Kamis, 10 Januari 2013

Seorang Badui yang Menghisab Allah

            Seorang lelaki Badui telah memeluk Islam, tetapi karena keadaan ekonominya yang terbatas dan tempat tinggalnya yang sangat jauh dari Madinah, ia belum pernah menghadap dan bertemu langsung dengan Nabi SAW. Ia hanya berbai’at memeluk Islam dan belajar tentang peribadatan dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran Nabi SAW. Tetapi dengan segala keterbatasannya itu, ia mampu menjadi seorang mukmin yang sebenarnya, bahkan sangat mencintai Rasulullah SAW.
            Suatu ketika ia mengikuti rombongan kabilahnya melaksanakan ibadah umrah ke Makkah. Sambil thawaf sendirian, terpisah dari orang-orang lainnya, si badui ini selalu berdzikir berulang-ulang dengan asma Allah, "Ya Kariim, ya Kariim….."
            Ia memang bukan orang yang cerdas, sehingga tidak mampu menghafal dengan tepat doa atau dzikr yang idealnya dibaca ketika thawaf, sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Karena itu ia hanya membaca berulang-ulang asma Allah yang satu itu. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mengikuti berjalan di belakangnya sambil mengucap juga, “Ya Kariim, ya Kariim!!”
            Si Badui ini berpindah dan menjauh dari tempat dan orang tersebut sambil meneruskan dzikrnya, karena ia menyangka lelaki yang mengikutinya itu hanya memperolok dirinya. Tetapi kemanapun ia berpindah dan menjauh, lelaki itu tetap mengikutinya dan mengucapkan dzikr yang sama. Akhirnya si Badui berpaling menghadapi lelaki itu dan berkata, "Wahai orang yang berwajah cerah dan berbadan indah, apakah anda memperolok-olokkan aku? Demi Allah, kalau tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu aku sudah mengadukan kamu kepada kekasihku…"
            Lelaki itu berkata, “Siapakah kekasihmu itu?”
            Si Badui berkata, “Nabiku, Muhammad Rasulullah SAW!!”
            Lelaki itu tampak tersenyum mendengar penuturannya, kemudian berkata, "Apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan Nabimu itu, wahai saudaraku Badui?"
            "Belum..!!" Kata si Badui.
            Lelaki itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin engkau mencintainya jika engkau belum mengenalnya? Bagaimana pula dengan keimananmu kepadanya?"
            Si Badui berkata, "Aku beriman atas kenabiannya walau aku belum pernah melihatnya, aku membenarkan kerasulannya walau aku belum pernah bertemu dengannya…!!"
            Lagi-lagi lelaki itu tersenyum dan berkata, "Wahai saudaraku orang Badui, aku inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat kepadamu di akhirat…!!"
            Memang, lelaki yang mengikuti si Badui itu tidak lain adalah Rasulullah SAW, yang juga sedang beribadah umrah. Sengaja beliau mengikuti perilaku si Badui karena beliau melihatnya begitu polos dan ‘unik’, menyendiri dari orang-orang lainnya, tetapi tampak jelas begitu khusyu’ menghadap Allah dalam thawafnya itu.
            Si Badui tersebut memandang Nabi SAW seakan tak percaya, matanya berkaca-kaca. Ia mendekat kepada beliau sambil merendah dan akan mencium tangan beliau. Tetapi Nabi SAW memegang pundaknya dan berkata, "Wahai saudaraku, jangan perlakukan aku sebagaimana orang-orang asing memperlakukan raja-rajanya, karena sesungguhnya Allah mengutusku bukan sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang. Dia mengutusku dengan kebenaran sebagai pemberi kabar gembira (yakni akan kenikmatan di surga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api neraka) …"
            Si Badui masih berdiri termangu, tetapi jelas tampak kegembiraan di matanya karena bertemu dengan Nabi SAW. Tiba-tiba Malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW, menyampaikan salam dan penghormatan dari Allah SWT kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut, yakni : "Hai Badui, sesungguhnya Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah : Al Karim) bisa memperdayakan, dan Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, yang sedikit ataupun yang banyak, yang besar ataupun yang kecil….."
            Nabi SAW menyampaikan kalimat dari Allah tersebut kepada si Badui, dan si Badui berkata, "Apakah Allah akan menghisabku, ya Rasulullah??"
            "Benar, Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki…" Kata Nabi SAW.
            Tiba-tiba si Badui mengucapkan sesuatu yang tidak disangka-sangka, "Demi Kebesaran dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya….!!"
            Sekali lagi Nabi SAW tersenyum mendengar pernyataan si badui, dan bersabda, "Dalam hal apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai saudaraku Badui?"
            Si Badui berkata, "Jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya dengan maghfirah-Nya, jika Dia menghisabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Dia menghisabku atas kekikiranku, aku akan menghisab-Nya dengan kedermawanan-Nya…."
            Nabi SAW sangat terharu dengan jawaban si Badui itu sampai memangis meneteskan air mata yang membasahi jenggot beliau. Jawaban sederhana, tetapi mencerminkan betapa "akrabnya" si Badui tersebut dengan Tuhannya, betapa tinggi tingkat ma’rifatnya kepada Allah, padahal dia belum pernah mendapat didikan langsung dari Nabi SAW.
            Sekali lagi Malaikat Jibril AS turun kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Muhammad, Tuhanmu, Allah As Salam mengirim salam kepadamu dan berfirman : Kurangilah tangismu, karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy menjadi lalai dalam tasbihnya. Katakan kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab Kami dan Kami tidak akan menghisab dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di surga….!!!"         

Note: mu,bbck

Abid yang Terjatuh pada Cinta Dunia

            Tsa’labah bin Hathib al Anshari adalah seorang abid (ahlul ibadah) yang seringkali disebut sebagai merpatinya masjid Nabi SAW. Sebutan itu muncul karena waktunya banyak dihabiskan di masjid, baik ketika Nabi SAW sedang berada di sana atau tidak ada, baik siang ataupun malam. Karena banyaknya shalat sunnah yang dilakukannya, dahinya sampai membekas seperti lutut unta. Tsa’labah memang seorang sahabat Anshar yang miskin, ia tidak mempunyai ternak untuk digembalakan ataupun kebun kurma untuk dirawat atau dipeliharanya.
            Suatu ketika Nabi SAW melihat perilaku yang aneh dari Tsa’labah dalam beberapa hari terakhir. Setiap kali selesai mengucap salam untuk menutup shalat, ia langsung beranjak meninggalkan masjid tanpa menunggu dzikr dan berdoa bersama Rasulullah SAW, ataupun mengerjakan shalat sunnah seperti sebelumnya. Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW memanggilnya dan bersabda, “Wahai Tsa’labah, mengapa engkau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan kaum munafik, usai shalat langsung bangkit meninggalkan masjid?”
            Istilah populernya sekarang adalah ‘lamcing’, setelah salam langsung ‘plencing’ (pergi atau keluar, bahasa jawa). Maka Tsa’labah berkata,”Wahai Rasulullah, saya langsung keluar masjid setelah shalat, karena dalam beberapa hari ini kami tidak memiliki kain yang mencukupi (untuk menutup aurat). Saya segera pulang karena istri saya menunggu kain yang saya pakai ini, untuk melaksanakan shalat..!!”
            Nabi SAW mengangguk penuh pengertian. Tetapi Tsa’labah berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia memberikan rezeki yang banyak kepada kami!!”
            Beliau bersabda, “Wahai Tsa’labah, harta yang sedikit tetapi kamu bisa mensyukurinya, itu lebih baik daripada harta yang banyak tetapi kamu tidak kuat dan tidak bisa mensyukurinya!!”
            Mendengar nasehat beliau itu, Tsa’labah berpaling dan pulang. Tetapi keesokan harinya ia menghadap Nabi SAW lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia memberikan rezeki yang banyak kepada kami!!”
            Kali ini Nabi SAW berkata agak keras, “Wahai Tsa’labah, belum cukupkah bagimu diri Rasulullah ini sebagai suri teladan? Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya, jika aku menghendaki gunung-gunung menjadi emas dan berjalan bersamaku, tentu hal itu menjadi kenyataan. Tetapi aku tidak melakukannya, dan tetap bersabar dengan apa yang ditetapkan-Nya untukku!!”
            Tampaknya Nabi SAW, tentunya dengan pandangan kenabian, mengetahui bahwa tipikal orang seperti Tsa’labah itu akan terjerumus jika bergelimang dengan harta benda. Karena itulah beliau tidak mau mendoakannya, tetapi meminta dirinya untuk qana’ah dan bersabar dalam keadaan miskin dan kekurangan seperti itu. Tentu saja Nabi SAW menyikapi seperti itu karena kasih sayang beliau kepada umat Islam seluruhnya, khususnya kepada Tsa’labah yang telah begitu intent dalam mengerjakan shalat di masjid beliau, baik shalat fardhu ataupun shalat sunnah.
            Tetapi sepertinya Allah ingin memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita, dengan menunjukkan peristiwa nyata yang dialami sahabat Nabi SAW yang satu ini. Keesokan harinya Tsa’labah datang lagi menghadap Nabi SAW, dan dengan yakinnya ia berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia memberikan rezeki yang banyak kepada kami. Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan haq sebagai nabi, jika Allah telah memberikan rezeki kepadaku, pastilah akan saya berikan hak setiap orang yang berhak atas harta tersebut (yakni, ia berjanji akan membelanjakan hartanya di jalan Allah)!!”
            Dua kali sudah Nabi SAW ‘menolak’ mendoakan, dan menasehatinya untuk menerima takdir Allah sebagai pilihan terbaik dalam hidup. Tetapi Tsa’labah masih memaksa juga, maka beliau tidak banyak berbicara lagi kecuali mendoakan, “Ya Allah, berilah Tsa’labah rezeki harta!!”
            Beliau memerintahkan seorang sahabat lainnya untuk memberi Tsa’labah seekor kambing yang sedang bunting. Tsa’labah pulang dengan suka cita karena doa Nabi SAW tersebut, juga karena membawa seekor kambing yang sedang bunting. Sedangkan Nabi SAW mengiringi kepergian Tsa’labah dengan pandangan sedih dan khawatir.
            Pada hari-hari pertama sebagai ‘peternak’ kambing, Tsa’labah masih aktif hadir di masjid Nabi SAW seperti biasanya. Tetapi dalam beberapa bulan saja kambingnya berkembang semakin banyak, dan ia harus menggembalakannya hingga ke pinggiran kota Madinah. Ia hanya bisa berjamaah bersama Nabi SAW pada waktu Zhuhur dan Ashar, selebihnya ia hanya shalat di antara kambing piaraannya. Tidak cukup sampai di situ, karena kambingnya yang semakin banyak, ia harus menggembalakannya hingga jauh ke luar Madinah, sehingga ia tidak hadir berjamaah bersama Nabi SAW kecuali saat shalat Jum’at saja.
            Ketika kambing-kambingnya telah memenuhi suatu lembah, bahkan lebih, Tsa’labah tidak lagi hadir pada shalat Jum’at di Masjid Nabi SAW. Layaknya seorang ‘konglomerat’ kambing yang tenggelam dalam kesibukan mengurus bisnis dan pekerjaannya, ia menganggap shalat itu hanya menjadi gangguan dan ‘mengurangi’ keuntungannya. Segala sesuatu diukurnya dengan materi (dalam hal ini kambing), dan dengan uang. ‘Time is money’ kata orang sekarang. 
            Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepada para sahabat, “Apa yang dilakukan Tsa’labah??”
            Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, dia sibuk mengurusi dan menggembalakan kambing-kambingnya yang tidak cukup hanya dalam satu lembah saja!!”
            Nabi SAW bersabda, “Aduhai, celakalah Tsa’labah!!”
            Ketika turun wahyu yang memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, Nabi SAW mengutus dua orang sahabat untuk mengambil zakat dari kaum muslimin yang hartanya telah memenuhi haul dan nishabnya, termasuk di antaranya Tsa’labah. Semua yang didatangi oleh dua sahabat itu dengan senang hati mengeluarkan zakat, bahkan tidak jarang mereka memberikan lebih banyak daripada perhitungan nilai zakat yang dilakukan dua sahabat tersebut.
            Tetapi ketika mereka berdua mendatangi Tsa’labah dan membacakan ayat yang turun berkaitan dengan kewajiban zakat, mereka mendapat penolakan. Tsa’labah yang mereka kenal sangat salehnya (pada saat belum kaya raya), berkata, “Ini tidak lain adalah penarikan upeti atau pajak!! Biarkanlah aku berfikir dan berbuat menurut pendapatku, kembalilah lagi kalian ke sini di lain waktu!!”
            Mereka berdua kembali ke Madinah dan melaporkan hasil kerjanya mengumpulkan zakat, termasuk sikap Tsa’labah, maka Nabi SAW bersabda, “Aduhai, celakalah Tsa’labah!!”
            Namun demikian Nabi SAW masih mengirimkan dua orang sahabat lainnya menemui Tsa’labah untuk memperhitungkan dan menarik kewajiban zakatnya. Beliau masih berharap dia akan menjadi baik dan mau mengeluarkan zakatnya, seperti yang dijanjikannya kepada dua sahabat terdahulu. Tetapi ketika dua sahabat itu kembali menghadap Nabi SAW dengan tangan hampa, Nabi SAW bersabda, “Sungguh celakalah Tsa’labah, sungguh celakalah Tsa’labah!!”
            Tidak lama kemudian turun wahyu Allah, yakni QS At-Taubah ayat 75-76 : Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).
            Ayat ini menggambarkan sikap yang dilakukan oleh Tsa’labah, bahkan ayat selanjutnya, QS At-Taubah 77 menyatakan :  Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.
            Setelah Nabi SAW mengumumkan turunnya wahyu Allah berkenaan dengan Tsa’labah, salah seorang sahabat yang masih kerabatnya bergegas menemui dirinya untuk menyampaikan wahyu tersebut. Wajah Tsa’labah langsung memucat penuh ketakutan setelah mendengar wahyu Allah tersebut. Ia bergegas membawa kambing sebanyak yang ia mampu, bahkan mungkin melebihi kewajiban zakatnya, menuju Madinah. Sesampainya di masjid dan menghadap Nabi SAW, ia berkata, “Wahai Rasulullah, inilah zakat dari harta saya!!”
            Tetapi Nabi SAW bersabda, “Allah telah melarang aku menerima zakatmu!!”
            Tsa’labah menangis penuh penyesalan, sambil menghiba-hiba dan meminta agar beliau mau memaafkan dan menerima zakatnya. Tetapi dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Pergilah sana, urusi saja pekerjaanmu sendiri. Aku telah memerintahkan kepadamu berzakat, tetapi engkau menentang dan tidak taat pada perintahku!!”
            Tsa’labah berlalu dari masjid Nabi SAW dengan kesedihan dan duka yang mendalam, ia menaburkan pasir di kepalanya sebagai bentuk penyesalan dan kehinaan diri.
            Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar dibai’at sebagai khalifah beliau, Tsa’labah mendatanginya dengan membawa banyak sekali kambing yang dimilikinya, dan berkata, “Wahai khalifah Rasulullah, terimalah zakatku ini!!”
            Abu Bakar menolaknya dan berkata, “Rasulullah tidak mau menerima zakatmu, bagaimana mungkin aku akan menerimanya??”
            Ketika Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khaththab, lagi-lagi Tsa’labah mendatanginya sambil membawa sebagian hartanya, dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, terimalah zakatku!!”
            Umar menolaknya dengan berkata, “Bagaimana mungkin aku menerima zakatmu, sedang Rasulullah SAW dan Abu Bakar tidak mau menerimanya!!”
            Ketika Umar wafat dan digantikan Utsman, Tsa’labah masih tidak putus asa mencoba membayarkan zakatnya, tetapi khalifah Utsman juga menolaknya sebagaimana dua khalifah pendahulunya. Akhirnya Tsa’labah meninggal pada masa khalifah Utsman ini dalam keadaan miskin dan terhina.
            Beberapa ulama berbeda pendapat tentang kematiannya ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa walau tidak sampai murtad (keluar dari Islam), tetapi ia dianggap sebagai kelompok orang-orang munafik sebagaimana disinyalir dalam QS at Taubah ayat 77. Tetapi pendapat lainnya menyebutkan, bahwa ia telah menyesal begitu hebatnya, hingga berusaha keras membayar zakatnya hingga masa khalifah Utsman, walau memang tetap ditolak. Dengan upaya tobatnya seperti itu, ia tetap dalam kontek seorang muslim yang bermaksiat, tetapi tidak sampai jatuh dalam kaum munafik. Terserah kepada Allah, apakah ia akan diampuni, atau diazab lebih dahulu untuk membersihkan dosa-dosanya. Wallahu A’lam.      

Note: dn291