanya di tanah, duduk bersimpuh
penuh kesedihan. Ada
yang diam dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa? Tetapi beberapa orang
tetap tegar untuk berjuang, misalnya seperti Anas bin Nadhar. Ia berkata kepada
kaum muslimin itu, “Apa yang kalian tunggu??”
Mereka
berkata, “Rasulullah telah terbunuh!!”
Anas
berkata, “Apa yang kalian perbuat dengan kehidupan ini setelah beliau
meninggal? Bangkitlah, dan matilah kalian sebagaimana Rasulullah telah
meninggal (yakni syahid)!!”
Setelah
sesaat berdoa, Anas melanjutkan langkahnya untuk menggempur musuh. Ia sempat
bertemu dengan Sa’d bin Mu’adz, salah seorang tokoh Anshar, dan berkata, “Wahai
Sa’d, ada aroma sorga di sana ,
aku bisa mencium baunya dari arah Uhud!!”
Tsabit
bin ad Dahdah juga berseru kepada kaumnya yang patah semangat, “Wahai orang-orang
Anshar, kalaupun Muhammad benar-benar terbunuh, Maka sesungguhnya Allah hidup
dan tidak pernah mati, maka berperanglah atas nama agama kalian, karena Allah
akan menolong dan memenangkan kalian!!”
Setelah
itu Tsabit, diikuti beberapa orang Anshar lainnya, menerjang pasukan berkuda
Khalid bin Walid. Dan setelah bertempur beberapa saat lamanya ia gugur menemui
syahidnya.
Pasukan
Muslimin Menguasai Keadaan
Sementara
itu makin banyak sahabat yang berkumpul dan bertempur di sekitar Nabi SAW.
Keadaan beliau relatif telah aman, dan panji kaum muslimin telah diberikan
kepada Ali bin Abi Thalib. Sambil bertempur, mereka terus bergerak ke arah yang
lebih tinggi di Uhud, sehingga lebih mudah untuk bertahan. Mereka akhirnya
bertemu dengan kelompok pasukan muslimin lainnya yang lebih besar, dan yang
pertama melihat beliau adalah Ka’b bin Malik. Sebenarnya Nabi SAW telah
mengisyaratkan untuk diam, tetapi karena begitu gembiranya melihat beliau masih
hidup, Ka’b berseru dengan kerasnya, “Wahai kaum muslimin, bergembiralah,
inilah dia Rasulullah SAW, beliau segar bugar!!”
Walaupun
teriakannya itu didengar oleh beberapa kaum musyrikin, sehingga mengetahui
posisi beliau. Tetapi di saat yang sama kaum muslimin lainnya yang mendengar
seruan itu bangkit kembali semangatnya, dan mereka bergerak juga ke arah Nabi
SAW. Serangan gencar diarahkan oleh kaum kafir Quraisy ke tempat beliau, tetapi
mereka tidak mampu berbuat banyak dengan perlawanan kaum muslimin, apalagi
dengan semangat yang naik berlipat-lipat setelah mendengar Nabi SAW masih
hidup.
Seorang
musyrik bernama Utsman bin Abdullah bin Mughirah sempat mendekati beliau yang
juga dalam keadaan siaga. Tetapi tiba-tiba kudanya terjerembab, Harits bin
Simmah segera membabat kakinya dengan pedang, dan meringkusnya untuk dibawa ke
hadapan Nabi SAW. Tetapi seorang musyrik lainnya bernama Abdullah bin Jabir
mengejar Harits dan berhasil melukai pundaknya, ganti Abu Dujanah yang tampil
menyerang Ibnu Jabir dan berhasil membunuhnya dengan pedang Rasulullah SAW di
tangannya. Dalam perjalanan ke tempat yang lebih tinggi di bukit Uhud itu, Ubay
bin Khalaf sempat memergoki beliau dan ia memacu kudanya untuk mengejar.
Beberapa sahabat sempat mengkhawatirkan hal itu, tetapi Nabi SAW bersabda,
“Biarkan saja dia!!”
Begitu
telah dekat, beliau mengambil tombak pendek milik Harits bin Shimmah memukul
Ubay bin Khalaf pada celah di antara baju dan topi besinya. Walau celah itu
sangat sempit, tetapi beliau berhasil memukulnya beberapa kali hingga Ubay
limbung, tetapi tidak sampai jatuh dari kudanya. Setelah mendapat serangan
mendadak tetapi begitu telaknya, Ubay mengurungkan niatnya dan melarikan diri,
akhirnya ia mati dalam perjalanan kembali ke Makkah. Luka akibat pukulan Nabi
SAW itu sebenarnya kecil saja, tetapi dari kecil itu terus membengkak dan
sakitnya tidak tertahankan, sehingga membawa kepada kematiannya.
Dengan
posisi di atas bukit dan hampir semua pasukan muslimin berada langsung di bawah
komando Nabi SAW, kini mereka telah siaga untuk bertempur kembali. Abu Sufyan
dan Khalid bin Walid sempat membawa pasukan menaiki bukit, melihat hal itu Nabi
SAW bersabda, “Ya Allah, tidak selayaknya bagi mereka untuk mengungguli kita!!”
Maka
Umar bin Khaththab dengan diikuti beberapa orang lainnya menyerang pasukan
Quraisy itu, dan karena tidak mampu mengatasinya, mereka turun dari bukit. Untuk
beberapa saat lamanya terjadi stagnan, kaum muslimin bertahan di atas bukit dan
kaum kafir Quraisy tidak berani lagi mencoba menaikinya. Akhirnya beberapa
orang Quraisy melampiaskan kemarahannya dengan merusak dan mengkoyak-koyak
jasad kaum muslimin yang telah menjadi syahid. Secara khusus Hindun binti Utbah
merusak jenazah Hamzah sebagai pelampiasan dendamnya karena ayah, paman dan
saudaranya tewas di Perang Badar.
Setelah
beberapa waktu lamanya tidak bisa berbuat apa-apa, Abu Sufyan memerintahkan
pasukannya untuk bersiap kembali ke Makkah, setelah sebelumnya memakamkan para
korban dari pasukannya. Tetapi sebelum berangkat, ia sempat berseru keras,
“Apakah di antara kalian, ada Muhammad??” Kemudian katanya lagi, “…., ada Abu
Bakar??” Dan katanya lagi, “…., ada Umar
bin Khaththab??”
Nabi
SAW melarang untuk menjawab seruan-seruan itu. Karena tidak ada jawaban, Abu
Sufyan berkata lagi, “Cukuplah bagi kalian orang-orang itu!!”
Maksudnya
adalah hanya tiga orang itulah yang menurut Abu Sufyan sebagai pilar Islam, dan
jika ketiganya telah tewas (karena tidak ada jawaban), maka cukuplah sudah
misinya untuk berperang saat itu. Umar yang memang mempunyai keberanian dan
temperamen tinggi langsung menyahuti menantang, “Wahai musuh Allah, orang-orang
yang engkau sebutkan itu masih segar bugar, justru Allah yang akan mengekalkan
kehinaanmu!!”
Kemudian
terjadilah ‘perang perkataan’ dimana Abu Sufyan mengagungkan tuhan-tuhannya
seperti, Hubal, Latta dan Uzza. Maka Nabi SAW memerintahkan menjawabnya dengan
mengagung-agungkan Allah. Walau secara realitas kaum muslimin lebih banyak yang
terbunuh, tetapi Umar berkata, “Orang-orang kami yang terbunuh berada di surga,
sedangkan orang-orang kalian berada di neraka!!”
Akhirnya
Abu Sufyan meminta Umar datang menghampiri dan Nabi SAW mengijinkan. Setelah
berhadapan, ia berkata, “Wahai Umar, demi Allah aku memohon kepadamu untuk
menjawab dengan sebenarnya, apakah kami telah membunuh Muhammad??”
Umar
berkata, “Demi Allah, tidak, beliaupun bisa mendengar perkataanmu ini!!”
Ia
berkata lagi, “Bagiku engkau lebih jujur dan lebih baik daripada Ibnu Qamiah.
Dialah yang berteriak saat pertempuran kalau telah membunuh Muhammad.
Kemudian
ia memerintahkan pasukannya bergerak ke arah Makkah, sambil berkata kepada Umar
atau kaum muslimin lainnya, “Tempat yang disepakati tahun depan adalah Badar!!”
Nabi
SAW memerintahkan salah seorang sahabat berseru, “Ya, di sanalah tempat yang
disepakati antara kami dan kalian!!”
