Minggu, 28 Oktober 2012

Psy War Sebelum Terjadinya Perang Badar

            Kaum orientalis, missionaris dan mereka yang tidak suka dengan Islam, seringkali menyampaikan statemen bahwa Islam didakwahkan dengan kekerasan. Mereka menggambarkan bahwa Nabi SAW dan para sahabat memegang pedang di tangan kanan dan Al Qur’an di tangan kiri, memerangi dan menaklukan negeri-negeri di sekitarnya dan memaksa penduduknya memeluk Islam. Tentu saja pernyataan tersebut salah besar, walaupun berbagai peperangan yang terjadi dalam sejarah perkembangan Islam adalah suatu kenyataan, termasuk perang Badar.
            Perang Badar bisa dikatakan sebagai perang pertama yang dialami kaum muslimin, tetapi bukan merupakan konfrontasi yang pertama kalinya dengan kaum kafir Quraisy Makkah. Sebenarnya, ketika Nabi SAW dan kaum muslimin memutuskan hijrah ke Madinah, tentunya karena ijin dan perintah Allah, bukanlah dengan maksud untuk membentuk ‘kutub kekuatan’ untuk memerangi Makkah, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan keimanan dan keislaman, serta bisa melaksanakan ibadah kepada Allah dengan tenang tanpa gangguan dan teror kaum kafir Quraisy. Tetapi perkembangan yang terjadi ‘menggiring’ Nabi SAW dan kaum muslimin untuk membentuk kekuatan pasukan perang, bahkan kemudian turun ayat Al Qur’an yang mengijinkan dan akhirnya mewajibkan perang bagi kaum muslimin.

Teror Kaum Kafir Quraisy Makkah
            Saat tiba di Madinah, yang pertama kali dilakukan oleh Nabi SAW adalah membentuk tatanan kehidupan yang rukun dan toleran di antara penduduk Madinah dengan dirumuskannya Piagam Madinah. Setidaknya ada tiga kelompok besar yang dicakup, yakni masyarakat baru kaum muslimin, masyarakat Madinah dan sekitarnya yang masih memeluk agama jahiliah, yakni menyembah berhala, dan kaum Yahudi yang masih ‘memegangi’ ajaran-ajaran Nabi Musa AS dengan Kitab Tauratnya. Tetapi tampaknya kaum kafir Quraisy tidak mau merelakan begitu saja kalau Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya beribadah dengan tenang di Madinah.
            Langkah pertama yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy adalah mengirim surat kepada Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pimpinan masyarakat Madinah yang masih musyrik, dan kepada orang-orang Yahudi. Dalam suratnya itu kaum kafir Quraisy mengancam akan mengerahkan seluruh kekuatannya, termasuk sekutu-sekutunya di jazirah Arabia untuk menyerang Madinah, membantai kaum lelakinya dan menawan kaum wanitanya, kecuali jika mereka mau mengusir kaum muslimin, khususnya Muhajirin Makkah dari kotanya tersebut.
Mendapat surat tersebut, segera saja Abdullah bin Ubay mengumpulkan orang-orang untuk melakukan penyerangan dan pengusiran kaum Muhajirin. Tetapi sebelum sempat bergerak, Nabi SAW yang mengetahui maksudnya tersebut, segera mendatangi mereka, dan bersabda, “Ternyata orang-orang Quraisy telah mengancam kalian. Ketahuilah, sesungguhnya mereka hanya ingin memperdayai kalian, lebih banyak daripada tipu daya yang akan kalian timpakan kepada diri kalian sendiri. Sebenarnya kalian sendiri sajalah yang menghendaki membunuhi anak-anak dan saudara-saudara kalian!!”
Saat itu Nabi SAW hanya ditemani beberapa orang sahabat saja, sementara kaum musyrikin Madinah itu telah berkumpul cukup banyak dengan persenjataan yang lengkap. Tetapi terpergok (ketahuan) niatnya seperti itu, mereka jadi keder, semangat dan nyali mereka langsung turun. Mungkin mereka merasakan ‘aura’ kenabian yang begitu kuat sehingga kekuatannya seperti tersedot dan tidak berkutik lagi. Abdullah bin Ubay membatalkan niatnya dan memerintahkan mereka untuk bubar. Tetapi kebencian dan kedengkian Abdullah bin Ubay kepada Nabi SAW tidak sirna begitu saja. Ia tetap saja berhubungan dengan kaum Quraisy dan mencari-cari kesempatan agar bisa menyerang Nabi SAW suatu saat nanti.
Hal itu mungkin bisa dimaklumi, karena sebelum kedatangan Islam dan Nabi SAW ke Madinah, masyarakat Madinah dari Suku Aus dan Khazraj yang terlibat perang saudara, telah memutuskan akan mendukung Abdullah bin Ubay bin Salul ini menjadi raja Madinah untuk mempersatukan mereka. Tetapi ketika masyarakat Madinah mengenal Islam, yang sebenarnya hanya diawali pertemuan enam pemuda dengan Nabi SAW saat umrah ke Makkah, mereka batal merealisasikan rencananya tersebut. Bahkan setelah Nabi SAW tinggal di Madinah mereka mengabaikannya begitu saja, tidak lagi menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang disegani seperti sebelumnya.
Beberapa waktu kemudian Sa’d bin Mu’adz, salah satu tokoh Madinah yang telah memeluk Islam, melakukan ibadah umrah ke Makkah. Ia tinggal di rumah tokoh Quraisy yang juga sahabatnya, Umayyah bin Khalaf. Ketika mereka berdua tengah thawaf, mereka bertemu Abu Jahal yang langsung berkata, “Wahai Abu Shafwan (nama kunyah Umayyah), siapakah orang ini??”
Umayyah bin Khalaf berkata, “Dia sahabatku, Sa’d bin Mu’adz dari Yatsrib!!”
Seketika itu Abu Jahal berkata, “Bukankah engkau thawaf dengan aman di sini? Tetapi mengapa kalian melindungi orang-orang yang murtad (dari agama jahiliahnya), bahkan kalian bertekad akan meolong mereka. Demi Allah, andaikata engkau tidak sedang bersama Abu Shafwan, tentu engkau tidak akan selamat kembali kepada keluargamu!!”
Mendapat ancaman seperti itu, Sa’d berkata, “Demi Allah, jika engkau menghalangiku di sini dan saat ini, maka aku dan kaumku akan menghalangi perjalanan kalian melewati penduduk Yatsrib dengan cara yang lebih keras!!”
Ketika pulang ke Madinah, Mu’adz menceritakan pengalamannya tersebut kepada Nabi SAW, maka beliau memerintahkan untuk tidak berkunjung (berziarah, berumrah atau berhaji pada bulan haji) ke Makkah untuk sementara waktu. Pada dasarnya Nabi SAW tidak menginginkan terjadinya bentrokan langsung, yang bisa berakibat terjadinya korban jiwa. Tetapi belum lama setelah itu, datang utusan dari kaum kafir Quraisy menyampaikan pesan kepada Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya, khususnya kaum Muhajirin, “Janganlah kalian bersenang-senang terlebih dahulu karena berhasil meninggalkan kami ke Yatsrib!! Sungguh kami akan mendatangi kalian, lalu merenggut dan membenamkan kalian di antara tanaman di halaman rumah kalian!!”
Memperoleh ancaman frontal seperti itu, Nabi SAW menyadari bahwa kaum Quraisy tidak main-main dengan keputusannya memusuhi kaum muslimin. Tidak urung terjadi kegelisahan pada mereka, karena bagaimanapun juga kaum musyrikin di Madinah dan kaum Yahudi tidak mungkin dipegang janjinya seratus persen, walau mereka telah terikat perjanjian damai di dalam Piagam Madinah. Pada hari itu Nabi SAW tidak bisa langsung tidur, ada kegelisahan dan kekhawatiran yang menghantui. Bahkan beliau sempat berkata, “Andaikata saja ada seseorang yang shalih dari sahabatku yang mau menjagaku!!”
Walau bukan doa dan hanya sekedar harapan, ternyata Allah mengabulkannya. Tiba-tiba Nabi SAW mendengar suara gemerincing senjata yang dikeluarkan dari sarungnya di depan pintu rumah, beliau bersabda, “Siapa itu??”
Seseorang menjawab, “Saya Sa’d bin Abi Waqqash!!”
Beliau bersabda lagi, “Apa yang mendorongmu datang ke sini??”
Sa’d berkata, “Saya khawatir akan keselamatan engkau, ya Rasulullah, karena itu saya datang untuk menjaga engkau!!”
Nabi SAW bersyukur kepada Allah, dan mendoakan kebaikan untuk Sa’d. Setelah itu barulah beliau bisa beristirahat dan tidur dengan tenang.
Hari-hari berikutnya para sahabat lainnya mengikuti jejak Sa’d untuk menjaga keselamatan Nabi SAW, baik malam atau siang harinya. Ke manapun beliau pergi, selalu saja ada sahabat yang mengikuti beliau dan bersiaga. Mereka bergiliran melakukan tugas tersebut tanpa diberikan jadwal secara khusus. Hal berlangsung terus selama beberapa hari lamanya, sampai akhirnya turun Firman Allah, sebagian dari QS Al Maidah ayat 67 : Wallaahu ya’shimuka minan naasi (Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia).
Ayat itu turun pada suatu malam, dan segera saja Nabi SAW menjulurkan kepada beliau lewat jendela dan bersabda kepada para sahabat yang berjaga-jaga di sekitar rumah beliau, “Wahai semua orang, pergilah kalian karena waktu malam adalah waktu untuk tidur. Sesungguhnya Allah telah menjagaku dari kejahatan manusia!!”
Setelah itu tidak ada lagi penjagaan khusus terhadap Nabi SAW, dan beliau juga cukup tenang dan yakin dengan penjagaan Allah. Namun demikian, tetap saja para sahabat ada yang bersiaga di sekitar Nabi SAW walau tidak tampak secara khusus menjaga beliau.

Show of Force dari Kaum Muslimin
            Dalam sebuah konfrontasi antara dua pihak, pihak yang diserang akan lebih banyak merasa lemah dan tertekan, sedang pihak yang menyerang akan merasa lebih kuat dan bebas tekanan. Dalam sebuah bentuk permainan seperti catur, sepakbola, basket dan lain-lainnya, terkadang berlaku hukum “Pertahanan yang Paling Kuat adalah Penyerangan”. Artinya, kalau kita hanya bertahan saja, kemungkinan untuk kalah akan lebih besar. Sedangkan dengan aktif menyerang, peluang untuk kalah jadi lebih kecil, setidaknya memunculkan kepercayaan diri kalau memang mempunyai kekuatan.
            Konsep seperti itulah yang mungkin muncul dalam pemikiran Nabi SAW, apalagi turun juga wahyu yang mengijinkan kaum muslimin untuk berperang, yakni QS Al Hajji ayat 39 (yang artinya) : Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.
            Nabi SAW mulai menyusun kekuatan pasukan bersenjata, dan mengirimkan satuan-satuan pasukan itu ke beberapa penjuru Arabia. Tujuan pertama adalah untuk menunjukkan eksistensi Islam kepada berbagai kabilah Arab yang tersebar di sana, sekaligus mendakwahkan Islam, atau setidaknya menjalin kerjasama untuk tidak saling menyerang. Kedua adalah untuk meredam tindakan kabilah-kabilah Badui yang biasanya suka merampok kafilah-kafilah di perjalanan, sehingga pasukan muslimin itu bertindak layaknya ‘polisi’ yang mengamankan jalur perdagangan. Dan ketiga adalah melakukan ‘gangguan’ kepada kafilah dagang kafir Quraisy yang menuju dan dari Syam.
Nabi SAW juga mengirim mata-mata untuk mengamati pergerakan kaum Kafir Quraisy, baik dalam bidang militer ataupun kafilah dagangnya. Beliau juga memperoleh informasi dari berbagai kabilah yang telah menjadi sekutu beliau. Terkadang informasi itu datang dari orang-orang yang baru saja melakukan perjalanan dan singgah di Madinah, baik yang menuju ke utara, yakni Syam, ke Selatan yakni Yaman, atau ke arah Timur, yakni Bahrain, Persia dan lain-lainnya. Pada akhirnya Nabi SAW mempunyai ‘pemetaan’ yang cukup lengkap untuk wilayah di Jazirah Arabia tersebut, dan siap untuk melakukan tindakan lebih lanjut, khususnya dalam menghadapi dan membalas teror yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy di Makkah.
Tanggal 1 Ramadhan tahun 1 Hijriah, sekitar enam bulan sejak Nabi SAW tinggal di Madinah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 Hijriah, beliau mengirimkan 30 orang sahabat yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthalib untuk ‘mengganggu’ (menghadang) kafilah dagang Quraisy yang pulang dari Syam. Walau jumlahnya sedikit, Nabi SAW menyertakan panji (bendera) pasukan berwarna putih yang dipegang oleh sahabat Marstad Kannaz bin Hishn al Ghanawy. Mereka bertemu dengan kafilah Quraisy yang berkekuatan 300 orang, salah satu di antaranya adalah Abu Jahal, di Siful Bahr. Kedua pasukan telah berhadap-hadapan dan siap berperang, tetapi tiba-tiba muncul Majdy bin Amr al Juhanny yang menjadi sekutu kedua belah pihak, melerai pertikaian tersebut.
Satu bulan kemudian, pada tanggal 1 Syawal tahun 1 Hijriah, Nabi SAW mengirimkan 60 sahabat Muhajirin yang dipimpin oleh Ubaidah bin Harits bin Abdul Muthalib, masih paman beliau juga, dengan misi yang sama. Panji pasukan berwarna putih dibawa oleh sahabat Misthah bin Utsatsah. Mereka bertemu di lembah Rabigh, dan sempat terjadi saling melepaskan anak panah dengan kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb berkekuatan 200 orang tersebut, tetapi pertikaian tidak berlanjut.
Dalam kesempatan itu, dua orang anggota kafilah Quraisy membelot ke pasukan muslim dan masuk Islam, yakni Miqdad bin Amr al Bahrany dan Utbah bin Ghazwan al Maziny. Ternyata sejak awal keduanya telah mempunyai rencana memeluk Islam, hanya saja tidak memungkinkan bagi mereka untuk secara frontal menyatakan keislaman, kemudian berangkat ke Madinah. Kalau seperti itu, pastilah kaum kafir Quraisy akan mengejar atau menangkap mereka, dan membawanya kembali ke Makkah untuk ditawan, sebagaimana terjadi pada beberapa orang sahabat lainnya. Tetapi dengan strategi seperti itu, mereka dengan mudah ke Madinah, bahkan dengan membawa serta barang-barang miliknya yang berharga.
Pada bulan Dzulqa’idah tahun 1 hijriah itu juga, yakni sekitar satu bulan kemudian, Nabi SAW mengirimkan 20 sahabat yang dipimpin Sa’d bin Abi Waqqash untuk menghadang kafilah dagang kafir Quraisy, panji pasukan dipegang oleh Miqdad bin Amr. Tetapi ketika tiba di Kharrar, ternyata kafilah itu telah melewatinya satu hari sebelumnya.
Pada bulan Shafar tahun 2 Hijriah, sekitar tiga bulan kemudian, Nabi SAW memimpin sendiri 70 orang sahabat Muhajirin masih dengan misi yang sama. Panji pasukan berwarna putih dipegang oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, dan yang menjadi wakil beliau memimpin Madinah untuk sementara waktu adalah Sa’d bin Ubadah, seorang sahabat Anshar. Tetapi ketika Nabi SAW tiba di Waddan atau Abwa, tempat yang diperkirakan akan bertemu kafilah tersebut, beliau tidak menjumpainya. Mungkin sudah lewat sebelumnya, atau mereka ‘mencium’ gerakan pasukan Nabi SAW dan mengalihkan arah kafilahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nabi SAW singgah dan bertemu dengan pimpinan kabilah Bani Dhamrah, Amr bin Makhsyi. Beliau melakukan perjanjian kerjasama untuk tidak saling memerangi. Ini adalah perjalanan pertama Nabi SAW memimpin pasukan, dan beliau bergerak menyusuri padang pasir selama limabelas hari.
Satu bulan kemudian, pada Rabi’ul Awwal 2 Hijriah, Nabi SAW memimpin sekitar 200 sahabat, baik dari Muhajirin maupun Anshar, untuk menghadang kafilah dagang kafir Quraisy yang dipimpin Umayyah bin Khalaf. Panji pasukan berwarna putih dibawa oleh Sa’d bin Abi Waqqash, dan yang menjadi wakil beliau memimpin Madinah adalah Sa’d bin Mu’adz, seorang sahabat Anshar. Tetapi ketika Nabi SAW tiba di Buwath, lagi-lagi kafilah itu telah terlebih dahulu melewatinya.
Pada bulan yang sama, Nabi SAW memperoleh kabar kalau kandang gembalaan orang-orang Madinah yang berada di luar kota, diserbu oleh beberapa perampok musyrik yang dipimpin oleh Kurs bin Jabir al Fihry. Segera saja beliau memimpin 70 sahabat untuk mengejarnya, panji pasukan dibawa oleh Ali bin Abi Thalib dan wakil beliau di Madinah adalah Zaid bin Haritsah. Beliau mengejar hingga ke Badr, bahkan terus mencari hingga di wadi (sumber air) Safawan, tetapi tidak berhasil menemukan mereka.
Sekitar dua bulan kemudian, yakni pada akhir bulan Jumadil Ula, Nabi SAW memperoleh informasi kalau kaum kafir Quraisy mengirimkan kafilah dagang cukup besar ke Syam, yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Beliau langsung mempersiapkan 150 atau 200 orang sahabat Muhajirin dan memimpinnya sendiri. Panji pasukan dibawa oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, sedang yang ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah adalah Abu Salamah al Makhzumy. Beliau bergerak hingga Dzul Usyairah, tetapi ternyata kafilah itu telah melaluinya beberapa hari sebelumnya. Tetapi dalam kesempatan itu beliau sempat singgah di kabilah Bani Mudlij dan mengikat perjanjian damai dengan mereka.
Walau serangkaian pasukan yang beliau kirimkan atau beliau memimpinnya sendiri tidak memberikan hasil secara nyata, tetapi setidaknya telah memunculkan kekhawatiran kaum kafir Quraisy. Kalau selama ini tidak pernah ada yang berani mengganggu kafilah dagangnya, termasuk sebagian kaum Badui yang suka merampok, kini mereka harus lebih mewaspadai kaum muslimin di Madinah. Setidaknya kaum kafir Quraisy telah merasakan ‘teror’ psikologis, sebagaimana mereka telah melakukan teror yang sama kepada kaum muslimin di Madinah. Di sisi lain, kaum muslimin memperoleh pembelajaran secara langsung bagaimana suasana medan dan kesulitan yang harus mereka hadapi selama dalam perjalanan pasukan, termasuk bagaimana melaksanakan ibadah, khususnya shalat.  

Kontak Senjata yang Pertama Kalinya
            Bisa jadi kegagalan misi-misi tersebut karena masih adanya komunikasi yang kuat antara kaum musyrikin dan Yahudi di Madinah dengan kaum kafir Quraisy di Makkah. Semua gerakan kaum muslimin mungkin dibocorkan mereka kepada orang-orang Quraisy, tentunya secara diam-diam karena sebenarnya mereka terikat perjanjian Piagam Madinah untuk saling menjaga dan membantu (membela).
Pada Bulan Rajab 2 Hijriah Nabi SAW mengirim duabelas orang Muhajirin di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsyi al Asady, satu unta dikendarai oleh dua orang. Mungkin belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini Nabi SAW tidak memberikan instruksi langsung kemana mereka harus pergi, tetapi beliau hanya menunjukkan satu arah, dan sebuah surat tertutup yang hanya boleh dibuka setelah dua hari perjalanan.
            Setelah dua hari perjalanan, dan mereka berada di tengah padang pasir yang luas, Abdullah bin Jahsyi membuka surat Rasulullah SAW tersebut. Bunyi surat tersebut adalah : “Jika engkau telah membuka surat ini, maka pergilah kalian ke Nakhlah, di antara Makkah dan Thaif. Selidikah kafilah dagang Quraisy dan sampaikanlah informasinya kepada kami!!”
            Ibnu Jahsyi mencium surat itu sambil berkata, “Sami’na wa atho’na” (Kami mendengarkan dan kami mentaatinya). Para sahabat lainnya juga mengucapkan perkataan yang sama ketika ia menceritakan isi surat Nabi SAW tersebut.
Sungguh hal itu tugas yang berbahaya, memasuki Nakhlah berarti memasuki ‘beranda’ kota Makkah yang menjadi ‘markas besar’ kaum kafir Quraisy. Sekali mereka terpergok, susah sekali akan meloloskan diri dari penangkapan musuh, dengan resiko mati terbunuh. Untuk kembali ke Madinah masih terlalu jauh, sekitar 400 km, apalagi satu tunggangan unta harus membawa dua orang. Karena itu Abdullah bin Jakhsyi sempat berkata, “Siapa yang menginginkan mati syahid karena mengemban tugas ini, marilah bangkit bersamaku. Tetapi siapa yang takut mati, hendaklah pulang saja sekarang ini!!”
Tentu saja tidak seorangpun dari para sahabat tersebut yang ingin pulang. Adalah suatu kehormatan dan kemuliaan ketika mereka ditunjuk langsung oleh Nabi SAW mengemban suatu tugas, seberat apapun resikonya, termasuk kematian. Segera saja mereka memacu tunggangannya ke arah Nakhlah, yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk tiba di sana. Tetapi di suatu hari, ketika tengah beristirahat, tiba-tiba unta yang membawa Sa’d bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan terlepas. Beberapa waktu lamanya mereka berusaha mencari tetapi tidak diketemukan juga, akhirnya Abdullah bin Jahsyi meneruskan perjalanan tanpa mereka berdua.
Sampai di Nakhlah tepat pada hari terakhir di Bulan Rajab pada sore hari. Mereka memergoki, atau mungkin lebih tepat terpergok, kafilah dagang Quraisy dengan membawa berbagai macam barang perniagaan, dan siap memasuki Kota Makkah. Abdullah bin Jahsyi menghadapi pilihan yang tidak mudah, kalau berdiam diri saja dan membiarkan kafilah itu bertemu kaum Quraisy, bisa jadi mereka akan mengerahkan segenap tenaga dan kekuatan untuk mengejar dan menangkapnya. Melakukan perlawanan di saat itu bisa jadi sudah terlambat, sepuluh orang melawan kekuatan Quraisy, yang entah berapa banyaknya, hampir bisa dipastikan kekalahannya.
Kalau melakukan serangan terhadap kafilah dagang Quraisy itu, saat itu mereka berada di Bulan Haram Rajab, yang secara hukum tidak tertulis di Jazirah Arabia, mereka terlarang melakukan pertempuran. Jika menunggu malam menjelang, yang mana telah masuk ke Bulan Sya’ban, bisa jadi kafilah itu telah memasuki Tanah Haram, yang secara hukum juga terlarang untuk melakukan peperangan di sana. Belum lagi kemungkinan akan diketahui oleh Kaum Quraisy menjadi lebih besar.
Abdullah bin Jahsyi melakukan rapat singkat, dan secara bulat mereka memutuskan untuk menyerang kafilah itu saat itu juga. Itulah pilihan terbaik dari kemungkinan yang ada, walaupun mungkin melanggar larangan yang berlaku di kalangan mereka. Sepuluh orang sahabat itu segera menyerang dengan panah dan senjata lainnya. Terjadi pertikaian yang cukup seru, satu orang kafir tewas, yakni Amr bin Hadramy, dua orang ditawan, yakni Hakam bin Kaisan dan Utsman bin Abdullah bin Mughirah. Sedangkan yang lainnya melarikan diri meninggalkan barang-barang perniagaannya.
Segera setelah itu Abdullah bin Jahsyi memerintahkan pasukannya kembali ke Madinah dengan membawa serta tawanan dan ghanimah (rampasan perang) yang diperolehnya. Sepanjang malam itu mereka terus bergerak menjauhi Kota Makkah, sehingga mereka tidak terkejar lagi ketika kaum Quraisy mulai mengejar keesokan harinya. Inilah tawanan dan ghanimah yang pertama kalinya di dalam Islam,
Ketika sampai di Madinah, Ibnu Jahsyi langsung melaporkan pelaksanaan tugasnya secara lengkap, dan menyerahkan ghanimah yang diperolehnya itu kepada Nabi SAW. Tetapi ternyata beliau tidak sependapat dengan ‘ijtihad’ yang diambil oleh sepuluh orang sahabat tersebut. Beliau menolak menerima tawanan dan ghanimah itu sambil bersabda, “Aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang di Bulan Haram!!”
Abdullah bin Jahsyi dan kawan-kawannya menjadi sedih dengan keputusan Nabi SAW tersebut, walaupun sebenarnya beliau tidak menyalahkannya secara mutlak. Beliau memahami situasi yang dihadapinya saat itu, hanya saja secara ‘politis’ beliau harus tetap mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku di Jazirah Arabia, baik tentang batasan pada Bulan-bulan Haram dan juga Tanah Haram yang telah berlaku selama ratusan atau bahkan ribuan tahun sebelumnya. Hukum yang selama ini telah diyakini sebagai hukum yang telah ditetapkan Allah bagi mereka.
Keadaan tersebut ternyata dimanfaatkan juga oleh kaum kafir Quraisy memprovokasi bahwa orang-orang Islam ternyata telah menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah. Hal ini membuat ‘pamor’ kaum muslimin agak meredup, dan sepuluh sahabat pimpinan Abdullah bin Jahsyi yang merasa paling bersalah. Semangat jihad dan perjuangan kaum muslimin yang sempat membara dalam beberapa bulan terakhir, karena digembleng Nabi SAW dengan berbagai pengiriman pasukan, sedikit banyak jadi menurun.
Tetapi tidak lama kemudian turun wahyu Allah, QS Al Baqarah 217 : Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Ayat ini menegaskan tentang hukum berperang pada Bulan dan di Tanah Haram tersebut, tetapi dengan pengecualian, bahwa apa yang telah dilakukan oleh sepuluh sahabat itu adalah benar adanya. Apalagi ayat tersebut merupakan rangkaian dari kewajiban berperang dan hakikat berperang di Jalan Allah, yakni pada QS Al Baqarah 216. Tidak lama kemudian turun lagi ayat yang menegaskan kewajiban berperang, dalam situasi dan kondisi yang dihadapi kaum muslimin Madinah saat itu, yakni QS Al Baqarah 190-193. Semangat kaum muslimin kembali membara, semakin kokoh untuk mempertahankan dan membela diri dalam rangka melangsungkan dakwah Risalah Ilahiah tersebut di Jazirah Arab dan sekitarnya.
             Ketika turunnya ayat-ayat tersebut telah sampai di pendengaran kaum Quraisy Makkah, mereka hanya bisa gigit jari. Provokasi mereka menjadi mentah kembali, bahkan kini mereka dihinggapi rasa khawatir dan ketakutan setelah apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Jahsyi dan kawan-kawannya. Kaum muslimin itu bisa menjangkau begitu dekat ke ‘markas’ mereka tanpa diketahui dan kembali ke Madinah dengan selamat tanpa kesulitan yang berarti.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Ketika Sahabat Tertawa Terbahak-bahak

            Suatu ketika beberapa orang sahabat terlibat beberapa pembicaraan sehingga mereka tertawa terbahak-bahak. Kebetulan saat itu Nabi SAW berjalan melintasi mereka, seketika beliau bersabda, “Mengapa kalian tertawa terbahak-bahak, sedangkan api neraka menanti di belakang kalian? Demi Allah aku tidak senang melihat kalian tertawa seperti itu!!”
            Setelah itu Nabi SAW berjalan lagi meninggalkan mereka, yang tampak bersedih dan sangat menyesal melihat ‘ketidak-sukaan’ beliau atas sikap mereka itu. Dengan tanggapan beliau seperti itu, mereka merasa telah berdosa besar, dan hanya neraka yang menjadi balasannya. Mereka hanya diam dengan kepala tertunduk, seolah-olah ada burung yang bertengger di kepala mereka dan khawatir burung itu akan terbang jika menggerakkan kepalanya.
            Tetapi tidak lama setelah itu tampak Nabi SAW hadir lagi di antara mereka dengan berjalan mundur. Kemudian dengan nada yang lebih lembut, tanpa meninggalkan ketegasan, beliau bersabda, “Malaikat Jibril datang kepadaku dan mengatakan, bahwa Allah SWT berfirman kepadaku : Mengapakah engkau mematahkan hati hamba-hamba-Ku dari rahmat-Ku? Kabarkan kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Aku adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, akan tetapi Siksa-Ku (pun) adalah siksaan yang amat pedih!!”
            Setelah itu beliau berjalan lagi meninggalkan mereka, dan para sahabat tersebut segera bertaubat dan berazam (bertekad dengan sangat kuat) untuk tidak lagi tertawa terbahak-bahak.
            Dalam suatu kesempatan lain, Nabi SAW baru saja keluar dari masjid ketika beliau melihat beberapa orang sahabat tengah berbincang sambil tertawa terbahak-bahak. Beliau menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka membalas salam, beliau bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat sesuatu yang ‘memutuskan kelezatan’ (haadzimil ladzdzaat)!!”
            Salah seorang sahabat berkata, “Apakah haadzmil ladzdzaat, ya Rasulullah??”
            Nabi SAW bersabda, “Al Maut (yakni, kematian)!!”
            Seketika para sahabat tersebut terdiam, dan Nabi SAW meninggalkan majelis mereka. Belum jauh berjalan lagi, beliau melihat sekumpulan sahabat lainnya juga tengah berbincang-bincang dengan tertawa-tawa. Beliau segera menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Ingatlah, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian mengetahui sebagaimana apa yang aku ketahui, tentulah kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis!!”
            Para sahabat itu seketika terdiam, tidak lagi tertawa-tawa seperti sebelumnya. Nabi SAW berpamitan meninggalkan mereka, yang tenggelam dalam tafakkur masing-masing, merenungi perkataan Nabi SAW tersebut. Tetapi belum jauh beliau berjalan, ada lagi sekumpulan sahabat yang berbincang sambil tertawa-tawa juga. Nabi SAW menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya asing, dan nanti akan kembali menjadi asing ketika (telah dekat saat) hari kiamat!! Maka, beruntunglah bagi orang-orang yang asing pada (saat dekat) hari kiamat nanti.”
            Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing pada (saat dekat) hari kiamat tersebut??”
            Beliau bersabda, “Yaitu orang-orang yang apabila masyarakat berada dalam kerusakan (yakni tenggelam dalam kemaksiatan dan mengabaikan kewajiban), maka orang-orang itu berusaha untuk memperbaikinya (yakni melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar)!!”

Note:tg1-121319

Istiqomah Shalawat yang Menyelamatkan

            Di masa Nabi SAW, ada seorang Yahudi yang menuduh seorang muslim mencuri unta, yang sebenarnya unta itu adalah miliknya sendiri. Untuk memperkuat tuduhan itu, Si Yahudi ‘menyewa’ empat orang muslim lainnya untuk membenarkan ‘klaimnya’ bahwa unta itu adalah miliknya. Empat orang muslim yang dibayar tersebut memang termasuk dari kalangan kaum munafik, lahiriahnya saja beragama Islam, tetapi jiwanya sangat memusuhi Islam, atau keislaman itu dipergunakannya hanya untuk memperoleh keuntungan duniawiah semata-mata.
            Ketika Nabi SAW memperoleh laporan Si Yahudi, berikut empat orang saksi palsunya, beliau memerintahkan mendatangkan lelaki muslim pemilik unta yang diklaim tersebut, termasuk unta yang disengketakan itu. Setelah ia datang, beliau bersabda, “Orang Yahudi ini telah menuduh engkau mencuri untanya, dan ia membawa empat orang saksi ini. Jika engkau memang tidak mencuri, atau unta ini memang milikmu, tunjukkanlah buktinya, atau datangkanlah empat orang saksi sebagai hujjahmu!!”
            Si Muslim itu dengan kebingungan berkata, “Wahai Rasulullah, unta ini memang milik saya, tetapi saya tidak tahu bagaimana saya harus membuktikannya, atau bagaimana bisa saya mendatangkan empat saksi untuk memperkuat kepemilikan saya!!”
            Mendengar jawaban tersebut, Nabi SAW bersabda, “Kalau demikian halnya, tuduhan orang Yahudi itu benar, unta itu miliknya dan engkau akan dijatuhi hukum qishash, yakni dipotong salah satu tanganmu!!”
Memang, dalam memutuskan hal-hal yang bersifat hukum atau fiqiyah, Nabi SAW hanya akan melihat dan menilai bukti dan saksi-saksi dengan pengakuan lahiriahnya semata, dalam hal bathiniahnya (kebenaran atau kepalsuan bukti dan saksi yang ditunjukkan), beliau menyerahkan urusannya kepada Allah. Kecuali jika ada pemberitahuan khusus dari Allah melalui malaikat Jibril atau dari jalan lainnya, barulah beliau memutuskan berbeda dengan bukti dan saksi yang ditunjukkan. Dalam kasus di atas, beliau memang tidak memperoleh pemberitahuan dari Malaikat Jibril, karena itu beliau ‘memenangkan’ kasus tersebut pada si Yahudi.
            Tampak orang Yahudi beserta empat orang saksi palsunya tertawa gembira, sedang si Muslim makin tenggelam dalam kesedihan dan kebingungan. Keputusan Nabi SAW telah ditetapkan, jika ia menolak sama artinya telah ingkar kepada beliau, dan jatuhlah ia dalam kekafiran. Tetapi ia yakin tengah didzalimi oleh orang Yahudi itu, hanya saja ia tidak tahu bagaimana harus membela diri. Dalam keadaan buntu seperti itu, si Muslim berdoa, “Ya Allah, hanya Engkau tempat aku mengadu, dan hanya Engkau yang mengetahui bahwa aku tidak mencuri unta ini!!”
            Sesaat dalam keadaan tercenung, seolah-olah mendapat ilham, si Muslim menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, keputusan engkau adalah benar, dan saya tidak akan pernah berani menentangnya. Tetapi dalam hal ini, tolonglah engkau tanyakan kepada unta ini mengenai saya!!”
            Nabi SAW memenuhi permintaan si Muslim itu, apalagi beliau mendengar sendiri doa yang dipanjatkannya kepada Allah. Setelah menghadapkan diri kepada unta yang digugat tersebut, Nabi SAW bersabda, “Wahai unta, milik siapakah kamu ini??”
            Dan sungguh suatu mu’jizat, tiba-tiba sang unta berbicara dengan bahasa manusia dengan fasihnya, “Wahai Rasulullah, saya adalah milik orang muslim ini, orang Yahudi beserta saksi-saksinya adalah bohong dan palsu belaka!!”
            Pucatlah wajah orang Yahudi dan empat saksinya dari kalangan munafik tersebut mendengar perkataan sang unta. Segera saja mereka bergegas pergi sebelum sempat Nabi SAW mempertanyakan tuduhannya, tetapi beliau membiarkannya saja. Beliau justru memandang kagum kepada si Muslim itu, dan bersabda, “Wahai Fulan bin Fulan, ceritakanlah kepadaku apa yang engkau kerjakan, sehingga Allah mengijinkan unta ini berbicara tentang dirimu!!”
            Si Muslim berkata, “Tidak ada yang istimewa, ya Rasulullah, kecuali saya tidak pernah tidur di malam hari sebelum saya membaca shalawat kepadamu, sepuluh kali!!”
            Maksudnya tidak ada yang istimewa, adalah apa yang diamalkannya tidak berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin yang selalu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasulullah SAW. Tetapi lagi-lagi Nabi SAW memandangnya dengan penuh sayang dan bersabda, “Kamu selamat dan terbebas dari hukuman potong tangan di dunia ini, dan kelak engkau akan selamat dari azab akhirat berkat bacaan shalawatmu kepadaku itu!!”
            Hati si Muslim berbunga-bunga, walau baru saja ia didzalimi, sedikitpun tidak terpikir ia akan menuntut balik kepada si Yahudi dan empat orang muslim (tetapi munafik) tersebut, dengan dalih pencemaran nama baik ataupun kesaksian palsu. ‘Pembenaran’ Rasulullah SAW atas ‘ijtihadnya’ membaca shalawat sepuluh kali sebelum tidur, dan juga ‘jaminan’ beliau bahwa ia akan selamat dari azab akhirat berkat amalannya tersebut, merupakan berkah yang sangat besar, sehingga menghapuskan ‘rasa terdzaliminya’ tersebut.
            Amalannya tersebut tidak sepenuhnya merupakan amalan baru (bid’ah) yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Pada dasarnya beliau menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak membaca shalawat kepada beliau, termasuk sebelum tidur tersebut. Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah menganjurkan empat hal kepada istri beliau, Aisyah RA, sebelum ia berangkat tidur. Pertama adalah mengkhatamkan Al Qur’an, kedua adalah memastikan bahwa ia akan memperoleh syafaat Rasulullah SAW pada yaumul makhsyar atau kiamat kelak, ketiga adalah memastikan bahwa seluruh kaum muslimin (di seluruh dunia) menjadi ridha atas dirinya, dan yang ke empat, ia melaksanakan haji dan umrah.
            Tentu saja Aisyah terheran-heran, sekaligus kebingungan bagaimana merealisasikan anjuran Nabi SAW tersebut, satu saja hampir tidak mungkin, apalagi keempat-empatnya. Nabi SAW tersenyum melihat keadaan istri kesayangan beliau tersebut, kemudian bersabda, “Bahwa engkau mengkhatamkan Al Qur’an sebelum tidur, cukuplah engkau membaca surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali….!!”
            Beliau menjelaskan lebih lanjut tentang amalan sebelum berangkat tidur tersebut, dengan membaca shalawat sebanyak sepuluh kali, maka ia akan memperoleh syafaat Rasulullah SAW pada yaumul makhsyar atau hari kiamat kelak.
            Dengan membaca istighfar, atau mendoakan ampunan untuk diri sendiri, orang tua dan seluruh kaum muslimin, sebanyak tujuh kali, sama artinya ia telah memperoleh keridhaan dari seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Redaksi sederhana bisa seperti ini : Astaghfirullah al azhiim, wa liwaalidayya, wa lil mu’miniina wal mu’minaat, al akhyaa-i minhum wal amwaat. Atau bisa memakai redaksi doanya Nabi Ibrahim AS sebagaimana tercantum dalam QS Ibrahiim ayat 41, atau beberapa redaksi lainnya.
            Dan untuk melaksanakan haji dan umrah, maka dengan membaca serangkaian kalimat thayyibah sebanyak tujuh kali, maka sama artinya ia memperoleh pahala seperti orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah. Rangkaian kalimat Thayyibah adalah : Subkhaanallaah wal khamdulillaah wa laa ilaaha illallaah allaahu akbar laa khaula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.

Note:dn535etc