Senin, 19 Agustus 2013

Terlalu Memuji dan Memuliakan Seseorang

Ketika kaum muslimin di Makkah berhijrah ke Madinah, Nabi SAW mempersaudarakan mereka, yang kemudian disebut kaum Muhajirin, dengan penduduk asli Madinah yang telah memeluk Islam, yang kemudian disebut kaum Anshar. Dalam beberapa keadaan, para sahabat Anshar itu saling ‘berebutan’ untuk bisa menjamin kehidupan kaum Muhajirin itu yang jumlahnya memang lebih sedikit, sehingga Nabi SAW terpaksa melakukan ‘undian’. Salah satunya adalah sahabat Utsman bin Mazh’un, yang kemudian ‘jatuh’ pada keluarga wanita Anshar bernama Ummul ‘Ala.
Utsman bin Mazh’un adalah seorang sahabat yang saleh dan sangat mencintai Rasulullah SAW. Ia sempat berhijrah ke Habasyah dan merasakan ketenangan beribadah karena perlindungan Raja Najasyi, tetapi kerinduannya kepada Nabi SAW memaksa dirinya kembali ke Makkah. Saat tinggal di Makkah lagi, sebenarnya ia mendapatkan perlindungan keamanan dari tokoh kafir Quraisy, Walid bin Mughirah, yang terhitung masih pamannya sendiri. Tetapi melihat kaum muslimin lainnya mengalami penderitaan dan penyiksaan yang tidak terperikan dari kaum kafir Quraisy, ia merasa keimanan dan keislamannya kurang lengkap jika tidak merasakan penderitaan yang sama. Karena itu ia ‘mengembalikan’ jaminan keamanan kepada Walid bin Mughirah, dan memilih jaminan Allah semata, maka ia mulai merasakan penderitaan akibat penyiksaan seperti kaum muslimin lainnya.
Ketika tinggal dan dipersaudarakan dengan keluarga Ummul ‘Ala, kerajinan Utsman beribadah kepada Allah makin meningkat saja. Bahkan karena asyiknya beribadah, ia sempat ‘mengabaikan’ istrinya begitu saja, sampai-sampai Nabi SAW turun tangan mengingatkan akan kewajibannya mempergauli istrinya. Kalau tidak sedang berjuang di jalan Allah bersama kaum muslimin lainnya, ia layaknya seorang rahib yang tenggelam dalam ibadahnya kepada Allah. Bahkan ketika sedang berkuda menerjuni medan jihad fi sabilillah, jiwa ‘rahib’-nya masih saja tampak dalam dirinya.
Setelah beberapa tahun tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh’un meninggal karena sakit. Setelah jenazahnya dimandikan dan dikafani, Nabi SAW datang. Ummul ‘Ala yang memang mengetahui keseharian Ibnu Mazh’un berkata kepada jenazahnya, “Semoga rahmat Allah tercurah atas engkau, wahai Abu Saib (nama kunyah Utsman bin Mazh’un), aku menjadi saksi bagimu, sesungguhnya Allah telah memuliakanmu!!”
Mendengar ucapannya tersebut, Nabi SAW bersabda dengan nada menegur, “Bagaimana engkau tahu Allah telah memuliakannya??”
Ummul ‘Ala terkejut mendengar teguran Nabi SAW itu. Tentunya para sahabat, baik kaum Muhajirin ataupun Anshar, tahu betul bagaimana banyaknya dan tingkat kualitas ibadah Utsman bin Mazh’un, tetapi hanya dengan melihat hal itu sepertinya belum cukup untuk menjadi jaminan bahwa orang itu dimuliakan oleh Allah.
Sebagai permintaan maaf, Ummul ‘Ala berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusannya, siapakah kiranya orang yang dimuliakan Allah??”
Nabi SAW bersabda, “Dia telah meninggal. Demi Allah, aku hanya bisa mengharap dan mendoakan semoga dia mendapat kebaikan dari Allah. Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, walau aku seorang utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah kepadaku!!”
Ummul ‘Ala berkata, seolah kepada dirinya sendiri, “Demi Allah, sesudah ini aku tidak akan pernah menyatakan diri seseorang itu suci atau mulia di sisi Allah!!”
      
Note:sb1-271rhr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar