Ketika
kaum muslimin di Makkah berhijrah ke Madinah, Nabi SAW mempersaudarakan mereka,
yang kemudian disebut kaum Muhajirin, dengan penduduk asli Madinah yang telah
memeluk Islam, yang kemudian disebut kaum Anshar. Dalam beberapa keadaan, para
sahabat Anshar itu saling ‘berebutan’ untuk bisa menjamin kehidupan kaum
Muhajirin itu yang jumlahnya memang lebih sedikit, sehingga Nabi SAW terpaksa
melakukan ‘undian’. Salah satunya adalah sahabat Utsman bin Mazh’un, yang
kemudian ‘jatuh’ pada keluarga wanita Anshar bernama Ummul ‘Ala.
Utsman
bin Mazh’un adalah seorang sahabat yang saleh dan sangat mencintai Rasulullah
SAW. Ia sempat berhijrah ke Habasyah dan merasakan ketenangan beribadah karena
perlindungan Raja Najasyi, tetapi kerinduannya kepada Nabi SAW memaksa dirinya
kembali ke Makkah. Saat tinggal di Makkah lagi, sebenarnya ia mendapatkan
perlindungan keamanan dari tokoh kafir Quraisy, Walid bin Mughirah, yang
terhitung masih pamannya sendiri. Tetapi melihat kaum muslimin lainnya mengalami
penderitaan dan penyiksaan yang tidak terperikan dari kaum kafir Quraisy, ia
merasa keimanan dan keislamannya kurang lengkap jika tidak merasakan
penderitaan yang sama. Karena itu ia ‘mengembalikan’ jaminan keamanan kepada
Walid bin Mughirah, dan memilih jaminan Allah semata, maka ia mulai merasakan
penderitaan akibat penyiksaan seperti kaum muslimin lainnya.
Ketika
tinggal dan dipersaudarakan dengan keluarga Ummul ‘Ala , kerajinan Utsman beribadah kepada Allah
makin meningkat saja. Bahkan karena asyiknya beribadah, ia sempat ‘mengabaikan’
istrinya begitu saja, sampai-sampai Nabi SAW turun tangan mengingatkan akan
kewajibannya mempergauli istrinya. Kalau tidak sedang berjuang di jalan Allah
bersama kaum muslimin lainnya, ia layaknya seorang rahib yang tenggelam dalam
ibadahnya kepada Allah. Bahkan ketika sedang berkuda menerjuni medan jihad fi sabilillah, jiwa ‘rahib’-nya
masih saja tampak dalam dirinya.
Setelah
beberapa tahun tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh’un meninggal karena sakit.
Setelah jenazahnya dimandikan dan dikafani, Nabi SAW datang. Ummul ‘Ala yang memang
mengetahui keseharian Ibnu Mazh’un berkata kepada jenazahnya, “Semoga rahmat
Allah tercurah atas engkau, wahai Abu Saib (nama kunyah Utsman bin Mazh’un),
aku menjadi saksi bagimu, sesungguhnya Allah telah memuliakanmu!!”
Mendengar
ucapannya tersebut, Nabi SAW bersabda dengan nada menegur, “Bagaimana engkau
tahu Allah telah memuliakannya??”
Ummul
‘Ala terkejut
mendengar teguran Nabi SAW itu. Tentunya para sahabat, baik kaum Muhajirin
ataupun Anshar, tahu betul bagaimana banyaknya dan tingkat kualitas ibadah
Utsman bin Mazh’un, tetapi hanya dengan melihat hal itu sepertinya belum cukup
untuk menjadi jaminan bahwa orang itu dimuliakan oleh Allah.
Sebagai
permintaan maaf, Ummul ‘Ala
berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusannya,
siapakah kiranya orang yang dimuliakan Allah??”
Nabi
SAW bersabda, “Dia telah meninggal. Demi Allah, aku hanya bisa mengharap dan
mendoakan semoga dia mendapat kebaikan dari Allah. Demi Allah yang jiwaku di
Tangan-Nya, walau aku seorang utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan
diperbuat Allah kepadaku!!”
Ummul
‘Ala berkata,
seolah kepada dirinya sendiri, “Demi Allah, sesudah ini aku tidak akan pernah
menyatakan diri seseorang itu suci atau mulia di sisi Allah!!”
Note:sb1-271rhr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar