Sabtu, 06 Oktober 2012

Istiqomah Shalawat yang Menyelamatkan

            Di masa Nabi SAW, ada seorang Yahudi yang menuduh seorang muslim mencuri unta, yang sebenarnya unta itu adalah miliknya sendiri. Untuk memperkuat tuduhan itu, Si Yahudi ‘menyewa’ empat orang muslim lainnya untuk membenarkan ‘klaimnya’ bahwa unta itu adalah miliknya. Empat orang muslim yang dibayar tersebut memang termasuk dari kalangan kaum munafik, lahiriahnya saja beragama Islam, tetapi jiwanya sangat memusuhi Islam, atau keislaman itu dipergunakannya hanya untuk memperoleh keuntungan duniawiah semata-mata.
            Ketika Nabi SAW memperoleh laporan Si Yahudi, berikut empat orang saksi palsunya, beliau memerintahkan mendatangkan lelaki muslim pemilik unta yang diklaim tersebut, termasuk unta yang disengketakan itu. Setelah ia datang, beliau bersabda, “Orang Yahudi ini telah menuduh engkau mencuri untanya, dan ia membawa empat orang saksi ini. Jika engkau memang tidak mencuri, atau unta ini memang milikmu, tunjukkanlah buktinya, atau datangkanlah empat orang saksi sebagai hujjahmu!!”
            Si Muslim itu dengan kebingungan berkata, “Wahai Rasulullah, unta ini memang milik saya, tetapi saya tidak tahu bagaimana saya harus membuktikannya, atau bagaimana bisa saya mendatangkan empat saksi untuk memperkuat kepemilikan saya!!”
            Mendengar jawaban tersebut, Nabi SAW bersabda, “Kalau demikian halnya, tuduhan orang Yahudi itu benar, unta itu miliknya dan engkau akan dijatuhi hukum qishash, yakni dipotong salah satu tanganmu!!”
Memang, dalam memutuskan hal-hal yang bersifat hukum atau fiqiyah, Nabi SAW hanya akan melihat dan menilai bukti dan saksi-saksi dengan pengakuan lahiriahnya semata, dalam hal bathiniahnya (kebenaran atau kepalsuan bukti dan saksi yang ditunjukkan), beliau menyerahkan urusannya kepada Allah. Kecuali jika ada pemberitahuan khusus dari Allah melalui malaikat Jibril atau dari jalan lainnya, barulah beliau memutuskan berbeda dengan bukti dan saksi yang ditunjukkan. Dalam kasus di atas, beliau memang tidak memperoleh pemberitahuan dari Malaikat Jibril, karena itu beliau ‘memenangkan’ kasus tersebut pada si Yahudi.
            Tampak orang Yahudi beserta empat orang saksi palsunya tertawa gembira, sedang si Muslim makin tenggelam dalam kesedihan dan kebingungan. Keputusan Nabi SAW telah ditetapkan, jika ia menolak sama artinya telah ingkar kepada beliau, dan jatuhlah ia dalam kekafiran. Tetapi ia yakin tengah didzalimi oleh orang Yahudi itu, hanya saja ia tidak tahu bagaimana harus membela diri. Dalam keadaan buntu seperti itu, si Muslim berdoa, “Ya Allah, hanya Engkau tempat aku mengadu, dan hanya Engkau yang mengetahui bahwa aku tidak mencuri unta ini!!”
            Sesaat dalam keadaan tercenung, seolah-olah mendapat ilham, si Muslim menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, keputusan engkau adalah benar, dan saya tidak akan pernah berani menentangnya. Tetapi dalam hal ini, tolonglah engkau tanyakan kepada unta ini mengenai saya!!”
            Nabi SAW memenuhi permintaan si Muslim itu, apalagi beliau mendengar sendiri doa yang dipanjatkannya kepada Allah. Setelah menghadapkan diri kepada unta yang digugat tersebut, Nabi SAW bersabda, “Wahai unta, milik siapakah kamu ini??”
            Dan sungguh suatu mu’jizat, tiba-tiba sang unta berbicara dengan bahasa manusia dengan fasihnya, “Wahai Rasulullah, saya adalah milik orang muslim ini, orang Yahudi beserta saksi-saksinya adalah bohong dan palsu belaka!!”
            Pucatlah wajah orang Yahudi dan empat saksinya dari kalangan munafik tersebut mendengar perkataan sang unta. Segera saja mereka bergegas pergi sebelum sempat Nabi SAW mempertanyakan tuduhannya, tetapi beliau membiarkannya saja. Beliau justru memandang kagum kepada si Muslim itu, dan bersabda, “Wahai Fulan bin Fulan, ceritakanlah kepadaku apa yang engkau kerjakan, sehingga Allah mengijinkan unta ini berbicara tentang dirimu!!”
            Si Muslim berkata, “Tidak ada yang istimewa, ya Rasulullah, kecuali saya tidak pernah tidur di malam hari sebelum saya membaca shalawat kepadamu, sepuluh kali!!”
            Maksudnya tidak ada yang istimewa, adalah apa yang diamalkannya tidak berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin yang selalu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasulullah SAW. Tetapi lagi-lagi Nabi SAW memandangnya dengan penuh sayang dan bersabda, “Kamu selamat dan terbebas dari hukuman potong tangan di dunia ini, dan kelak engkau akan selamat dari azab akhirat berkat bacaan shalawatmu kepadaku itu!!”
            Hati si Muslim berbunga-bunga, walau baru saja ia didzalimi, sedikitpun tidak terpikir ia akan menuntut balik kepada si Yahudi dan empat orang muslim (tetapi munafik) tersebut, dengan dalih pencemaran nama baik ataupun kesaksian palsu. ‘Pembenaran’ Rasulullah SAW atas ‘ijtihadnya’ membaca shalawat sepuluh kali sebelum tidur, dan juga ‘jaminan’ beliau bahwa ia akan selamat dari azab akhirat berkat amalannya tersebut, merupakan berkah yang sangat besar, sehingga menghapuskan ‘rasa terdzaliminya’ tersebut.
            Amalannya tersebut tidak sepenuhnya merupakan amalan baru (bid’ah) yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Pada dasarnya beliau menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak membaca shalawat kepada beliau, termasuk sebelum tidur tersebut. Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah menganjurkan empat hal kepada istri beliau, Aisyah RA, sebelum ia berangkat tidur. Pertama adalah mengkhatamkan Al Qur’an, kedua adalah memastikan bahwa ia akan memperoleh syafaat Rasulullah SAW pada yaumul makhsyar atau kiamat kelak, ketiga adalah memastikan bahwa seluruh kaum muslimin (di seluruh dunia) menjadi ridha atas dirinya, dan yang ke empat, ia melaksanakan haji dan umrah.
            Tentu saja Aisyah terheran-heran, sekaligus kebingungan bagaimana merealisasikan anjuran Nabi SAW tersebut, satu saja hampir tidak mungkin, apalagi keempat-empatnya. Nabi SAW tersenyum melihat keadaan istri kesayangan beliau tersebut, kemudian bersabda, “Bahwa engkau mengkhatamkan Al Qur’an sebelum tidur, cukuplah engkau membaca surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali….!!”
            Beliau menjelaskan lebih lanjut tentang amalan sebelum berangkat tidur tersebut, dengan membaca shalawat sebanyak sepuluh kali, maka ia akan memperoleh syafaat Rasulullah SAW pada yaumul makhsyar atau hari kiamat kelak.
            Dengan membaca istighfar, atau mendoakan ampunan untuk diri sendiri, orang tua dan seluruh kaum muslimin, sebanyak tujuh kali, sama artinya ia telah memperoleh keridhaan dari seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Redaksi sederhana bisa seperti ini : Astaghfirullah al azhiim, wa liwaalidayya, wa lil mu’miniina wal mu’minaat, al akhyaa-i minhum wal amwaat. Atau bisa memakai redaksi doanya Nabi Ibrahim AS sebagaimana tercantum dalam QS Ibrahiim ayat 41, atau beberapa redaksi lainnya.
            Dan untuk melaksanakan haji dan umrah, maka dengan membaca serangkaian kalimat thayyibah sebanyak tujuh kali, maka sama artinya ia memperoleh pahala seperti orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah. Rangkaian kalimat Thayyibah adalah : Subkhaanallaah wal khamdulillaah wa laa ilaaha illallaah allaahu akbar laa khaula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.

Note:dn535etc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar