Rabu, 27 Februari 2013

Nabi SAW, Antara Aisyah dan Shalat Malam

            Aisyah adalah istri yang paling disayangi Rasulullah SAW, tentulah setelah istri pertama beliau yang telah wafat, Khadijah binti Khuwailid, dan ia selalu membanggakan hal itu terhadap istri-istri beliau lainnya. Ia juga satu-satunya istri yang beliau nikahi dalam keadaan gadis. Aisyah juga memperoleh giliran tambahan bersama Nabi SAW karena salah satu istri beliau yang telah tua, Saudah binti Zam’ah ‘memberikan’ gilirannya kepada Aisyah. Dua orang istri beliau ini, yang termuda dan tertua, memang yang paling akrab hubungannya, tanpa ada diselingi rasa cemburu sedikitpun. Terhadap istri Nabi SAW lainnya terkadang Aisyah masih merasa cemburu.
            Suatu malam saat giliran Aisyah, atau giliran Saudah yang diberikan kepadanya, Nabi SAW datang ke rumahnya. Setelah membuka baju, beliau berbaring di sisi Aisyah dan bercanda dengannya. Tetapi tidak lama berselang, tiba-tiba Nabi SAW bangkit berdiri, memakai kembali dua lembar baju beliau dan berjalan keluar. Tentu saja timbul berbagai pertanyaan pada diri Aisyah, ia menduga, “Tentulah beliau datang ke rumah salah satu maduku (Istri beliau lainnya)!!”
            Tiba-tiba muncul rasa cemburunya, Aisyah segera berpakaian dan mengikuti kepergian Nabi SAW dari kejauhan. Ia terus berjalan mengikuti, ternyata Rasulullah SAW pergi ke makam Baqi. Di sana beliau berdoa dan membacakan istighfar untuk arwah kaum muslimin, termasuk para syuhada yang gugur di jalan Allah, walau mungkin tidak dimakamkan di Baqi tersebut. Aisyah menjadi malu sendiri melihat hal itu, apalagi ia telah berprasangka buruk kepada beliau, ia membatin, “Engkau, ya Rasulullah, sibuk dengan urusan agama dan keselamatan umat Islam, sedangkan aku sibuk dengan urusan (kesenangan) duniaku!!”
            Aisyah segera berbalik, berjalan pulang dengan tergesa-gesa takut ketahuan Nabi SAW, dan tiba di rumah dengan nafas terengah-engah. Tetapi tidak lama berselang beliau masuk rumah, dan mengetahui keadaan Aisyah, beliau bersabda, “Mengapa nafasmu itu, wahai Aisyah??”
            Dengan malu-malu Aisyah berkata, “Wahai Nabiyallah, engkau datang, membuka pakaian dan berbaring di sampingku, tetapi tiba-tiba engkau bangkit berdiri, berpakaian kembali dan berjalan keluar meninggalkanku sendirian. Karena itu muncul rasa cemburuku, kalau engkau mendatangi salah seorang maduku, akupun berjalan keluar mengikuti engkau. Tetapi ternyata engkau berada di Baqi dan aku melihat apa yang engkau lakukan. Setelah itu aku bergegas pulang hingga nafasku terengah-engah seperti ini!!”
            Nabi SAW tersenyum mendengar penjelasannya, kemudian bersabda, “Hai Aisyah, apakah engkau khawatir kalau Allah dan Rasulullah (SAW) tidak jujur kepadamu?? Sesungguhnya saat aku berbaring di sisimu, tiba-tiba Malaikat Jibril datang menghampiriku dan berkata : Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban….!!”
            Hal ini juga merupakan keutamaan Aisyah di antara istri-istri Nabi SAW lainnya. Tidak pernah malaikat, khususnya malaikat Jibril mendatangi Nabi SAW ketika sedang ‘berduaan’ bersama istri-istri beliau kecuali ketika bersama Aisyah.
            Nabi SAW meneruskan penjelasannya, bahwa Malaikat Jibril menyatakan kalau pada malam Nishfu Sya’ban itu Allah memerdekakan orang-orang dari neraka sebanyak bulu kambing Bani Kalb (yakni, jumlahnya banyak sekali). Namun demikian ada beberapa kelompok manusia yang Allah tidak akan memandangnya, yakni tidak melimpahkan Rahmat dan Maghfirah-Nya hingga mereka tidak termasuk yang terbebaskan dari neraka pada malam yang penuh barakah tersebut. Mereka ini adalah :
1.      Orang-orang musyrik, atau orang yang menyekutukan Allah.
2.      Orang muslim yang bersengketa atau bertengkar sehingga mereka tidak saling menyapa (tidak merelakan) saudaranya hingga lebih dari tiga hari.
3.      Orang yang memutuskan silaturahmi.
4.        Orang yang menurunkan kainnya (sarungnya) di bawah tumit, khususnya yang didasari rasa sombong.
5.      Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
6.      Orang yang selalu minum minuman keras, khamr dan sejenisnya.
Karena itulah Nabi SAW meninggalkan Aisyah dalam keadaan seperti itu, dan pergi ke makam Baqi untuk mendoakan umat beliau agar semakin banyak yang dibebaskan dari neraka.
            Memahami perasaan Aisyah sebelumnya yang dihantui prasangka karena ditinggalkan begitu saja, Nabi SAW melepas baju beliau dan bersiap berbaring di sisinya seperti sebelumnya. Tetapi sepertinya Nabi SAW masih ‘kepikiran’ dengan keadaan umat Islam, berkaitan dengan fadhilah malam Nishfu Sya’ban itu. Kalau bisa, Nabi SAW menginginkan agar tidak ada satupun dari umat beliau yang masuk neraka, atau mencicipi panasnya, semuanya masuk surga dengan lancar tanpa mampir. Karena itu beliau bersabda, “Wahai Aisyah, ini adalah malam Nishfu Sya’ban, apakah engkau mengijinkan aku untuk shalat pada malam ini??”
            Tentu pilihan yang tidak mudah bagi Aisyah, karena malam-malam seperti itu adalah saat yang paling ditunggunya untuk bisa ‘bersenang-senang’ bersama Rasulullah SAW. Tetapi lebih daripada itu, kesenangan Rasulullah SAW dalam bermunajat kepada Allah, lebih penting daripada kesenangan pribadinya. Karena itu ia membolehkan Nabi SAW ‘meninggalkannya’ untuk shalat pada malam itu, walau masih di tempat yang sama.
            Nabi SAW memakai bajunya kembali dan mulai melaksanakan shalat, sementara Aisyah berbaring di sisi beliau. Seperti biasanya shalat Nabi SAW, ketika melaksanakan shalat sendirian selalu lama dan panjang, baik berdirinya, ruku ataupun sujudnya. Tetapi dalam salah satu sujudnya, tampak beliau begitu lama, jauh lebih lama daripada biasanya, sehingga Aisyah menyangka Rasulullah SAW telah wafat dalam sujudnya itu. Ada ketakutan dan kekhawatiran dalam diri Aisyah, maka ia menyentuh telapak kaki beliau.
            Tampaknya Nabi SAW menyadari sikap istri tersayangnya itu, beliau bergerak sedikit dan agak mengeraskan bacaan doa dalam sujud tersebut. Aisyah menjadi tenang kembali, karena yakin bahwa beliau belum meninggal seperti perkiraannya. Dengan jelas ia mendengar beliau berdoa dalam sujudnya itu : A’uudzu bi afwika min ‘iqoobika, wa a’uudzu bi ridhooka min sakhotika, wa au’dzuubika minka, jalla wajhika, laa ukhshii tsanaa-an ‘alaika anta, kamaa ats-naika’alaa nafsika.
            Maksud dari doa tersebut adalah : Ya Allah, aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung dengan ridhomu dari kemurkaan-Mu, dan aku berlindung dengan (rahmat)-Mu dari (pembalasan/hisab)-Mu, sungguh agung Wajah-Mu, aku tidak bisa memuji kepada-Mu sebagaimana Engkau memuji Diri-Mu.
            Entah sampai berapa lama Nabi SAW shalat pada malam itu, yang jelas Aisyah telah tertidur sebelum beliau selesai shalat. Keesokan harinya ia menceritakan hal itu kepada beliau, dan Nabi SAW bersabda, “Wahai Aisyah, pelajarilah doa itu dan ajarkanlah, sesungguhnya Malaikat Jibril mengajarkannya kepadaku, dan menganjurkan agar aku membacanya berulang-ulang di dalam sujud.” 

Note:ii622  

Ketika Nabi SAW Memukul Seorang Sahabat

             Ketika dalam suatu perjalanan atau pertempuran, Nabi SAW mempunyai kebiasaan khusus mengitari (menginspeksi) para pengikut atau pasukan beliau pada akhir malam menjelang subuh. Biasanya beliau melakukan hal itu setelah melaksanakan shalat malam (tahajud) pada sepertiga malam yang terakhir. Suatu ketika di Bathha, beliau sudah menaiki onta bersiap melakukan inspeksi, tiba-tiba muncul seorang sahabat Muhajirin memegang kendali onta beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya mempunyai keperluan yang penting dengan engkau!!”
            Nabi SAW menjawab, “Lepaskanlah, sesungguhnya engkau akan memperoleh apa yang kamu inginkan!!”
            Tidak seperti biasanya, tampaknya Nabi SAW tidak bisa memenuhi keinginan sahabat tersebut untuk bertemu dan berbicara sekedarnya. Memang waktunya sangat mendesak, jika beliau memenuhi keinginannya, maka beliau tidak akan sempat menginspeksi pasukan atau mungkin shalat subuh akan terlambat. Tetapi sahabat tersebut tidak mau melepaskan pegangannya, hingga beliau memukul dengan pegangan cambuk beliau. Akibat pukulan tersebut, sang sahabat melepaskan pegangannya dan Nabi SAW berlalu meneruskan aktivitas beliau.
            Usai melaksanakan shalat subuh, Rasulullah SAW berdiri menghadap jamaah dan berkata, “Siapakah orang yang aku pukul tadi??”
            Beberapa saat lamanya tidak ada yang tampil, maka beliau bersabda lagi, “Apabila ia ada di tengah-tengah jamaah ini, hendaklah ia berdiri!!”
            Sahabat Muhajirin itu akhirnya berdiri juga dengan rasa khawatir dan takut karena merasa telah ‘mengganggu’ Rasulullah SAW. Ia berkata, “Saya berlindung kepada Allah, kemudian berlindung kepada Rasul-Nya!!”
            “Datanglah engkau ke sini!!” Kata Nabi SAW.
            Ia segera mendatangi dan berdiri di hadapan beliau. Nabi SAW memberikan kepadanya cambuk yang tadi dipakai memukulnya, sambil duduk beliau bersabda, “Pukullah aku sebagaimana aku telah memukul engkau tadi!!”
            Ia berkata, “Saya tidak akan memukul Rasulullah (SAW)!!”
            Beliau bersabda lagi, “Tidak apa-apa, pukullah aku!!”
            Sahabat Muhajirin itu tampak gemetar, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau ia memukul junjungan dan kecintaannya, Nabi SAW. Ia berkata lagi, “Saya tidak akan memukul Rasulullah (SAW)!!”
            Nabi SAW memahami kondisi kejiwaan sahabat Muhajirin tersebut, maka beliau berkata lebih lembut, “Tidak bisa tidak, engkau harus memukul aku, atau engkau memaafkan aku!!”
            Sahabat Muhajirin itu melepas cambuk Nabi SAW yang dipegangnya dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah memaafkan engkau!!”
            Setelah itu ia kembali ke tempatnya sambil menangis, tidak disangkanya sikapnya itu telah menimbulkan kesulitan bagi Nabi SAW. Beliau berdiri menghadap para jamaah dan bersabda, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhanmu, dan tidaklah seseorang dari kalian menganiaya (mendzalimi) seseorang yang beriman, kecuali Allah akan membalasnya nanti pada hari kiamat!!”
            Dosa kedzaliman (penganiayaan) kepada sesama manusia, apalagi kepada sesama orang beriman, sungguh sangat berat bebannya di akhirat. Kalau hanya dosa kepada Allah semata, mungkin bisa diharapkan ampunan-Nya karena memang Allah Maha Pemurah dan Maha Pengampun. Tetapi jika dosa itu menyangkut kedzaliman kepada sesama manusia, baik dalam harta ataupun kehormatannya, maka Allah tidak akan pernah memaafkannya kecuali jika orang yang didzaliminya itu memaafkan atau menghalalkannya. Itulah sebabnya dalam peristiwa tersebut di atas, Nabi SAW meminta sang sahabat Muhajirin memukul balik beliau sebagai qishash, atau ia memaafkan beliau. Padahal dalam peristiwa tersebut, sahabat Muhajirin itu sendiri yang menjadi penyebabnya.
            Sufyan ats Tsauri, salah seorang ulama di masa tabi’in (yakni, orang-orang yang berguru langsung kepada sahabat Nabi SAW) pernah berkata, “Apabila kamu menghadap Allah dengan 70 dosa yang berkaitan antara engkau dengan Allah SWT, hal itu lebih ringan bagimu daripada engkau menghadap Allah dengan membawa satu dosa yang berkaitan dengan sesama manusia.”
            Wallahu A’lam.

Note:tg2-79

Minggu, 03 Februari 2013

Karena Bersikap Bakhil (Pelit)

            Suatu ketika Nabi SAW dan istri kesayangan beliau, Aisyah RA sedang duduk santai, tiba-tiba datang seorang wanita muda yang menutupi tangan kanannya dengan bajunya sehingga tidak terlihat. Setelah mengucap salam dan dipersilahkan duduk, Aisyah berkata kepadanya, “Mengapa engkau tidak mengeluarkan tangan kananmu dari lengan bajumu??”
            Wanita itu berkata, “Wahai Ummul Mukminin, janganlah engkau menanyakan hal itu kepadaku!!”
            Aisyah berkata, “Engkau harus mengatakannya!!”
            “Baiklah,“ Kata wanita itu, “Tangan kanan saya ini mengering dan tidak berfungsi (mati atau lumpuh), karena itu saya menyembunyikannya!!”
            Kemudian wanita itu berpaling kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah tuan doakan kepada Allah, agar tanganku ini bisa pulih, utuh dan kokoh lagi seperti sediakala!!”
            Nabi SAW bersabda, “Mengapa tanganmu jadi seperti itu??”
            Dia berkata, “Semua ini berawal dari sebuah mimpi…”
            Kemudian wanita itu menceritakan, ia bermimpi kalau hari kiamat telah tiba. Surga telah terhampar dengan indahnya, sebaliknya neraka jahanam juga telah dinyalakan dengan hebatnya. Ia melihat ibunya berada di salah satu lembah di dalam neraka. Tangannya memegang sebuah kain atau pakaian usang dan sepotong kecil daging bergajih, yang dengan dua benda itu ibunya berusaha menahan atau menghalau api yang akan menyambar dirinya. Mulutnya menjilat-jilat bibirnya sambil berkata, “Alangkah hausnya aku!!”
            Melihat pemandangan yang memilukan itu, ia menghampiri ibunya dan berkata, “Wahai ibu, mengapa engkau berada di lembah ini? Bukankah engkau seorang wanita yang sholikhah, selalu taat beribadah kepada Allah, dan ayah juga ridha kepadamu saat engkau meninggal??”
            Ibunya berkata, “Wahai anakku, semuanya itu benar, tetapi ketika di dunia aku termasuk orang yang pelit, sehingga di sinilah tempatku!!”
            Dia berkata, “Apa maksudnya kain usang dan daging bergajih itu di tanganmu??”
            Ibunya berkata, “Ini adalah balasan sedekahku di dunia, sepanjang umurku aku tidak pernah bersedekah kecuali hanya baju usang dan sepotong kecil daging. Hanya dengan dua benda ini aku mampu menghindari atau mengurangi pedihnya siksa neraka…!!”
            Dia berkata lagi, “Dimanakah ayah?”
            Ibunya berkata, “Ayahmu seorang dermawan, ia berada di tempat para dermawan di surga!!”
            Dia segera bergerak ke surga, dan melihat ayahnya sedang memberikan minuman orang-orang dari telaga Nabi SAW. Ia segera menghampirinya dan berkata, “Wahai ayah, ibu berada di neraka dan sangat haus, ia seorang yang sangat taat kepada Allah dan engkau juga meridhainya, karena itu berilah dia air walau hanya seteguk saja!!”
            Ayahnya menolak dan berkata, “Anakku, ibumu berada di tempat orang-orang yang bakhil dan berdosa, Allah mengharamkan air telaga Nabi SAW ini bagi mereka!!”
            Karena rasa cinta dan kasihan terhadap ibunya, sang anak nekad mengambil segelas air dan membawanya ke neraka, kemudian memberikan kepada ibunya. Tetapi ketika sang ibu mulai meminumnya, terdengar sebuah suara, “Semoga Allah melumpuhkan tanganmu, karena engkau telah memberikan minuman orang yang pelit dan durhaka dari telaga Nabi Muhammad SAW!!”
            Wanita itu mengakhiri ceritanya dengan berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat terkejut dan takut mendengar ucapan itu, kemudian terbangun. Dan saya terbangun dengan keadaan tangan kanan saya yang seperti ini!!”
            Nabi SAW berseru, “Subkhanallaah, sifat bakhil ibumu telah menghukummu di dunia ini, bagaimana dengan hukumannya di akhirat nanti??”
            Kemudian Nabi SAW meletakkan ujung tongkat beliau di tangan kanannya yang telah lumpuh dan mengering itu sambil berdoa, “Ya Allah, dengan kebenaran mimpi yang dituturkan wanita ini, sembuhkanlah tangannya seperti sediakala!!”
            Dengan ijin Allah, tangannya kembali sembuh seperti sediakala, dan ia bersyukur kepada Allah serta mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada Rasulullah SAW.

Note:mu56tg1509

Kebenaran Nabi SAW di Mata Kaisar Romawi

            Hiraqla dalam istilah Arab, atau dalam kebanyakan literatur umum disebut sebagai Hiraklius, adalah Kaisar Romawi ketika Nabi SAW mengemban Risalah Islamiah. Ia bukan sekedar seorang kaisar semata, tetapi juga seorang yang mempunyai minat tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan, baik pengetahuan keagamaan, tentunya dari agama Nashrani yang dipeluknya, atau juga pengetahuan umum, termasuk ilmu perbintangan (ilmu astronomi atau nujum. An Najm artinya bintang dalam bahasa Arab).
            Beberapa tahun sebelum Rasulullah SAW mengirim seorang utusan untuk mendakwahkan agama Islam kepadanya, yakni setelah terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, ia telah memperoleh isyarah tentang hadirnya Nabi SAW yang merupakan Nabi akhir zaman, yang diramalkan dalam Injil dan Taurat berasal dari orang Arab, bukan dari kalangan Bani Israil sebagaimana diyakini kaum Yahudi dan Nashrani sebelumnya.
            Suatu ketika Hiraqla sedang melakukan pengamatan terhadap peredaran bintang-bintang, kebiasaan yang sering dilakukannya, yang dengan hal itu terkadang ia melakukan ramalan tentang peritiwa apa yang akan terjadi. Saat itu ia melihat dalam ramalannya, bahwa kerajaan al Khitan telah muncul, yaitu suatu kerajaan yang orang-orangnya semua berkhitan. Ketika ramalannya itu disampaikan pada majelis pertemuan kerajaan, para pembesarnya berkata kalau yang berkhitan adalah orang-orang Yahudi, dan ia tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut. Kalau menghendaki, ia tinggal memerintahkan para amir di bawah kekuasaannya untuk membunuh semua orang Yahudi yang ada.
            Ketika permasalahan itu sedang dibahas dengan panasnya, datang utusan dari raja atau pimpinan Ghassan, suatu kabilah Arab yang berada di bawah kekuasaan Romawi, melaporkan tentang adanya nabi dari tanah Hijaz. Segera saja Hiraqla memerintahkan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang nabi dan orang-orang yang mengikutinya itu, apakah mereka orang-orang yang berkhitan? Dan memang benar, para informan itu menyampaikan kalau Rasulullah SAW dan para pengikutnya, bahkan umumnya orang-orang Arab yang menyembah berhala sekalipun selalu berkhitan. Spontan Hiraqla berkata, “Inilah dia pemimpin umat, sesungguhnya ia telah lahir (dibangkitkan)!!”
            Memang, bagi kaum Nashrani yang melakukan pengkajian dengan seksama terhadap Injil, atau kaum Yahudi terhadap Taurat, yang belum banyak ‘terkontaminasi’ atau mengalami banyak perubahan (tambahan atau pengurangan), tentulah mereka akan memperoleh gambaran tentang kehadiran nabi akhir zaman dan penutup kenabian itu berasal dari Jazirah Arabia. Ciri-cirinya cukup lengkap dijelaskan, bahkan juga tempat hijrah beliau. Hiraqla mengirim surat kepada sahabatnya, Ibnu Nathur, pembesar kota Iliya di Syam yang masih termasuk wilayah Romawi, tentang pandangan dan ramalannya tersebut. Ibnu Nathur yang juga seorang ilmuwan dan pemimpin pendeta Nashrani itu membenarkan pandangannya itu, bahkan di kemudian hari ia memeluk Islam, walau akhirnya harus ditebus dengan nyawanya karena kemarahan umatnya.
            Pada akhir tahun ke 6 hijriah telah berlangsung perjanjian Hudaibiyah, yang secara tidak langsung merupakan ‘pengakuan kedaulatan’ kaum kafir Quraisy terhadap eksistensi Nabi SAW dan negara Islam yang berpusat di Madinah. Dengan adanya perjanjian itu, Nabi SAW tidak lagi disibukkan dengan ancaman kekuatan kaum musyrikin yang masih memiliki kekerabatan itu, karenanya Nabi SAW mulai mendakwahkan Islam ke wilayah-wilayah di luar jazirah Arabia, termasuk kepada Kaisar Romawi, Hiraqla.
            Untuk tugas ini, Nabi SAW mengirim sahabat Dihyah bin Khalifah al Kalbi, seorang sahabat berwajah tampan, yang wajah dan penampilannya mirip malaikat Jibril ketika sedang berwujud sebagai manusia. Isi surat itu antara lain sebagai berikut : Bismillaahir rahmaanir rahiim. Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Hiraqla, pemimpin Romawi. Kesejahteraan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat, masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan pahala kepada Tuan dua kali lipatnya. Tetapi jika Tuan berpaling (menolak), niscaya Tuan akan menanggung dosa rakyat Arisiyyin.
            Nabi SAW juga mengutip firman Allah dalam surat tersebut, yakni QS Ali Imran ayat 64 : Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
            Dihyah al Kalbi segera berangkat dan berhasil menemui Kaisar Hiraqla yang saat itu sedang melakukan ‘kunjungan kerja’ ke Syam, tepatnya ke Baitul Maqdis, tempat yang juga disucikan oleh kaum Nashrani. Hiraqla segera mengadakan majelis pertemuan untuk menanggapi surat Nabi SAW tersebut, dengan dihadiri para pembesar dan jenderal-jenderal perangnya. Bagaimanapun juga ia masih ingat akan isyarah yang diterimanya tentang kerajaan al Khitan itu, dan ‘naluri kelimuan’-nya terusik untuk bisa mengenal Nabi akhir zaman, yang sebagian ciri-cirinya telah dikenalnya lewat kajian mendalam terhadap Injil. Karena itu ia juga memerintahkan untuk mendatangkan Abu Sufyan bin Harb dan para pengikutnya yang saat itu sedang membawa kafilah dagangnya ke Syam, sebagai salah satu sumber informasi. Seorang penerjemah dihadirkan karena ia tidak menguasai bahasa Arab secara matang dan lengkap.
            Ketika surat Nabi SAW mulai dibacakan, keponakan Hiraqla yang berdiri di sampingnya tiba-tiba menghentikan pembacaan surat itu, sambil mendengus marah ia berkata, “Berhenti, surat itu jangan dibacakan hari ini?”
            “Mengapa?” Tanya Hiraqla dengan heran.
            “Karena ia meyebutkan namanya mendahului nama Tuan, dan ia menyebut Tuan hanya dengan ‘Penguasa Romawi’ bukannya Raja atau Kaisar Romawi!!”
            Tampaknya Hiraqla tidak senang dengan argumen keponakannya, yang tampaknya hanya menjilat semata. Dengan tegas ia berkata, “Teruskan membacanya!!”
            Setelah selesai pembacaan, sebagai besar pembesar dan jendral Romawi itu menunjukkan reaksi tidak suka atas ajakan Nabi SAW untuk masuk Islam tersebut. Sejenak termenung, kemudian Hiraqla kemudian menghadapkan diri pada rombongan Abu Sufyan bin Harb, dan berkata, “Siapa di antara kalian yang nasabnya paling dekat dengan orang yang mengaku sebagai Nabi ini??”
            Abu Sufyan berkata, “Sayalah keluarga yang paking dekat dengannya!!”
            Hiraqla mengetahui bahwa Abu Sufyan sedang bermusuhan dengan Nabi SAW. Sebagai seorang raja besar dari sebuah kekuatan di kutub barat, mengimbangi kekuatan kutub timur yang dikuasai oleh Kisra Persia, tentunya ‘pergolakan’ yang terjadi di jazirah Arabia itu tidak luput dari pengamatannya. Karena itu ia membariskan rombongan Abu Sufyan di belakangnya, sambil berkata kepada penerjemahnya, “Katakanlah kepada Abu Sufyan bahwa aku akan menanyakan tentang Muhammad ini, dan katakanlah kepada teman-temannya, kalau ia (yakni, Abu Sufyan) mendustaiku, hendaknya mereka mengatakan kalau ia berdusta."
            Tentu saja ucapan bernada ancaman ini membuat keder Abu Sufyan, walau sebenarnya ia ingin mengatakan suatu kebohongan yang bisa merusakkan citra Nabi SAW. Ia berkata dalam hatinya, “Demi Allah, kalau tidaklah aku takut mendapat malu dikatakan sebagai pendusta, tentulah aku akan mengatakan yang bohong tentang dirinya (Nabi SAW)!!”
            Hiraqla menanyakan beberapa hal satu persatu, dan Abu Sufyan memberikan penjelasan, bahwa Nabi Muhammad SAW itu adalah orang yang leluhurnya mempunyai kedudukan yang mulia di kalangan kaum Quraisy Makkah, yakni dari kalangan bangsawan. Dan sebelumnya tidak ada orang yang mengatakan (mendakwahkan) seperti apa yang beliau sampaikan itu. Tidak ada di antara nenek moyang beliau yang menjadi raja. Sebelum dia (Nabi SAW) mendakwahkan ajarannya itu, kaum Quraisy atau orang Arab lainnya tidak pernah ada yang menuduhnya sebagai pendusta, bahkan mereka sangat mempercayainya. Kebanyakan para pengikutnya adalah dari kalangan orang-orang yang lemah, tetapi para pengikutnya semakin hari semakin bertambah saja. Dan tidak ada orang yang murtad setelah memasuki agama (Islam) itu karena merasa benci dengan agamanya. Dan selama hidupnya, sejak masih kecil ia tidak pernah berkhianat. 
            Setelah perkataannya itu, Abu Sufyan segera menyambungnya, “Saat ini kami sedang terlibat perjanjian dengan dirinya (yakni, perjanjian Hudaibiyah), dan kami tidak tahu apa yang diperbuatnya dengan perjanjian itu (yakni tetap teguh mematuhinya, atau melanggarnya)!!”
            Memang, salah satu klausul dalam perjanjian Hudaibiyah itu tampak tidak adil dan tidak  seimbang, yang secara sepintas merugikan pihak kaum muslimin, yaitu : Jika ada orang Makkah yang lari ke Madinah, walau dia telah memeluk Islam maka Nabi SAW harus mengembalikannya ke Makkah (artinya, tidak boleh menerimanya tinggal di Madinah), tetapi jika ada orang Madinah yang kembali ke Makkah (yakni murtad), maka Nabi SAW tidak boleh menuntutnya untuk dikembalikan ke Madinah.
            Mungkin Abu Sufyan berfikir, bisa saja Nabi SAW ‘mengingkari’ atau mengkhianati klausul yang satu itu, walau prasangkanya itu salah besar. Memang ada beberapa kaum Quraisy yang memeluk Islam dan bermaksud tinggal di Madinah, seperti Abu Jandal bin Suhail, Abu Bashir dan beberapa lainnya, tetapi dengan berat hati Nabi SAW menolak atau menundanya karena sifat amanah beliau. Akhirnya Allah SWT yang memberikan jalan keluar bagi mereka sehingga kaum Quraisy sendiri yang meminta klausul itu dibatalkan, dan mereka bisa berkumpul bersama Nabi SAW di Madinah.
            Hiraqla bertanya lagi, “Apakah kalian memerangi dirinya? Bagaimana peperangan antara kalian itu?”
            Abu Sufyan berkata, “Kami memang memeranginya dan kemenangan silih berganti, terkadang kami memenanginya dan terkadang mereka yang memang!!”
            Hiraqla berkata, “Apa yang diperintahkannya kepada kalian?”
            Abu Sufyan berkata, “Dia (Nabi SAW) memerintahkan untuk menyembah Allah Yang Esa semata, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Meninggalkan agama yang diajarkan nenek moyang kami, mengerjakan shalat, bershadaqah, berkata benar, menghindarkan diri dari larangan Allah, menjaga kehormatan diri dan melangsungkan silaturahmi…!!”
            Hiraqla tampak merenung setelah mendengar penjelasan Abu Sufyan itu, seolah ingin meresapi dan mendalami makna-maknanya, kemudian ia menjelaskan, “Aku menanyakan kepadamu tentang nasabnya, dan engkau katakan bahwa dia berasal dari orang yang terpandang di antara kalian, memang seperti itulah, para rasul dibangkitkan dari suatu nasab yang mulia di antara kaumnya….!!”
            Dan Hiraqla menjelaskan lebih lanjut, bahwa ia bertanya apa ada orang yang mendakwahkan seperti itu sebelumnya, dan dijawab tidak ada. Maka Hiraqla menyimpulkan, jika memang ada, itu berarti ia hanya ikut-ikutan dalam pengakuan kenabian dari apa yang disampaikan orang sebelumnya, bukanlah seorang nabi yang memperoleh wahyu langsung dari Allah.
            Ia menanyakan apa ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, dan dijawab tidak ada. Maka Hiraqla menyimpulkan, kalau memang ada dari nenek moyangnya yang menjadi raja, artinya ia hanya sekedar menuntut kembalinya kerajaan yang pernah dimiliki leluhurnya.
            Ia menanyakan apakah sebelum dia (Nabi SAW) mendakwahkan ajarannya, mereka pernah menyebutnya sebagai pembohong, dan dijawabnya tidak, bahkan mereka sangat mempercayainya. Maka Hiraqla menyatakan, kalau ia tidak pernah berdusta sejak masih kecil, maka tidak mungkin ia berdusta kepada Allah SWT (yakni dengan mengaku-ngaku sebagai nabi), sementara ia tidak pernah berdusta sekalipun kepada manusia.
            Ia menanyakan tentang para pengikutnya, dan dijawab kalau para pengikutnya kebanyakan dari orang-orang yang lemah. Hiraqla menyatakan bahwa, begitulah keadaan rasul-rasul sebelumnya, para pengikutnya (pada awalnya) kebanyakan dari kalangan orang-orang yang lemah.
            Ia menanyakan tentang apakah para pengikutnya makin bertambah atau berkurang, dan dijawab kalau para pengikutnya makin bertambah dari waktu ke waktu. Hiraqla menyatakan bahwa begitulah keadaan rasul-rasul sebelumnya, para pengikutnya makin bertambah saja.
            Ia menanyakan apa ada orang yang murtad setelah memeluk agamanya karena rasa benci terhadap agama itu, dan dijawab tidak ada. Maka Hiraqla menyatakan, begitulah memang keadaan iman jika sudah meresap ke dalam hati.
            Ia menanyakan apakah ia pernah berkhianat, dan dijawab tidak pernah. Maka Hiraqla menyatakan bahwa begitulah memang para Rasul, mereka sama sekali tidak pernah berkhianat.
            Ia menanyakan apa saja yang diperintahkannya, dan dijawab kalau dia (Nabi Muhammad SAW) memerintahkan untuk menyembah Allah Yang Esa semata, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Meninggalkan agama yang diajarkan nenek moyang kami, mengerjakan shalat, bershadaqah, berkata benar, menghindarkan diri dari larangan Allah, menjaga kehormatan diri dan melangsungkan silaturahmi. Maka Hiraqla menyatakan bahwa seperti itulah yang memang diperintahkan oleh rasul-rasul sebelumnya.
            Sejenak berhenti berbicara, kemudian Hiraqla berkata lagi, “Kalau benar yang engkau katakan itu, maka pastilah dia (Rasulullah SAW atau ummat Islam) akan menguasai bumi yang kupijak ini (yakni kerajaan Romawi). Aku sebenarnya tahu akan datang seorang rasul seperti dia, hanya saja aku tidak menyangka ia berasal dari kalangan kalian. Jika saja aku telah tahu sebelumnya bahwa aku akan sampai kepada masanya (diutus sebagai rasul) dan mempunyai kebebasan, tentu aku akan bersusah payah untuk menemuinya. Dan jika telah ada di sisinya, maka aku akan membasuh kedua telapak kakinya."
            Entah sadar atau tidak mengatakan seperti itu, tetapi sepertinya Hiraqla dituntun oleh akal sehat dan naluri ke-ulama-annya, termasuk hati nuraninya, sehingga ia berkata seperti itu, dan dalam sejenak ia terlupa akan kedudukan dirinya sebagai seorang kaisar (raja besar) di wilayah barat. Ia meminta surat Nabi SAW itu dari wazirnya dan membacanya sendiri, sehingga tergambar keharuan di wajahnya.
            Sementara itu, setelah mendengar penuturannya sebagian besar pembesar Romawi mendengus tidak senang, dan terjadi kegaduhan luar biasa. Hiraqla segera menyadari apa yang terjadi, dan memerintahkan mereka semua keluar dari majelis pertemuan itu. Abu Sufyan tampak sangat terkesan dengan peristiwa itu dan berkata kepada teman-temannya, “Sungguh besar sekali urusan Abu Kabsyah (yakni, Nabi SAW), sehingga raja bangsa kulit kuning (Bani ash Ashfar) ini takut kepadanya!!”
            Majelis dibubarkan, tetapi masih tersisa cercah-cercah kebenaran yang menyentuh hati Hiraqla, tetapi di sisi lain, ia belum siap untuk kehilangan kekuasaannya sebagai Kaisar Romawi. Tetapi secara Hiraqla menyimpulkan kalau Nabi SAW adalah nabi dan raja umat ini. Kemudian Hiraqla memerintahkan orang kepercayaannya untuk memanggil Dihyah al Kalbi dan juga menyusul Uskup yang biasa menjadi rujukan dalam urusan agama mereka. Uskup ini bernama Ibnu Nathur, ia juga penguasa kota Iliya sekaligus sahabat Hiraqla.
            Ketika uskup diberitahu tentang surat Nabi SAW tersebut dan tentang apa yang diserunya, juga hasil pembicaraannya dengan Abu Sufyan, sang uskup langsung membacakan beberapa ayat-ayat injil, dan akhirnya ia berkata, "Ia adalah Rasul yang kita tunggu-tunggu dan Isa bin Maryam memberikan kabar gembira kepada kita tentang dirinya. Aku membenarkan dan mengikutinya."
            Ibnu Nathur berpaling kepada Dihyah dan berkata, “Demi Allah, sahabatmu itu adalah seorang Nabi yang diutus (sebagai nabi penutup akhir zaman, sebagai disitir dalam Injil dan Taurat), kami mengetahui tentang dirinya, dari sifat-sifatnya dan namanya!!” 
            Mendengar penjelasan sahabatnya, uskup Ibnu Nathur, Hiraqla hanya tercenung. Ia tidak memungkiri kebenaran yang dikatakan Ibnu Nathur, hanya saja dalam kedudukannya sebagai Kaisar dari sebuah imperium besar seperti Romawi, pertimbangannya jadi begitu panjang dan bertele-tele. Bagaimanapun berat rasanya untuk meninggalkan kedudukannya yang begitu tinggi sebagai kaisar, dan berpaling memeluk Islam.
            Setelah Ibnu Nathur dan Dihyah meninggalkannya, Hiraqla memanggil seorang Arab beragama Nashrani dari kabilah Tujib, untuk mencari seseorang yang fasih berbahasa Arab dan mampu menghafal kisah. Ia ingin memperoleh lebih banyak bukti kebenaran dari orang yang mengaku sebagai nabi itu (yakni Nabi SAW). Didatangkanlah seorang lelaki dari kabilah Tanukhi, yang memiliki kualifikasi seperti yang diinginkan Hiraqla. Ia ditugaskan untuk menyampaikan surat balasan bagi Nabi SAW, dan Hiraqla berkata kepadanya, "Pergilah kamu kepada lelaki itu dengan membawa suratku ini. Dari semua yang kau lihat dan dengar, hafalkanlah darinya tiga perkara : Perhatikanlah, apakah ia mengingat tentang surat yang ia tulis padaku? Perhatikanlah, setelah membaca suratku, apakah ia menyebut tentang waktu malam? Perhatikanlah, pada punggungnya, apakah terdapat tanda kenabian yang dapat kamu saksikan langsung (sebagaimana tercantum dalam injil)?"
            Lelaki dari Kabilah Tanukhi ini berangkat bersama Dihyah al Kalbi menemui Rasulullah SAW. Sesampainya di hadapan beliau, ia menyerahkan surat Hiraqla tersebut dan memperhatikan dengan seksama segala apa yang terjadi dan akan diucapkan Rasulullah SAW, sebagaimana dipesankan oleh Hiraqla. Nabi SAW bertanya tentang asal kabilahnya. Ketika dijawab dari kabilah Tanukhi, beliau bertanya lagi, "Apakah engkau masih memeluk agama al hanifiyyah, yaitu agama nenek moyang kalian, Ibrahim?"
            Lelaki Tanukhi itu berkata diplomatis, "Sesungguhnya aku adalah utusan dari suatu kaum, dan aku berada di atas agama kaum tersebut. Aku tidak akan meninggalkan agama itu hingga aku kembali kepada mereka."
            Nabi SAW tersenyum mendengar jawabannya, dan bersabda lagi, "Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Dia lebih tahu siapakah yang mendapat petunjuk. Wahai Saudara dari Tanukh, Sesungguhnya aku telah menulis surat kepada Kisra, Raja Persia, tetapi ia telah menyobeknya sehingga Allah menyobek tubuhnya dan kerajaannya. Dan aku telah menulis surat kepada rajamu, dan ia tidak menyobeknya, maka rakyatnya akan merasa selalu segan kepadanya, selama masih ada kebaikan dalam kehidupannya."
            Lelaki Tanukh ini berkata dalam hati, "Ini adalah hal pertama yang dipesankan oleh Hiraqla."
            Ia mengambil anak panah, dan menuliskan pesan tersebut di atas sarung pedangnya. Ia melihat Nabi SAW memberikan surat Hiraqla kepada seseorang di sebelahnya untuk membacakan isinya. Ketika ia bertanya tentang siapa pembaca surat itu, ia mendapat jawaban, Muawiyah.
            Muawiyah mulai membaca surat Hiraqla, dan ketika sampai pada suatu kalimat, "…., engkau menyeruku kepada jannah yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, jika demikian dimana letaknya neraka?"
            Atas kalimat ini, Nabi SAW bersabda, "Maha Suci Allah, dimanakah perginya malam jika siang menjelma?"
            Lelaki Tanukh ini berkata dalam hati, "Ini adalah hal kedua yang dipesankan oleh Hiraqla."
            Seperti sebelumnya, ia menuliskan komentar Nabi SAW itu di sarung pedangnya dengan anak panah. Setelah surat itu selesai dibacakan, Nabi SAW bersabda kepadanya, "Engkau adalah seorang utusan, karena itu engkau mempunyai hak. Jika kami masih mempunyai barang, kami akan menghadiahkannya kepadamu, tetapi kami adalah musafir yang sedang kehabisan bekal."
            Salah seorang sahabat yang hadir mengatakan kalau akan memberikan hadiah untuk lelaki Tanukh itu. Ia mengeluarkan perbekalannya, dan memberikan satu kain yang berasal dari Shafurriyyah, dan diletakkannya di atas pangkuan lelaki Tanukh. Ketika ditanyakan tentang nama pemilik kain tersebut, seseorang mengatakan, "Utsman".
            Lalu Nabi SAW bersabda lagi, "Siapakah yang bersedia memberikan tempat menginap bagi lelaki ini?"
            Seorang pemuda dari kalangan Anshar menyanggupinya. Ketika Lelaki Tanukhi tersebut berdiri untuk mengikuti sang pemuda Anshar, Rasulullah SAW memanggilnya kembali dan berkata, "Berdirilah kamu di belakangku sebagaimana kamu telah diperintahkan."
            Saat itu Rasulullah SAW membuka sedikit pakaian beliau di bagian punggung, sehingga lelaki Tanukh itu bisa melihat tanda kenabian yang berada di tulang rawan di dekat pundak, yang bentuknya seperti bekas bekam.
            Ketika Hiraqla menerima laporan hasil kerja lelaki Tanukhi tersebut, makin mantap saja hatinya menerima kebenaran Nabi SAW sebagai nabi akhir zaman sebagaimana diramalkan oleh Isa al Masih di dalam Injil. Tetapi di sisi lain, ia sama sekali tidak ingin kehilangan jabatan dan kekuasaannya sebagai Kaisar Romawi. Ia berfikir, alangkah baiknya kalau ia memeluk Islam beserta seluruh rakyat Romawi, atau minimal beserta para pembesar dan jenderal-jenderal yang mendukungnya, sehingga ia tetap menjadi seorang kaisar. Mungkin hanya sebuah angan-angan atau mimpi semata, tetapi tidak ada salahnya dicoba.
            Hiraqla mengundang seluruh pembesar dan pejabat Romawi, baik kalangan sipil atau militer menghadiri pertemuan penting di istananya di Hims. Setelah semuanya hadir, ia memerintahkan pembantu kepercayaannya untuk mengunci semua pintu keluar. Setelah itu ia berdiri di mimbar dan berkata, “Wahai bangsa Romawi, maukah kalian memperoleh kemenangan dan kemajuan yang gilang-gemilang, sementara kerajaan tetap utuh di tangan kita??”
            Dengan serentak mereka menjawab, “Tentu saja!!”
            Hiraqla berkata, “Kalau memang menginginkannya, marilah kita mengakui Muhammad sebagai Nabi dan kita semua memeluk Islam…!!”
            Mendengar ucapannya itu, langsung mereka kacau balau. Ada yang mendengus marah, mengguman tidak setuju dan lain sebagainya, bahkan banyak yang berlari menuju pintu untuk keluar dari majelis pertemuan itu. Tetapi semua pintu terkunci sehingga keadaan makin kacau, mereka itu layaknya keledai liar. Melihat reaksi yang seperti itu, Hiraqla merasa yakin kalau ia tidak mungkin mempengaruhi mereka untuk memeluk Islam.
            Hiraqla seolah berdiri di persimpangan yang sangat sulit dalam keadaan seperti itu. Ia telah mendengar kalau sahabatnya, sang Uskup Ibnu Nathur, telah dibunuh oleh jamaah yang selama ini mendengar nasehat dan pengajarannya karena pilihannya memeluk Islam. Entah bagaimana nasibnya kalau ia juga mengikrarkan dirinya memeluk Islam, apa mungkin mereka masih menghargainya dan menganggapnya sebagai kaisar, atau justru membunuhnya?
            Akhirnya ia berteriak keras memerintahkan mereka semua kembali ke tempatnya. Setelah semuanya tenang, ia berkata, “Sesungguhnya aku mengatakan perkataan itu hanya untuk menguji keteguhan hati kalian. Dan kini aku telah mengetahui bagaimana keteguhan kalian!!”
            Mendengar perkataannya itu, para pembesar Romawi itu bersujud di hadapan Hiraqla, memuji dan membesarkannya sebagaimana mereka lakukan sebelumnya. Entah bagaimana sebenarnya perasaan Hiraqla, sedih atau gembira? Walau begitu gamblang kebenaran Nabi SAW dalam pengetahuan dan pemahamannya, tetapi ia tidak mampu, atau tidak mau mengikutinya karena egonya takut kehilangan kekuasaan dan ketenaran.
            Hidayah memang milik Allah, sejelas dan seterang apapun kebenaran itu tampak, tetapi jika Allah tidak menghendaki memberikan Hidayah-Nya, maka siapapun tidak akan mampu mengikuti jalan kebenaran tersebut. Wallahu A’lam.   

Note:sb,hs