Pada
tahun berikutnya, tepatnya pada Sya’ban 4 H, Nabi SAW beserta 1500 pasukan
muslimin bergerak ke Badar dengan panji pertempuran dipegang Ali bin Abi
Thalib. Selama delapan hari mereka menunggu di sana , tetapi pasukan musyrikin Makkah tidak
hadir juga. Walau demikian pasukan muslimin sempat menjalin hubungan dan
perniagaan dengan berbagai kabilah di sekitar Badar atau kafilah yang
melaluinya saat itu, dan memperoleh keuntungan yang memadai. Sebenarnya Abu
Sufyan dengan 2000 prajuritnya telah meninggalkan Makkah, dan berjalan sejauh
satu marhalah (satu hari perjalanan) dari Makkah dan bermalam di Zhahran.
Tetapi keesokan harinya ia memutuskan untuk kembali ke Makkah, dan tidak ada
prajuritnya yang memprotes keputusannya itu.
Setelah
keadaan benar-benar aman dan pasukan kafir Quraisy telah hilang dari pandangan,
kaum muslimin turun dari bukit dan mulai mengurus serta memakamkan jenazah para
syuhada. Mereka diliputi kesedihan karena umumnya jenazah itu dirusak oleh kaum
musyrikin, dan yang paling memprihatinkan adalah jenazah Hamzah bin Abdul
Muthalib, paman Nabi SAW. Beliau sempat marah dan mengancam akan memberikan
pembalasan yang setimpal atau bahkan lebih dari yang dilakukan mereka terhadap
Hamzah. Tetapi kemudian beliau membatalkannya karena mendapat teguran Allah.
Setelah
semua jenazah dimakamkan, Nabi SAW dan pasukannya kembali ke Madinah.
Beberapa
Peristiwa Menarik
Sebelumnya
telah disebutkan bahwa Quzman telah berhasil membunuh tiga orang pemegang panji
Quraisy, bahkan beberapa orang Quraisy lainnya hingga mencapai sepuluh orang, sehingga
kaum muslimin terkagum-kagum dengan kepahlawanannya. Satu riwayat menyebutkan
ia seorang munafik tetapi tidak dalam kelompok Abdullah bin Ubay, yang membelot
kembali ke Madinah setelah melihat pasukan Quraisy. Sebagian riwayat lainnya menyebutkan
ia seorang muslim yang ikut-ikutan saja (Islam KTP) karena mayoritas
kabilahnya, Bani Zhafr, telah memeluk Islam.
Hari
Jum’at, ketika Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya telah berangkat ke Uhud, ia
tinggal saja di rumahnya. Maka keesokan harinya ia diolok-olok oleh kaum wanita
kaumnya, “Quzman, tidak malukah engkau dengan sikapmu itu? Seperti perempuan
saja kau ini, semua kaum lelaki berangkat tetapi kau tinggal saja di dalam
rumah??"
Dengan
perasaan malu dan marah, ia mengambil senjata dan memacu kudanya ke Uhud. Ia
langsung menerjunkan diri dalam pertempuran. Ketika pertempuran usai, ia dibawa
kembali ke Madinah dalam keadaan luka parah. Kaum muslimin menghiburnya bahwa
ia akan memperoleh pahala kesyahidan, tetapi Quzman justru berkata, “Demi Allah
aku berperang hanya karena pertimbangan kaumku. Kalau tidak karena itu, aku
tidak akan sudi berperang!!”
Kaumnya
terus mempengaruhinya agar ia membersihkan dan memurnikan keislamannya,
kemudian bertaubat. Tetapi ia mengabaikannya, bahkan akhirnya ia bunuh diri
karena tidak kuat menahan rasa sakitnya. Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi
SAW, beliau bersabda, “Jika dia berkata seperti itu, maka ia termasuk penghuni
neraka!!”
Sebaliknya
adalah Amr bin Tsabit atau lebih dikenal dengan nama al Ushairim dari kabilah
Bani Abdul Asyhal. Ia belum mau memeluk Islam bersama anggota kaumnya yang lain
karena ada seseorang yang ditakutinya. Tetapi pada hari perang Uhud itu,
tiba-tiba menguat perasaannya untuk memeluk Islam. Maka ia mengucap dua kalimat
syahadat kemudian mengambil senjata dan tunggangannya, yang langsung memacunya
dengan cepat ke Uhud, lalu menerjunkan diri dalam pertempuran yang berkecamuk.
Ketika usai perang, beberapa orang Bani Abdul Asyhal yang menemukannya dalam
keadaan luka parah, dengan heran berkata, “Bukankah ini al Ushairim, apa yang
dilakukannya di sini? Waktu kita meninggalkannya, ia masih menolak memeluk
Islam!!”
Maka
dengan terbata-bata, karena luka-luka yang dialaminya, bahkan sebuah tombak
kecil masih menancap di tubuhnya, ia berkata, “Aku melakukan semua ini karena
kecintaan kepada Islam, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu aku
berperang bersama Rasulullah hingga aku mendapat musibah seperti ini!!”
Kaumnya
masih ragu-ragu dengan pengakuannya itu. Tetapi tak lama kemudian ia meninggal
karena luka-luka yang dialaminya, dan kaumnya melaporkan hal itu kepada Nabi
SAW, maka beliau bersabda, “Dia termasuk penghuni surga!!”
Padahal
Ushairim belum sekalipun melaksanakan shalat, hanya satu rukun Islam yang
dilakukannya, yakni membaca dua kalimat syahadat kemudian mati syahid.
Peristiwa
yang hampir sama terjadi pada Amr al Uqaisy, tetapi ada yang berpendapat bahwa
ia dan al Ushairim adalah orang yang sama. Amr al Uqaisy mempunyai usaha
seperti kebanyakan orang Yahudi, yakni yang bersifat riba (rentenir). Ketika
Islam didakwahkan, disusul kemudian dengan hijrahnya Nabi SAW di Madinah, sebenarnya
hatinya telah terketuk untuk memeluk Islam seperti kebanyakan penduduk Madinah.
Tetapi modal (uang) yang dijalankannya (dipinjamkan) sudah terlalu banyak dan
hasilnya (bunga-nya) belum banyak diterima. Jika ia serta merta memeluk Islam,
maka ia tidak akan memeproleh keuntungan apa-apa lagi, kecuali hanya modalnya
saja. Karena rasa ‘hubbud-dunya’-nya inilah ia menunda untuk memeluk Islam.
Pada
hari terjadinya perang Uhud, ia ‘kehilangan’ sanak saudaranya (dari kaum
lelaki) karena mereka mengikuti Nabi SAW memerangi kaum kafir Quraisy. Ia
bertanya kepada orang-orang sekitarnya, “Dimanakah para kemenakanku?”
Mereka
menjelaskan kalau sedang berperang di Uhud. Amr al Uqaisy tampak terpekur
beberapa lamanya, seperti ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya. Tiba-tiba
pulang dan segera mengenakan baju besi, setelah itu memacu kudanya menuju Uhud.
Ketika pasukan muslimin melihat kehadirannya, mereka berkata, “Menyingkirlah
dari kami, wahai Amr!!”
Tetapi
Amr tetap maju dan terjun ke medan
pertempuran sambil berkata, “Sesungguhnya aku telah beriman!!”
Kaum
muslimin tidak menghalanginya lagi karena pengakuannya itu. Usai pertempuran ia
dibawa pulang ke Madinah dalam keadaan luka parah. Sa’d bin Mu’adz, salah
seorang tokoh kaum Anshar mengunjunginya dan ingin mengetahui motivasinya
terjun ke Uhud. Ia menjelaskan kalau ia
berperang karena Allah dan Rasul-Nya, marah kepada kaum musyrikin demi Allah
dan Rasul-nya. Tidak lama kemudian ia wafat, dan Nabi SAW menggolongkannya
sebagai penghuni surga walau belum sempat sekalipun melaksanakan shalat.
Lain
lagi dengan Hanzhalah bin Rahib. Putra dari pemuka Aus, Abu Amir atau digelari
si Rahib, ini gugur sebagai syahid, tetapi ketika akan dimakamkan tiba-tiba
jenazahnya menghilang. Para sahabat mencarinya
hingga ditemukan di tempat agak tinggi dan tampak bekas guyuran air di tubuh
dan tanah sekitarnya. Padahal untuk orang yang mati syahid, jenazahnya tidak perlu dimandikan dan dikafani. Ketika
dilaporkan kepada Nabi SAW, beliau bersabda, “Saudaramu ini dimandikan oleh
para malaikat, tanyakanlah kepada keluarganya apa yang terjadi!!”
Ketika
para sahabat mendatangi istrinya, Jamilah binti Ubay bin Salul, mereka mendapat
informasi kalau mereka adalah pengantin baru. Pada hari pertempuran itu mereka
baru saja melangsungkan pernikahan. Tetapi begitu selesai menikmati ‘malam
pertama’, Hanzhalah bangkit dari kamar pengantinnya, mengambil senjatanya dan
kudanya, kemudian memacunya dengan cepat ke Uhud, dan langsung terjun dalam
pertempuran. Karena itulah ketika syahid, ia dalam keadaan junub, dan karena
tidak ada kaum muslimin yang mengetahui keadaan junubnya, maka malaikat yang
‘turun tangan’ untuk memandikannya. Kemudian ia terkenal sebagai sahabat
“Ghasilul Malaikat”, sahabat yang dimandikan malaikat.
Satu
riwayat menyebutkan, pada hari keberangkatan pasukan sebenarnya Hanzhalah telah
menghadap Nabi SAW untuk menyertainya, tetapi beliau melarangnya. Usai menikah dan
menggauli istrinya, mungkin rasa keimanannya terusik. Ia asyik menikmati madu
pernikahan, sedang Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya sedang berjuang
mempertaruhkan nyawa untuk meninggikan kalimat-kalimat Allah. Pilihan yang
berat untuk pergi berperang dalam keadaan yang seperti itu, tetapi itulah
keputusan terbaik di sisi Allah, berjuang bersama Nabi SAW demi kenikmatan yang
kekal di akhirat.
Peristiwa
menarik lainnya adalah seorang Yahudi dari Bani Tsa’labah bernama Mukhairiq.
Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu, dan sesuai dengan syariat Nabi Musa AS
yang menjadi acuan kaum Yahudi, mereka tidak boleh berbuat aktivitas duniawiah
apapun kecuali untuk ibadah. Tiba-tiba Mukhairiq berdiri di antara kaumnya dan
berkata, “Wahai semua orang Yahudi, demi Allah kalian semua tahu bahwa membantu
Muhammad saat ini adalah kewajiban kalian!!”
Sebenarnya
orang-orang Yahudi itu telah menunggu kehadiran ‘Nabi Akhir Zaman’ yang
dijanjikan Taurat. Tetapi ketika nubuwwah itu jatuh pada Nabi Muhammad SAW yang
berbangsa Arab, dan bukan dari bangsa Yahudi, mayoritas dari mereka menolak
atau melakukan perlawanan karena rasa dengki. Saat perang Uhud berlangsung,
mungkin Mukhairiq berfikir bahwa mereka di pihak yang sama, yakni agama samawi
yang berujung sama pada Nabi Ibrahim
AS , sedangkan musuhnya adalah
kaum penyembah berhala, yang secara nyata musyrik kepada Allah.
Tetapi
atas seruan Mukhairiq itu, mereka berkata, “Hari ini hari sabtu!!”
Mukhairiq
mencela argumentasi mereka itu, karena kenyataannya selama ini kebanyakan dari
mereka juga mengabaikan kesucian hari sabtu, dan tetap dengan aktivitas
duniawiahnya. Ia segera mengambil senjata dan tunggangannya kemudian memacunya
ke Uhud. Ia berjuang dengan hebatnya bersama kaum muslimin melawan kaum kafir
Quraisy, tetapi sama sekali tidak ada ucapan dan pernyataan kalau dia memeluk
Islam. Ketika ia tewas dan hal itu dilaporkan kepada Nabi SAW, beliau bersabda,
“Sebaik-baiknya orang Yahudi adalah Mukhairiq!!”
Ketika
pasukan muslimin kembali ke Madinah, beberapa penduduknya menyambut Nabi SAW
dan pasukan muslimin, walau mungkin diliputi kesedihan. Seorang wanita dari
Bani Dinar tampak memandang cemas ke arah rombongan pasukan yang datang,
seseorang menghampirinya dan berkata, “Wahai Ummu Fulan, suami, saudara dan
ayahmu gugur dalam pertempuran ini!!”
Tetapi
wanita itu seolah tidak menghiraukan kabar duka cita itu, justru ia berkata,
“Lalu apa yang terjadi dengan Rasulullah??”
Lelaki
itu berkata, “Beliau baik-baik saja, wahai Ummu Fulan!!”
Kemudian
ia membawanya kepada Nabi SAW, dan wanita itu berkata, “Setiap musibah adalah
kecil saja asalkan tidak menimpa engkau, wahai Rasulullah!!”
Begitu
juga Ummu Sa’d bin Mu’adz yang kehilangan beberapa anggota keluarganya, ketika
dihadapkan kepada Nabi SAW, ia berkata, “Asalkan kulihat engkau selamat, maka
musibah yang menimpa kuanggap ringan!!”
Setelah
Nabi SAW menghiburnya, bahwa mereka yang gugur dalam pertempuran itu saling
menyayangi di surga, dan memohonkan syafaat bagi keluarga yang ditinggalkannya,
maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, kami ridha, siapakah yang akan menangis
setelah mengetahui hal ini!!”
Perang
Hamra’ul Asad, Menuntaskan Hasil Pertempuran
Pada
pertempuran ini kaum muslimin lebih banyak yang gugur sebagai syahid, yakni
sejumlah tujuhpuluh orang. Kebanyakan dari kaum Anshar, yakni 65 orang, dari
Khazraj sejumlah 41 orang, dan dari Aus sejumlah 24 orang. Lima orang dari kaum Muhajirin, di antaranya
adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, Abdullah bin Jahsy dan Mush’ab bin Umair,
muballigh pertama di Madinah. Yang tewas dari kaum kafir Quraisy sebanyak 37
orang, sebagian riwayat menyebutkan 22 orang.
Atas
dasar jatuhnya korban seperti tersebut di atas, kaum kafir Quraisy mengklaim
bahwa mereka memenangkan perang Uhud ini. Mereka juga beranggapan bahwa
kekalahannya di perang Badr telah terbalaskan pada pertempuran ini. Tetapi
faktanya, ketika dua pasukan masih berhadap-hadapan, Abu Sufyan dan pasukannya
yang terlebih dahulu meninggalkan arena pertempuran, dan mereka juga sempat
lari tunggang-langgang pada awal pertempuran, sebelum terjadinya kesalahan yang
dilakukan oleh 40 pemanah dengan meninggalkan posnya di atas bukit.
Tetapi
tentunya tidak juga bisa dikatakan kalau kaum muslimin yang memenangkan
pertempuran ini. Bagaimanapun juga banyaknya korban yang berjatuhan, apalagi
hal itu terjadi karena mereka melalaikan perintah Nabi SAW, menimbulkan
kedukaan yang mendalam bagi kaum muslimin. Ditambah lagi ada kekhawatiran
kalau-kalau kaum kafir Quraisy datang lagi untuk menyerang Madinah. Oleh karena
itu, walau lelah secara fisik dan mental, tetap saja Nabi SAW mengatur
penjagaan di pintu-pintu masuk kota
Madinah.
Setelah
semalaman diliputi kegelisahan, keesokan harinya Nabi SAW memerintahkan agar
pasukan yang dari Uhud itu berkumpul kembali, untuk kemudian berangkat
melakukan pengejaran terhadap pasukan Quraisy. Bagaimanapun lebih baik
berinisiatif menyerang atau setidaknya dalam keadaan siap berperang, daripada
dalam kebimbangan kalau-kalau akan diserang. Abdullah bin Ubay bin Salul dan
pasukannya meminta untuk bergabung, tetapi Nabi SAW menolaknya dengan tegas.
Beliau bersabda, “Yang boleh bergabung dengan kami, hanyalah mereka yang
sebelumnya bergabung dalam Perang Uhud!!”
Tetapi
beliau mengijinkan Jabir bin Abdullah untuk bergabung, yang beralasan bahwa dia
menggantikan ayahnya yang syahid di Uhud, yakni Abdullah bin Amr bin Haram.
Nabi
SAW menggerakkan pasukan muslimin hingga di Hamra’ul Asad, sekitar 8 mil dari
Madinah dan bermarkas di sana .
Tidak lama kemudian muncul Ma’bad bin Abu Ma’bad al Khuzay, dia adalah putra
dari Ummu Ma’bad, yang ketika hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar, Nabi SAW
sempat singgah dan beristirahat di perkemahannya. Ma’bad menyatakan dirinya
memeluk Islam. Setelah berbincang beberapa lamanya, Nabi SAW meminta agar
Ma’bad menyembunyikan dahulu keislamannya, kemudian ia diperintahkan untuk
menyusul pasukan Quraisy dan memprovokasi mereka sebagai bentuk perang mental
(psy war).
Ternyata
apa yang diperkirakan Nabi SAW benar. Dalam perjalanan kembali ke Makkah dan
singgah di Rauha’, sekitar 36 mil dari Madinah, mereka sempat berdebat tentang
hasil perang Uhud itu. Abu Sufyan mengusulkan agar mereka kembali dan menyerang
Madinah, tetapi usul ini ditentang keras oleh Shafwan bin Umayyah. Setelah
terjadi tarik ulur, akhirnya mayoritas menyetujui pendapat Abu Sufyan. Tetapi
belum sempat mereka bersiap, muncullah Ma’bad bin Abu Ma’bad, yang kabilahnya
Bani Khuza’ah memang terikat perjanjian persahabatan dengan kaum Quraisy
Makkah. Melihatnya kedatangannya dari arah Madinah, Abu Sufyan berkata, “Apa
yang terjadi di belakangmu, wahai Ma’bad??”
Sesuai
misi yang diperintahkan Rasulullah SAW kepadanya, Ma’bad langsung membuat
muslihat, ia berkata, “Muhammad pergi bersama rekan-rekannya untuk mencari
kalian, dengan jumlah yang belum pernah kulihat sebanyak itu. Mereka meradang
dan marah, dan orang-orang yang belum bergabung sebelumnya ikut serta
bersamanya. Rupanya mereka menyesal tidak ikut berperang sebelumnya. Yang
jelas, jumlah mereka sangat banyak!!”
Abu
Sufyan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami telah sepakat untuk kembali dan
menyerang mereka hingga membinasakannya!!”
“Jangan
lakukan itu,” Kata Ma’bad dengan tegas, “Demi Allah, menurut pendapatku, lebih
baik kalian cepat pulang sebelum mereka menjumpai buntut pasukan ini!!”
Seketika
semangat pasukan kafir Quraisy itu anjlok mendengar provokasi yang dilakukan
oleh Ma’bad itu. Walau Abu Sufyan masih berteguh dengan pendapatnya, tetapi
mayoritas dari mereka memilih untuk mengikuti pendapat Shafwan, yang dikuatkan
dengan pendapat Ma’bad, dan mereka melanjutkan perjalanan pulang ke Makkah. Di
perjalanan itu mereka bertemu dengan rombongan Abdul Qais yang akan pergi ke
Madinah, maka Abu Sufyan menitipkan surat atau pesan kepada Nabi SAW, yang
berisi ancaman bahwa ia menyiapkan pasukan yang sangat besar untuk membinasakan
beliau dan para pengikutnya.
Pasukan
muslim bermarkas selama tiga hari di Hamra’ul Asad, dan setiap malamnya Nabi
SAW memerintahkan untuk menyalakan api unggun. Di samping untuk mengurangi rasa
dingin yang menyengat di padang
pasir, sekaligus menunjukkan kesiapan pasukan muslimin menghadapi pertempuran
dengan Quraisy, atau siapapun yang ingin mengusik Nabi SAW dan Islam. Ketika
surat atau pesan Abu Sufyan lewat Abdul Qais itu diterima Nabi SAW, dan beliau
menyampaikan kepada kaum muslimin, maka sedikitpun tidak ada kegentaran, bahkan
mereka makin bersiaga dengan segala macam kemungkinan. Setidaknya mereka telah
belajar dan mendapat pedoman, bahwa dengan mematuhi apa yang diperintahkan Nabi
SAW, walau jumlahnya lebih sedikit mereka akan mendapatkan pertolongan Allah untuk
memenangkan pertempuran. Tetapi jika melalaikan perintah beliau, walau telah
menang atau mungkin dengan jumlah yang lebih besar, bisa jadi mereka akan
dikalahkan.
Setelah
tiga hari itu tidak ada tanda-tanda kemunculan pasukan kafir Quraisy, Nabi SAW
memerintahkan kembali ke Madinah. Tetapi kali ini pasukan muslimin pulang
dengan kepala tegak (tetapi bukan kesombongan) dan semangat yang membara. Sangat
jauh berbeda ketika pulang dari Uhud dengan dirundung kesedihan dan semangat
yang benar-benar anjlok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar