Senin, 19 Maret 2012

Ketika Nabi SAW dan Aisyah Berbeda Pendapat

            Rumah tangga Rasulullah SAW adalah teladan terbaik, walau kebanyakan hidup dalam kekurangan secara materi dengan sembilan istri, tetapi beliau bersabda, “Baitii jannatii!!” (Rumah tanggaku adalah surgaku!!).
            Namun dengan berbagai kelebihan itu, beliau masih manusia biasa, sehingga tidak jarang beliau ‘didebat’ oleh mereka, termasuk istri kecintaan beliau, al Khumaira, Aisyah binti Abu Bakar. Pernah terjadi suatu pembicaraan, yang Aisyah tidak bisa sepenuhnya menerima pendapat Rasulullah SAW. Aisyah memang seorang yang cerdas sehingga ia mampu membuat argumen untuk mendukung pendapatnya.
            Akan halnya Nabi SAW sendiri, ketika beliau menyampaikan suatu hal yang didasari suatu kebenaran, tidak mungkin beliau mengubahnya. Seperti yang disampaikan oleh Al Qur’an : Tidaklah dia (Muhammad SAW) itu berbicara dengan hawa nafsunya, sesungguhnya semua itu (didasari) oleh wahyu yang diturunkan kepadanya (Walaa yanthiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyun yuukhaa).
Namun demikian, dengan kedudukannya sebagai Rasul Allah, dan juga sebagai suami, beliau tidak dengan semena-mena memaksakan pendapat yang sudah pasti benarnya itu. Justru beliau berkata kepada Aisyah, “Siapa yang akan  kauterima sebagai penengah (hakim) antara aku dan dirimu? Apakah engkau bisa menerima Abu Ubaidah bin Jarrah??”
Abu Ubaidah bin Jarrah memang digelari Rasulullah SAW sebagai ‘Orang Kepercayaan Umat ini’, karena sifatnya yang amanah dan dapat dipercaya oleh hampir semua orang, termasuk yang beragama lain. Tidak pernah berpijak kecuali di atas kebenaran. Tetapi mendengar usulan Rasulullah SAW ini, Aisyah berkata, “Tidak, ia adalah orang yang lemah lembut, ia pasti akan memenangkan perkaramu (pendapatmu)!!”
Nabi SAW berkata lagi, “Apakah engkau bisa menerima ayahmu sendiri?”
“Baiklah!!” Kata Aisyah dengan gembira.
Beliau memerintahkan salah seorang sahabat untuk memanggil Abu Bakar untuk datang ke rumah beliau. Ketika Abu Bakar telah tiba, beliau berkata kepada Aisyah, “Ceritakanlah!!”
Tetapi Aisyah berkata, “Engkau saja  yang bercerita!!”
Abu Bakar tampak tak mengerti melihat perilaku dua orang kesayangannya itu, yang satu adalah putrinya, satunya lagi adalah sahabat dan kecintaannya, sekaligus menantunya. Akhirnya Nabi SAW menjelaskan permasalahan yang terjadi secara mendetail. Mendengar penuturan beliau itu, tampak wajah Abu Bakar bersemu merah, antara marah dan malu. Dan tanpa dapat ditahan lagi, seolah-olah reflek, tangannya melayang menampar Aisyah sambil berkata, “Hai binti Ummi Ruman, pantaskah engkau mengatakan yang tidak benar kepada Rasulullah? Cukup sudah, siapa lagi yang benar kalau Rasulullah tidak benar??”
Aisyah sama sekali tidak menyangka dengan reaksi ayahnya yang terkenal lembut dan sangat menyayanginya. Ia menyangka, dengan ayahnya sebagai ‘hakim’, ia akan memperoleh perlindungan dalam perkaranya bersama Nabi SAW. Tetapi, bukanlah ash-Shiddiq namanya jika Abu Bakar tidak membenarkan Rasulullah. Bahkan dalam peristiwa yang sangat tidak masuk akal dan hanya semacam ‘bualan’ saja saat itu, yakni peristiwa Isra’Mi’raj Nabi SAW, Abu Bakar yang berdiri pertama kali membenarkan Nabi SAW, sementara banyak sekali kaum muslimin sendiri yang dihinggapi keragu-raguan.
Darah mengalir dari mulut dan hidung Aisyah akibat tamparan ayahnya tersebut, ia tampak sangat ketakutan. Nabi SAW segera menghampiri dan memeluknya, melindunginya dari kemarahan Abu Bakat lebih lanjut. Sambil mengisyaratkan agar pergi, beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Kami tidak menginginkan hal ini darimu!!”
Nabi SAW membersihkan darah yang mengalir dari hidung dan bibir Aisyah, sekaligus yang mengotori bajunya sambil bersabda, “Tidakkah engkau lihat bagaimana aku telah menyelamatkanmu dari kemarahan ayahmu??”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar