Rabu, 01 Agustus 2012

Beberapa Tanda akan Wafatnya Nabi SAW

Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW, pada setiap bulan Ramadhan beliau akan selalu memperbanyak amal-amal ibadah. Bahkan pada sepuluh hari terakhir, beliau tidak ‘mengunjungi’ (menggilir) sembilan orang istri-istri beliau, tetapi menghabiskan waktu dengan i’tikaf di masjid. Di saat seperti itu biasanya malaikat Jibril ‘menemani’ beliau melakukan tadarus Al Qur’an, sekaligus menata ulang lagi urutan-urutan Al Qur’an setelah ada ‘penambahan’ wahyu-wahyu yang turun dalam tahun yang bersangkutan.
Pada bulan Ramadhan tahun 10 hijriah, ternyata Nabi SAW lebih awal dan lebih lama melaksanakan i’tikaf di masjid, yakni selama duapuluh hari. Malaikat Jibril juga lebih sering datang dan menemani beliau tadarus Al Qur’an. Kalau pada ramadhan-ramadhan sebelumnya Jibril hanya sekali saja ‘mengetes’ hafalan Al Qur’an Nabi SAW, kali ini sampai dua kali. Seolah-olah mereka telah mengetahui bahwa saat itu adalah kesempatan terakhir untuk mengisi indahnya waktu ramadhan di bumi dengan membaca Al Qur’an, dan saat terakhir juga untuk menetapkan urutan-urutan Al Qur’an, walau mungkin masih ada beberapa ayat atau wahyu lagi yang akan turun.
Pada saat terjadinya Penaklukan Kota Makkah (Fathul Makkah) yang terjadi pada tahun 8 hijriah, pasukan muslim hanya berjumlah sekitar sepuluh ribu orang. Setelah itu berbagai kabilah di Jazirah Arabia berduyun-duyun memeluk Islam. Pada tahun 10 hijriah Nabi SAW mengumumkan akan melakukan ibadah haji (yakni Haji Wada’), maka hampir seluruh umat Islam bermaksud untuk mengikuti perjalanan haji beliau. Tidak kurang dari 124.000 orang, atau dalam riwayat lain 144.000 orang yang mengikuti ibadah haji tersebut, dan sebagian besarnya berkumpul dahulu di Madinah. Hanya dalam dua tahun, ternyata Islam mengalami perkembangan yang sungguh luar biasa, bertambah hingga duabelas atau empatbelas kalinya.
Nabi SAW dan rombongan besar beliau itu meninggalkan Madinah, empat atau lima hari sebelum berakhirnya Bulan Dzulqa’idah tahun 10 H, dan setelah sekitar delapan hari perjalanan, mereka sampai di Makkah pada tanggal 4 Dzulhijjah 10 H. Saat wuquf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, beliau minta didatangkan unta beliau Al Qashwa, dan beliau menungganginya hingga di tengah padang Arafah. Dari tempat itu beliau memberikan khutbah secara umum kepada umat Islam, yang kemudian dikenal dengan nama ‘Khutbah Arafah’. Yang mengulang dengan suara keras khutbah beliau agar bisa didengar oleh ratusan ribu kaum muslimin itu adalah Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf.
Setelah melantunkan pujian dan sanjungan kepada Allah SWT, Rasulullah SAW membuka khutbah dengan perkataan, “Wahai semua manusia, dengarkanlah perkataanku!! Aku tidak tahu pasti, bisa jadi aku tidak akan bisa bertemu dengan kalian lagi setelah tahun ini, dalam keadaan yang seperti ini….!!”
Kemudian beliau memberikan berbagai macam nasehat dan bimbingan kepada mereka. Di sela-sela nasehat tersebut, beberapa kali beliau bersabda, “….bukankah aku telah bertabligh (menyampaikan)??”
Hampir mereka semua berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh, melaksanakan kewajiban dan memberi nasehat!!”
Mendengar itu, sambil mengacungkan jari ke atas, Nabi SAW bersabda sampai tiga kali, “Ya Allah, persaksikanlah!!”
Ketika telah cukup banyak nasehat yang beliau sampaikan, tiba-tiba beliau terdiam, suatu tanda bahwa wahyu tengah turun kepada beliau. Keadaan itu tampaknya sangat memberatkan beliau sehingga beliau bersandar pada unta beliau (pada punuknya), bahkan al Qashwa sendiri tampak merasa keberatan sehingga terduduk, menempelkan perutnya di tanah.
Setelah selesai menerima wahyu tersebut, Nabi SAW langsung membacakannya kepada seluruh kaum muslimin di Arafah, yakni bagian dari QS Al Maidah ayat 3, “Al-yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa rodhiitu lakumul islaama diinaa.”
Artinya adalah : Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu.
Wahyu tersebut adalah ayat terakhir dalam masalah hukum atau syariat. Artinya setelah itu tidak ada lagi wahyu yang turun berkaitan dengan perintah (kefardhuan) dan larangan kepada kaum muslimin. Hari Arafah itu adalah 81 hari sebelum wafatnya Rasulullah SAW. Menurut beberapa ulama, beberapa wahyu masih turun lagi, misalnya QS Surat an Nashr yang turun pada pertengahan hari Tasyriq saat haji itu, QS An Nisa ayat 176 turun 50 hari sebelum wafat, QS At Taubah ayat 128 turun 35 hari sebelum wafat, dan yang terakhir QS Al Baqarah ayat 281 turun 21 hari sebelum kewafatan Nabi SAW.  
Para sahabat yang berkumpul sangat gembira mendengar turunnya wahyu tersebut, mereka saling berkata kepada sesamanya, “Agama kita telah sempurna!!”
Tetapi reaksi Umar bin Khaththab sangat berbeda, kalau yang lainnya berseru gembira, Umar justru menangis. Ketika ada yang menanyakan sebabnya, Umar berkata, “Sesungguhnya setelah ada kesempurnaan itu hanyalah ada kekurangan!!”
Berbeda lagi dengan reaksi Abu Bakar, wajahnya langsung pucat pasi setelah Nabi SAW menyampaikan wahyu tersebut. Ia segera pulang ke rumahnya dan menangis tersedu-sedu di sana. Beberapa orang sahabat datang ke rumah Abu Bakar, dan salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau menangis justru pada saat yang menggembirakan ini, bukankah Allah telah menyempurnakan agama kita?”
Abu Bakar berkata, “Wahai para sahabat, kalian semua tidak menyadari musibah yang akan menimpa kalian ini. Bukankah kalian telah mengetahui, jika suatu perkara telah sempurna, maka akan terlihat kekurangannya. Ayat ini mengisyaratkan akan perpisahan kita dengan Rasulullah, tentang keberadaan Hasan dan Husain menjadi yatim (Dua orang cucu beliau ini memang lebih banyak dinisbahkan kepada Nabi SAW daripada kepada Ali bin Abi Thalib, ayahnya), tentang istri-istri beliau yang menjadi janda….!!”
Seketika mereka semua menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan Abu Bakar, bahkan ada yang menjerit penuh kesedihan. Keadaan ini mengundang perhatian beberapa sahabat lainnya dan melaporkannya kepada Nabi SAW, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan para sahabat. Mereka berkumpul di rumah Abu Bakar dan kami mendengar tangisan dan jerit kesedihan mereka!!”
Nabi SAW segera pergi ke rumah Abu Bakar diikuti beberapa sahabat lainnya, sampai di sana beliau langsung bersabda, “Apa yang membuat kamu sekalian menangis??”
Ali bin Abi Thalib yang juga berada di dalam rumah, berkata, “Abu Bakar menjelaskan bahwa dalam ayat yang baru saja engkau sampaikan itu, ia mencium ‘aroma’ akan kewafatan engkau, ya Rasulullah. Apakah memang benar seperti itu??”
Nabi SAW tersenyum, senyum yang sejuk dan menenangkan, tetapi beliau tidak mau menutup-nutupinya, beliau bersabda, “Benar apa yang dikatakan Abu Bakar, sungguh telah dekat saatnya kepergianku dari sisi kalian semua, dan perpisahanku dengan kalian semua!!”
Seketika pecahlah tangis mereka semua, termasuk sahabat yang baru datang mengiringi Nabi SAW. Akan halnya Abu Bakar, walaupun ia yang telah menduganya, tetapi begitu ucapan itu langsung keluar dari mulut Rasulullah SAW sendiri, ia tidak mampu menahan kepedihan hatinya dan seketika pingsan.
Dalam setiap pelaksanaan rangkaian ibadah haji itu, seperti thawaf, sa’i, melempar jumrah dan lain-lainnya, sering sekali Nabi SAW bersabda, “Pelajarilah manasik kalian dariku ini, karena boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini, dalam keadaan seperti ini!!”
Turunnya surat An Nashr, yakni : Idzaa jaa-a nashrullahi wal fatkhu, wa ro-aitan naasa yadh-khuluuna fii diinillaahi afwajan, fasabbikh bi khamdi robbika wastaghfir-hu innahuu kaana tawwaban, setelah terjadinya Fathul Makkah, atau menurut riwayat lain turun pada pertengahan hari Tasyriq pada saat haji Wada’ tersebut, menurut sahabat Abdullah bin Abbas merupakan isyarat yang sangat gamblang akan berpulangnya Rasulullah SAW ke hadirat Allah SWT.
Pada tahun 10 hijriah itu juga, Nabi SAW mengirimkan sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada penduduknya, yang kebanyakan baru memeluk Islam setelah terjadinya Fatkhul Makkah. Sekaligus ia ditugaskan sebagai pengumpul zakat mereka. Setelah beberapa perbincangan untuk ‘mengetes’ pengetahuan Mu’adz, kemudian beliau bersabda, “Wahai Mu’adz, boleh jadi engkau tidak akan bertemu lagi dengan aku sesudah tahun ini, dan boleh jadi engkau hanya akan lewat di masjidku ini, dan juga kuburanku!!”
            Mu’adz menangis sejadi-jadinya. Kalau saja boleh memilih, tentulah ia ingin tetap tinggal di Madinah untuk mengisi waktu-waktu yang tersisa selalu bersama Rasulullah SAW. Tetapi tugas telah ditetapkan  dan ia tidak mungkin menolak perintah beliau. Setidaknya dengan sabda beliau itu, Nabi SAW telah berpamitan kepadanya selagi ada kesempatan bertemu. Dan memang Mu’adz tenggelam dalam tugas yang diberikan Nabi SAW di Yaman saat beliau wafat, dan baru bisa menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Madinah saat Abu Bakar telah menjadi khalifah. Sungguh benar sekali yang diramalkan Nabi SAW, ia hanya bisa menjumpai masjid dan kuburan Nabi SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar