Sosok dan
kepribadian Rasulullah SAW sangatlah menarik dan mampu menundukkan kekerasan
hati seseorang, tetapi beliau tetaplah manusia biasa yang tidak bisa ‘memberi’
hidayah kepada seseorang agar beriman dan memeluk Islam. Sebaik dan sebanyak
apapun pengenalan seseorang kepada Nabi SAW, belum tentu ia memperoleh karunia
dan hidayah keimanan, sebagaimana yang terjadi pada Abu Thalib bin Abdul Muthalib,
paman beliau sendiri.
Pada masa-masa awal Nabi SAW
mendakwahkan Islam di Makkah, secara manusiawi dan emosional beliau mempunyai
dua ‘sandaran’ yang kokoh, yaitu Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib.
Karena itu ketika istri dan paman beliau itu wafat, beliau sangat bersedih dan
merasa amat kehilangan, dan tahun tersebut dikenal dalam tarikh Islam sebagai
Tahun Duka Cita (Amul Huzni). Terlebih lagi, Abu Thalib yang begitu kokoh dan
tegar membela Nabi SAW dari gangguan dan siksaan kaum kafir Quraisy meninggal
dalam kekafiran, dalam agama jahiliahnya.
Ketika Abu Thalib dalam sakit yang
membawanya kepada kematian, Rasulullah SAW datang menjenguknya, tetapi di rumah
tersebut telah ada Abu Jahal bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah, dua orang
tokoh Quraisy mendahului beliau. Beliau berkata kepada Abu Thalib, “Wahai
paman, ucapkanlah : Laa ilaaha illallaah,
yaitu suatu kalimat yang aku akan menjadi saksi untukmu di sisi Allah!!”
Tetapi seketika itu Abu Jahal dan Abdullah
berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama ayahmu, Abdul
Muthalib??”
Nabi SAW berkata lagi, “Wahai paman,
ucapkanlah : Laa ilaaha illallaah!!”
Lagi-lagi kedua orang itu
mengulang-ulang ucapannya, Nabi SAW-pun tidak berhenti mempengaruhi untuk
mengucapkan satu kalimat pendek itu, tetapi akhirnya Abu Thalib berkata, “Aku
tetap dalam agama Abdul Muthalib!!”
Nabi SAW amat bersedih mendengar
perkataannya tersebut, apalagi sesaat kemudian Abu Thalib meninggal dunia. Di
tengah kesedihannya, Nabi SAW berkata, “Demi Allah aku akan selalu memohonkan
ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang untuk itu!!”
Tetapi beliau tidak lagi mendoakan
ampunan untuk Abu Thalib ketika turun firman Allah, QS At Taubah ayat 113, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.”
Dalam
kisah lainnya, ketika Nabi SAW telah tinggal di Madinah, banyak sekali orang
yang mengabdikan diri untuk melayani beliau, termasuk anak-anak dan remaja
seperti Anas bin Malik dan Rabiah bin Ka’b al Aslamy. Ada juga seorang anak dari kaum Yahudi yang menjadi
pelayan Nabi SAW karena rasa ketertarikannya kepada kepribadian beliau.
Suatu ketika anak Yahudi itu sakit,
maka Nabi SAW menjenguk dirinya. Beliau berdiri di sisi kepalanya dan bersabda,
“Masuk Islamlah!!”
Anak Yahudi itu menoleh kepada
ayahnya yang berada di sisinya. Sang ayah terdiam beberapa saat lamanya,
kemudian berkata, “Taatilah Abul Qasim!!”
Abul Qasim adalah nama kuniah Nabi
SAW. Anak Yahudi itu mengucap dua kalimah syahadat di hadapan Nabi SAW dan
ayahnya untuk menyatakan keislamannya. Ketika Nabi SAW keluar dari rumah itu,
beliau bersabda, “Alhamdu lillaahil ladzii anqadzahu minan naar!!”
Maksudnya adalah : Segala puji bagi
Allah yang telah menyelamatkan dirinya dari neraka.
Note:sb1-291290sr159