Senin, 07 Oktober 2013

Hak Allah Memberikan Hidayah

            Sosok dan kepribadian Rasulullah SAW sangatlah menarik dan mampu menundukkan kekerasan hati seseorang, tetapi beliau tetaplah manusia biasa yang tidak bisa ‘memberi’ hidayah kepada seseorang agar beriman dan memeluk Islam. Sebaik dan sebanyak apapun pengenalan seseorang kepada Nabi SAW, belum tentu ia memperoleh karunia dan hidayah keimanan, sebagaimana yang terjadi pada Abu Thalib bin Abdul Muthalib, paman beliau sendiri.
            Pada masa-masa awal Nabi SAW mendakwahkan Islam di Makkah, secara manusiawi dan emosional beliau mempunyai dua ‘sandaran’ yang kokoh, yaitu Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib. Karena itu ketika istri dan paman beliau itu wafat, beliau sangat bersedih dan merasa amat kehilangan, dan tahun tersebut dikenal dalam tarikh Islam sebagai Tahun Duka Cita (Amul Huzni). Terlebih lagi, Abu Thalib yang begitu kokoh dan tegar membela Nabi SAW dari gangguan dan siksaan kaum kafir Quraisy meninggal dalam kekafiran, dalam agama jahiliahnya.
            Ketika Abu Thalib dalam sakit yang membawanya kepada kematian, Rasulullah SAW datang menjenguknya, tetapi di rumah tersebut telah ada Abu Jahal bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah, dua orang tokoh Quraisy mendahului beliau. Beliau berkata kepada Abu Thalib, “Wahai paman, ucapkanlah : Laa ilaaha illallaah, yaitu suatu kalimat yang aku akan menjadi saksi untukmu di sisi Allah!!”
            Tetapi seketika itu Abu Jahal dan Abdullah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama ayahmu, Abdul Muthalib??”
            Nabi SAW berkata lagi, “Wahai paman, ucapkanlah : Laa ilaaha illallaah!!”
            Lagi-lagi kedua orang itu mengulang-ulang ucapannya, Nabi SAW-pun tidak berhenti mempengaruhi untuk mengucapkan satu kalimat pendek itu, tetapi akhirnya Abu Thalib berkata, “Aku tetap dalam agama Abdul Muthalib!!”
            Nabi SAW amat bersedih mendengar perkataannya tersebut, apalagi sesaat kemudian Abu Thalib meninggal dunia. Di tengah kesedihannya, Nabi SAW berkata, “Demi Allah aku akan selalu memohonkan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang untuk itu!!”
            Tetapi beliau tidak lagi mendoakan ampunan untuk Abu Thalib ketika turun firman Allah, QS At Taubah ayat 113, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.”
            Dalam kisah lainnya, ketika Nabi SAW telah tinggal di Madinah, banyak sekali orang yang mengabdikan diri untuk melayani beliau, termasuk anak-anak dan remaja seperti Anas bin Malik dan Rabiah bin Ka’b al Aslamy. Ada juga seorang anak dari kaum Yahudi yang menjadi pelayan Nabi SAW karena rasa ketertarikannya kepada kepribadian beliau.
            Suatu ketika anak Yahudi itu sakit, maka Nabi SAW menjenguk dirinya. Beliau berdiri di sisi kepalanya dan bersabda, “Masuk Islamlah!!”
            Anak Yahudi itu menoleh kepada ayahnya yang berada di sisinya. Sang ayah terdiam beberapa saat lamanya, kemudian berkata, “Taatilah Abul Qasim!!”
            Abul Qasim adalah nama kuniah Nabi SAW. Anak Yahudi itu mengucap dua kalimah syahadat di hadapan Nabi SAW dan ayahnya untuk menyatakan keislamannya. Ketika Nabi SAW keluar dari rumah itu, beliau bersabda, “Alhamdu lillaahil ladzii anqadzahu minan naar!!”
            Maksudnya adalah : Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dirinya dari neraka.     

2 komentar:

  1. assalamualaikum mas, saya dari Malaysia, ingin berhubung dengan mas.jazakallahukhairan

    fitriyusof(@) yahoo.com

    BalasHapus