Kamis, 09 Agustus 2012

Menjelang dan Saat-saat Wafatnya Rasulullah SAW

           Memasuki bulan Shafar tahun 11 hijriah, sekitar empat puluh hari sebelum kewafatan beliau, Nabi SAW datang ke Uhud diikuti oleh beberapa orang sahabat. Beliau shalat sunnah (mungkin shalat ghaib, atau shalat sunnah mutlak, setelah itu berdoa) untuk para sahabat yang mati syahid di peperangan Uhud tersebut. Usai shalat beliau berdiri menghadap para sahabat dan bersabda, “Sesungguhnya aku lebih dahulu meninggalkan kalian, dan aku akan menjadi saksi bagi kalian di hadapan Allah. Demi Allah, aku telah melihat tempat kembaliku saat ini. Sesungguhnya aku telah diberi kunci-kunci gudang dan perbendaharaan dunia, tetapi aku meninggalkannya. Demi Allah, aku tidak takut kalian akan musyrik sepeninggalku, tetapi yang aku khawatirkan (takutkan) adalah kalian akan saling bersaing dalam masalah itu (yakni bersaing dan bermegah-megahan dalam hal ke-duniawiah-an, atau at-takaatsur)…!!”
            Pada pertengahan bulan Shafar itu juga, suatu malam beliau datang ke pemakaman Baqi’ diikuti beberapa orang sahabat. Beliau mendoakan (memintakan) ampunan bagi mereka yang dimakamkan di sana. Beliau juga bersabda, “Salam sejahtera bagi kalian wahai penghuni kubur, apa yang kalian hadapi di sana menjadi ringan, daripada yang (akan) dihadapi manusia. Fitnah datang seperti sepotong malam yang gelap gulita, yang akhir akan menyusul yang awal. Hari akhirat lebih berat pembalasannya daripada di dunia…!!”
            Akhirnya beliau bersabda, “Sesungguhnya kami akan segera bersua dengan kalian!!”
            Masih pada bulan Shafar tahun 11 hijriah, Nabi SAW membentuk suatu pasukan untuk dikirim ke wilayah Palestina di Syam untuk memerangi pasukan Romawi. Latar belakangnya adalah pasukan Romawi yang dengan semena-mena menyerang dan membunuh para pemeluk Islam di daerah perbatasan tersebut. Puncaknya adalah ketika mereka menangkap Farwah bin Amr al Judzamy, seorang sahabat yang sebelum keislamannya menjabat sebagai Gubernur Ma’an di bawah kekuasaan Romawi. Mereka menangkap dan memenjarakan Farwah. Ia diberikan waktu yang cukup banyak untuk membuat pilihan. Tetapi cahaya keimanan yang telah menancap kuat di dalam dada, tidak akan bisa diiming-imingi dengan jabatan dan kekayaan dunia sebanyak apapun. Karena tetap memilih Islam, Farwah disalib di dekat mata air Afra di Palestina, setelah itu kepalanya dipenggal.
            Pasukan besar yang terdiri pada sahabat senior dan utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, termasuk Umar, pimpinan (komandan)-nya diserahkan Rasulullah SAW kepada Usamah bin Zaid, yang ketika itu masih berusia sembilan belas tahun. Keputusan beliau ini memicu sikap pro kontra dari beberapa sahabat. (Lebih lengkapnya tentang hal ini bisa dibaca pada Laman ‘Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW’ di bawah judul ‘Usamah bin Zaid’.) Nabi SAW tidak mengetahuinya secara langsung sikap pro-kontra tersebut karena saat itu kondisi fisik beliau mulai turun (kurang sehat), sehingga tidak bisa selalu berkumpul dengan para sahabat secara maksimal seperti sebelumnya.
            Pada hari senin tanggal 29 Shafar 11 hijriah, sekitar 13 atau 14 hari sebelum kewafatan, Nabi SAW menghadiri pemakaman jenazah salah seorang sahabat di Baqi’. Dalam perjalanan pulangnya, tiba-tiba beliau merasakan sangat pusing dan suhu tubuh beliau naik dengan drastisnya. Para sahabat bisa merasakan panasnya tersebut hanya dengan berdekatan dengan tubuh beliau, atau memperhatikan urat-urat nadi yang muncul di kepala beliau. Dalam keadaan sakit tersebut, Nabi SAW masih menjadi imam shalat jamaah selama sebelas hari.
            Dari hari ke hari sakit Nabi SAW makin parah saja, namun demikian beliau masih berusaha untuk ‘menggilir’ istri-istri beliau dengan adil. Tidak henti-hentinya beliau bertanya, “Di mana giliranku besok? Di mana giliranku besok?”
            Para Ummahatul Mukminin itu merasa kasihan dengan kondisi kesehatan Nabi SAW. Karena itu mereka sepakat agar Nabi SAW untuk tetap tinggal di salah satu rumah istri beliau tanpa harus berpindah-pindah lagi, merelakan waktu giliran mereka untuk istri yang beliau pilih. Nabi SAW memilih untuk tinggal di rumah Aisyah, maka Ali bin Abi Thalib dan Fadhl bin Abbas memapah beliau ke sana. Selama seminggu terakhir beliau tinggal di sana hingga hari kewafatan beliau.

Lima Hari Sebelum Hari Kewafatan
            Pada hari Rabu tanggal 7 Rabiul Awwal 11 hijriah, lima hari sebelum hari kewafatan, suhu tubuh beliau makin tinggi sehingga beliau demam dan menggigil. Beliau bersabda kepada orang-orang di sekitarnya, “Guyurkanlah air dari mana saja ke tubuhku, agar aku bisa menemui orang-orang dan memberikan nasehat kepada mereka!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, beliau meminta diambilkan air dari tujuh sumur untuk mengguyur beliau tersebut.
            Maka mereka mendudukkan Nabi SAW pada suatu bejana cucian yang cukup besar, dan mereka mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau. Berkali-kali mereka mengguyur Nabi SAW sehingga beliau sendiri yang berseru, “Cukup, cukup!!”
            Pengaruhnya cukup signifikan, beliau merasa agak ringan dan tidak menggigil lagi. Dengan kepala diikat dengan kain untuk mengurangi rasa sakit yang beliau rasakan, Nabi SAW datang ke masjid dengan dipapah oleh Ali dan Fadhl. Beliau memerintahkan Bilal beradzan untuk mengumpulkan orang-orang Muhajirin dan Anshar di masjid. Setelah mereka semua berkumpul, Nabi SAW naik mimbar dan memberikan berbagai nasehat. Beliau juga mengijinkan siapa saja yang mempunyai tanggungan atau merasa teraniaya dengan sikap atau tindakan Nabi SAW selama ini untuk menuntut balas atau meminta qishash beliau. Pada saat inilah terjadi peristiwa, di mana sahabat Ukasyah bin Mikhsan bermaksud meng-qishash Nabi SAW. (Kisah lengkapnya bisa dilihat pada Laman ini juga, dengan judul ‘Ketika Nabi SAW mengijinkan diqishash’.)
            Dalam kesempatan itu beliau juga memberikan wasiat, antara lain beliau bersabda, “Kutukan Allah dijatuhkan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid), karena itu, janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah!!”
            Beliau juga bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian tentang orang-orang Anshar, mereka adalah familiku, tempat simpanan rahasia-rahasiaku. Mereka telah melaksanakan kewajibannya, dan apa yang tersisa adalah milik mereka. Terimalah orang-orang yang baik di antara mereka, dan maafkanlah orang-orang yang buruk di antara mereka!!”
            Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia menurut kehendaknya ataukah apa yang ada di sisi Allah. Ternyata hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya!!”
            Semua sahabat tampak biasa saja mendengar penuturan Nabi SAW kecuali Abu Bakar. Tiba-tiba ia menangis dan berkata, “Demi ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu!!”
            Mereka tampak keheranan dengan sikap Abu Bakar tersebut bahkan mempertanyakannya, dan di sinilah tampak kelebihannya di antara sahabat lainnya. Memang ‘gaya-bahasa’ Nabi SAW saat bersabda yang terakhir itu hanya sekedar bercerita, tetapi hanya Abu Bakar yang menangkap isyarat, bahwa yang dimaksudkan beliau dengan ‘hamba’ itu adalah Rasulullah SAW sendiri. Artinya Nabi SAW memilih untuk kembali kepada Allah, yakni diwafatkan, daripada tetap tinggal di dunia walau diberi berbagai macam kenikmatan sesuai keinginan beliau. Itulah yang menyebabkan Abu Bakar memangis, karena perpisahan dengan Nabi SAW telah sangat dekat.   
            Nabi SAW bersabda lagi, “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan pertolongan kepadaku, dengan pergaulan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, tentulah aku mengambil Abu Bakar sebagai kekasih, tetapi ini adalah ukhuwah islamiyah dan kasih sayang. Semua pintu yang menuju ke Masjid hendaklah ditutup kecuali pintunya Abu Bakar…!!”

Empat Hari Sebelum Hari Kewafatan
            Pada hari kamis tanggal 8 Rabiul Awwal 11 hijriah, empat hari sebelum hari kewafatan, kesehatan beliau tidak juga membaik, bahkan makin menurun saja kondisinya. Beliau sempat bersabda, “Kemarilah kalian semua, aku akan menuliskan sesuatu (mendiktekan sesuatu untuk dituliskan), yang dengannya kalian sama sekali tidak akan tersesat selama-lamanya!!”
            Beberapa sahabat sudah bersiap membawa penanya. Umar yang juga hadir saat itu, melihat keadaan Nabi SAW yang benar-benar sangat lemah, dan ia merasa sangat kasihan, karena itu ia berkata, “Beliau terpengaruh oleh sakit beliau, bukankah di sisi kalian sudah ada Al Qur’an dan sunnah-sunnah beliau? Cukuplah itu semua sebagai pegangan kalian!!”
            Karena pendapat Umar tersebut, mereka jadi terpecah menjadi dua kelompok dan masing-masing berdebat mempertahankan sikapnya. Akibatnya suasana menjadi gaduh dan hal itu membuat beliau sangat terganggu. Karena itu beliau bersabda, “Menyingkirlah kalian dari sini!!”
            Tetapi beliau sempat menyampaikan tiga wasiat (pesan) kepada sahabat yang masih tinggal bersama beliau. Pertama adalah agar mereka mengeluarkan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang musyrik dari jazirah Arabia. Kedua adalah tentang (meneruskan) pengiriman para utusan seperti yang pernah beliau lakukan. Maksudnya adalah delegasi dakwah ataupun delegasi jihad, termasuk penerusan pasukan Usamah bin Zaid. Sedang wasiat ketiga, sahabat yang dipesani Nabi SAW itu lupa. Hal ini dimaklumi karena kondisi psikologis yang dihadapinya saat itu. Bisa jadi tentang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan as Sunnah, tentang shalat dan hamba sahaya, atau wasiat tentang kaum wanita, seperti yang disitir pada beberapa riwayat lainnya.
            Pada shalat maghrib pada hari kamis itu, Nabi SAW masih bisa menjadi imam shalat jamaah, walau tampak sekali beliau sangat berat dan payah menahan rasa sakit. Pada salah satu rakaat beliau membaca surat al-Mursalat. Ketika menjelang shalat isya’, beliau berusaha datang ke masjid, tetapi keadaan beliau sangat parah sehingga tidak mampu bangkit dari tempat tidur. Nabi SAW bersabda, “Apakah orang-orang sudah shalat?”
            Aisyah menjawab, “Belum, wahai Rasulullah, mereka sedang menunggu kehadiran engkau untuk shalat bersama!!”
            Nabi SAW bersabda, “Letakkan air di bejana tempat cucian untukku!!”
            Mereka yang hadir melaksanakan perintah beliau, setelah itu Nabi SAW mandi untuk mendinginkan dan mengurangi sakit kepala beliau. Tetapi setelah itu Nabi SAW masih kesulitan untuk bangkit, bahkan akhirnya beliau pingsan. Setelah siuman beliau bersabda, “Apakah orang-orang sudah shalat?”
            Aisyah berkata, “Belum, ya Rasulullah, mereka menunggu engkau!!”
            Nabi SAW berusaha bangkit, tetapi lagi-lagi beliau pingsan. Ketika sadar dan berusaha bangkit lagi, beliau pingsan untuk ke tiga kalinya. Setelah siuman kembali, beliau memerintahkan seorang sahabat, yakni Abdullah bin Zam’ah untuk mencari Abu Bakar agar ia menjadi imam bagi shalat jamaah mereka. Aisyah sempat memprotes kalau Abu Bakar menjadi imam, karena ayahnya tersebut seorang yang lembut hatinya dan mudah menangis, sehingga tidak akan mampu kalau disuruh menggantikan kedudukan beliau, baik sebagai imam shalat, terlebih lagi sebagai khalifah Rasulullah SAW.
            Aisyah sempat dua atau tiga kali mengulangi protesnya sehingga Nabi SAW sempat marah. Beliau bersabda, “Kalian para wanita ini, sama saja dengan kaum wanita di jaman Nabi Yusuf…Katakanlah kepada Abu Bakar untuk mengimami shalat dengan orang banyak!!”
            Aisyah tidak berani membantah lagi, dan Abdullah bin Zam’ah berangkat memenuhi perintah Nabi SAW. Para jamaah yang telah cukup lama menunggu tampak gelisah, dan Ibnu Zam’ah tidak menemukan Abu Bakar di antara mereka. Ketika melihat Umar, ia menyimpulkan kalau Umar tidak kalah dekat dan mulianya di sisi Rasulullah SAW dibanding Abu Bakar, karena itu ia berkata, “Berdirilah wahai Umar, shalatlah engkau mengimami orang banyak!!”
            Dalam pemahaman Umar, Ibnu Zam’ah tidak berkata seperti itu kecuali diperintahkan Nabi SAW karena ia memang baru keluar dari rumah beliau. Tetapi baru saja Umar mengucap takbir, yang suaranya memang keras hingga sampai terdengar Rasulullah SAW, segera saja beliau bersabda, “Dimanakah Abu Bakar? Allah menolak yang demikian itu, dan juga kaum muslimin!!”
            Nabi SAW mengulang ucapan beliau hingga tiga kali, sehingga Umar dan jamaah kaum muslimin menghentikan shalat mereka. Setelah itu Nabi SAW bersabda lagi, “Suruhlah Abu Bakar, hendaklah ia mengimami shalat dengan orang banyak!!”
            Setelah Abu Bakar datang, ia segera menjalankan perintah Rasulullah SAW, mengimami jamaah shalat isya’ pada hari kamis tersebut, dan itu terus berlanjut hingga Abu Bakar mengimami 17 kali shalat jamaah saat Nabi SAW masih hidup. Usai shalat, Umar menghampiri Abdullah bin Zam’ah dan berkata agak marah, “Celaka kamu, wahai Ibnu Zam’ah, apa yang engkau lakukan padaku?? Demi Allah, kalau tidaklah aku menduga bahwa Rasulullah menyuruhmu seperti itu, tentulah aku tidak akan melakukannya!!”
            Abdullah bin Zam’ah meminta maaf dan menjelaskan permasalahannya, bahkan ia sendiri juga tidak menduga kalau reaksi Nabi SAW begitu kerasnya. Ia berkata kepada Umar, “Sesungguhnya saya tidak melihat seseorang yang lebih berhak dengan hal ini kecuali engkau (di saat Abu Bakar sedang tidak hadir)!!”

Dua Hari Sebelum Hari Kewafatan
            Pada hari Sabtu tanggal 10 Rabiul Awwal 11 hijriah, dua hari sebelum hari kewafatan, Nabi SAW merasakan sakitnya agak ringan. Saat itu beliau baru menyadari kalau orang-orang yang ditunjuk untuk mengikuti pasukan Usamah bin Zaid ke Palestina, termasuk Usamah sendiri masih ada di Madinah. Beliau menanyakan penyebabnya, maka datanglah Umar bin Khaththab untuk memberikan penjelasan, termasuk sikap pro-kontra para sahabat tentang kepemimpinan Usamah yang masih sangat muda, di samping juga keadaan sakit Nabi SAW yang makin parah dalam beberapa hari terakhir.
            Mendengar penjelasan tersebut, pada saat para sahabat berkumpul dan siap melaksanakan shalat zhuhur, Nabi SAW berusaha bangkit berdiri. Dengan kepala dibalut dengan sorban untuk mengurangi rasa sakit dan tubuh berselimut, beliau dipapah oleh dua orang sahabat menuju masjid. Melihat kehadiran Nabi SAW mereka sangat gembira, Abu Bakar akan beranjak mundur, tetapi beliau mengisyaratkan agar ia tetap di tempatnya. Nabi SAW duduk di samping kiri Abu Bakar dan mulai shalat, Abu Bakar mengikuti shalat beliau dengan mengeraskan bacaan takbir-takbirnya, sehingga bisa diikuti oleh para jamaah lainnya.
            Usai shalat, beliau duduk di tangga pertama dari mihrab menghadap para jamaah. Beliau bersabda, "Telah kudengar sebagian dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah, jika kalian mengecam dirinya, berarti kalian mengecam bapaknya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid bin Haritsah) layak sebagai pemimpin, dan seperninggal bapaknya, putranya sangat layak sebagai pemimpin. Dan sungguh, Zaid adalah orang yang sangat aku kasihi, demikian juga dengan Usamah. Keduanya layak untuk mendapat semua kebajikan, karena itu, berwasiatlah kalian dalam kebajikan karena ia adalah sebaik-baiknya orang di tengah kalian…!!"

Satu Hari Sebelum Hari Kewafatan
            Pada hari Ahad tanggal 11 Rabiul Awwal 11 hijriah, satu hari sebelum hari kewafatan, satu persatu para anggota pasukan Usamah berpamitan kepada Nabi SAW di rumah beliau, termasuk Umar bin Khaththab. Mereka berkumpul di Jurf, sekitar tiga mil di  luar kota Madinah, tempat yang memang ditetapkan Nabi SAW sebelumnya untuk berkumpul. Rencananya, keesokan harinya pasukan itu baru diberangkatkan menuju Palestina.
            Saat itu sakit Nabi SAW mulai parah lagi, bahkan ketika Usamah akan berpamitan, beliau jatuh pingsan. Dengan sabar Usamah menunggu. Setelah beliau siuman, ia membungkuk dan mencium Nabi SAW dengan mata berkaca-kaca, berat rasanya untuk meninggalkan beliau dalam keadaan seperti itu. Tetapi Nabi SAW mengangkat tangan seolah-olah berdoa, kemudian mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap isyarat Rasulullah SAW itu sebagai doa restu untuk keberangkatannya. Maka ia segera berangkat ke Jurf untuk mempersiapkan pasukan.
            Pada hari Ahad itu juga, Nabi SAW membebaskan seorang budak lelaki yang masih tersisa, juga menyedekahkan uang tujuh dirham (atau tujuh dinar pada riwayat lainnya) yang masih beliau miliki. Beliau juga menyerahkan senjata yang selama ini beliau pergunakan untuk berjihad kepada salah seorang sahabat. Padahal satu hari sebelumnya, Aisyah meminjam minyak untuk bisa menyalakan lampu, dalam rangka merawat dan menemani Nabi SAW. Baju besi Nabi SAW juga sedang digadaikan kepada seorang Yahudi seharga tigapuluh sha’ gandum. Gandum tersebut bukan dipergunakan oleh Nabi SAW atau ahlul bait (keluarga dan kerabat) beliau, tetapi diberikan kepada seseorang yang meminta bantuan makanan kepada Nabi SAW, tetapi saat itu beliau tidak memiliki apa-apa untuk diberikan.
            Setelah keberangkatan pasukan ke Jurf, beberapa orang sahabat yang tidak termasuk anggota pasukan Usamah, datang dan berkumpul di rumah Nabi SAW. Walau dalam keadaan lemah dan kesakitan, beliau berusaha tersenyum menyambut mereka, mata beliau berkaca-kaca tergenang air mata penuh haru. Kemudian beliau bersabda, “Selamat datang kepada kalian semua, mudah-mudahan Allah menghidupkan, melindungi dan menolong kalian. Aku berwasiat kepada kalian dengan takwa kepada Allah, dan aku berwasiat (menitipkan, memohonkan pertolongan atau perlindungan) kepada Allah tentang kalian semua. Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata dari Dia kepada kalian, bahwa janganlah kalian sombong kepada Allah di negeri-Nya dan (terhadap) hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya ajal sangat dekat, kembali kepada Allah, ke Sidratul Muntaha, ke surga al Ma’wa dan ke gelas yang sempurna. Ucapkanlah (sampaikanlah) kepada dirimu dan kepada orang-orang yang masuk (memeluk) agamamu setelah (kewafatan)-ku salam dan rahmat Allah dari diriku!!”
            Semua yang hadir saat itu menangis sesenggukan mendengar sabda Nabi SAW tersebut, yang bisa dikatakan sebagai salam perpisahan beliau. Suasana hening tanpa suara kecuali isak tangis yang tertahan. Nabi SAW bersabda, “Wahai Abu Bakar, bertanyalah!!”
            Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ajal telah dekat?”
            Beliau bersabda, “Sungguh sangat dekat dan telah bergantung!!”
            Abu Bakar berkata lagi, “Tentulah Allah akan memudahkan engkau, wahai Nabiyallah!!”
            Kemudian ia berkata lagi seolah-olah sebuah keluhan atau kekhawatiran, “Apakah yang ada di sisi Allah (bagi kami)?? Oh, sekiranya kami mengetahui tempat kembali kami nantinya (maksudnya, selamat atau tidak di hadapan Allah)!!”
            Nabi SAW berkata menenangkan, yang seolah mendoakan, “Kepada Allah, ke Sidratul Muntaha, kemudian ke surga al Ma’wa dan Firdaus yang tertinggi, gelas yang paling sempurna, Teman Yang Tertinggi, keberuntungan dan hidup yang menyenangkan!!”
            Abu Bakar berkata lagi, “Siapa yang memandikan (jenazah) engkau, ya Rasulullah??”
            Beliau bersabda, “Lelaki dari ahli baitku (keluargaku) yang terdekat, lalu yang terdekat!!”
            Dalam riwayat lain beliau menunjuk langsung, Nabi SAW bersabda, “Yang memandikan aku adalah Ali, yang menuangkan air adalah Fadhl bin Abbas, dibantu oleh Usamah bin Zaid!!”
            Abu Bakar berkata lagi, “Dengan apa kami mengkafani (jenazah) engkau??”
            Beliau bersabda, “Dengan pakaianku ini, dan dengan pakaian bikinan negeri Yaman, dan kain putih bikinan negeri Mesir!!”
            Abu Bakar berkata lagi, “Bagaimana shalat kami kepada engkau, ya Rasulullah, padahal (pastinya) kami sedang menangis!!”
            Nabi SAW bersabda, “Pelan-pelanlah, wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu dan memberi balasan kepadamu dengan kebaikan (dengan berkah) dari nabimu ini….!!”
            Kemudian Nabi SAW berpesan lagi, “Jika kalian telah memandikan dan mengkafani (jenazah)-ku, hendaklah kalian menempatkan (jenazah)-ku di atas tempat tidurku, di sisi lubang kubur, di dalam rumahku ini (yakni rumah yang ditempati Aisyah RA). Setelah itu hendaklah kalian keluar dari rumah untuk sesaat, karena yang pertama kali menyalatkan aku adalah Allah SWT. Kemudian Dia akan mengijinkan para malaikat menyalatkan aku. Mahluk Allah yang pertama kali menyalarkan aku adalah Malaikat Jibril, kemudian Mikail, kemudian Israfil, disusul kemudian oleh malaikat Izrail dengan bala tentaranya yang sangat banyak, kemudian para malaikat seluruhnya. Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya. Kemudian kalian, hendaklah kalian masuk kepada (menyalatkan jenazah)-ku rombongan demi rombongan dan ucapkanlah salam sejahtera (shalawat) kepadaku. Janganlah kalian menyulitkanku dengan men-sucikan (terlalu mendewakan, bahkan menuhankan seperti kaum Nashrani kepada Isa AS), teriakan dan jeritan. Hendaklah yang memulai (menyalatkan) dari kalian adalah ahli baitku yang terdekat, lalu yang terdekat, lalu jamaah kaum laki-laki, jamaah kaum wanita dan jamaah anak-anak!!”
            Abu Bakar bertanya lagi, “Siapakah yang memasukkan engkau ke dalam kubur, wahai Rasulullah??”
            Nabi SAW bersabda, “Ahli baitku yang terdekat, lalu yang terdekat, lalu yang terdekat lagi, beserta para malaikat yang kalian tidak melihatnya tetapi mereka menyaksikan kalian. Berdirilah dan laksanakanlah daripadaku (dan sampaikanlah) kepada orang-orang sesudahku!!”
            Para sahabat yang hadir makin tenggelam dalam tangisan masing-masing mendengar wasiat beliau tersebut. Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, engkau adalah rasul bagi kami, pemimpin kami dan penguasa urusan kami, jika engkau telah pergi, kepada siapa lagi kami akan mengembalikan urusan kami!!”
            Nabi SAW bersabda, “Aku tinggalkan kalian pada jalan kebenaran dan jalan yang sangat terang. Aku tinggalkan untuk kalian dua nasehat, yang berbicara dan yang diam. Nasehat yang berbicara adalah Al Qur’an, dan nasehat yang diam adalah kematian. Apabila kalian menghadapi persoalan dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan sunnah-sunnah Rasul. Apabila hatimu terasa keras, maka lunakkan dan lembutkanlah dengan mengambil pelajaran dari kematian!!”

Hari Kewafatan Rasulullah SAW
            Senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah, pada subuh hari itu keadaan Nabi SAW tampak cukup membaik, tidak separah hari-hari sebelumnya. Ketika Abu Bakar bersiap mengimami, beliau menyibak tabir rumah Aisyah yang memang berhubungan langsung dengan bagian dalam Masjid Nabi SAW. Beliau sempat tersenyum melihat barisan (shaf-shaf) shalat yang tampak seperti pasukan yang begitu rapi dan kokoh di bawah pimpinan Abu Bakar. Mengetahui hal itu, Abu Bakar mundur ke shaf belakangnya karena mengira Nabi SAW akan hadir dan mengimami shalat subuh itu. Tetapi beliau mengisyaratkan agar ia meneruskan shalat tersebut dan beliau menurunkan lagi tabir rumah Aisyah.
            Riwayat lainnya menyebutkan, Nabi SAW sempat mengimami shalat subuh pada hari terakhir tersebut. Kisahnya, setelah mengumandangkan adzan subuh, Bilal datang ke rumah Nabi SAW seperti yang selalu dilakukannya sebelum beliau sakit parah dan digantikan oleh Abu Bakar dalam shalat jamaah. Mungkin masih terpengaruh dengan suasana ‘psikologis perpisahan’ pada hari sebelumnya sehingga Bilal melakukan hal itu, para jamaah lainnya juga mengalami hal yang sama, termasuk Abu Bakar sendiri. Bilal berdiri di pintu rumah Nabi SAW dan berkata, “Assalamu’alaika ya Rasulullah!!”
            Fathimah yang menjawab, “Wahai Bilal, Rasulullah masih sibuk dengan dirinya sendiri!!”
            Bilal kembali ke masjid dengan wajah tidak mengerti dan kebingungan. Beberapa saat kemudian, ketika shalat siap dilaksanakan, Bilal kembali berdiri di pintu rumah Nabi SAW dan berkata, “Assalamu’alaika ya Rasulullah!!”
            Kali ini Nabi SAW mendengar salam Bilal, setelah menjawab salamnya beliau bersabda, “Masuklah wahai Bilal, aku sedang sibuk dengan diriku sendiri (dengan sakitku ini), dan sakitku bertambah berat sehingga aku tidak bisa mengimami shalat subuh ini. Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami shalat bersama orang banyak!!”
            Bilal keluar rumah beliau dan masuk ke masjid dengan menangis, tangannya ditangkupkan di atas kepalanya sambil berkata penuh kesedihan, “Oh, betapa besarnya musibah ini, putuslah sudah harapan, patahlah sudah semangat. Alangkah baiknya jika ibuku tidak pernah melahirkan aku!!”
            Kemudian Bilal menyampaikan perintah Rasulullah SAW agar Abu Bakar mengimami shalat subuh. Abu Bakar sendiri sebenarnya masih ‘labil’ akibat pengaruh psikologis perpisahan pada hari sebelumnya. Ketika ia berdiri di depan, dan melihat mihrab Nabi SAW yang dalam keadaan kosong, ia menjerit sedih dan jatuh pingsan. Ketika siuman, ia segera berjalan keluar masjid dengan perasaan penuh kedukaan. Suasana menjadi heboh dan gaduh karena keadaan yang menimpa Abu Bakar.
            Suasana di dalam masjid itu didengar Rasulullah SAW dan beliau bersabda, “Wahai Fathimah, suara gaduh apakah ini? Apa yang terjadi??”
            Fathimah berkata, “Suara gaduh kaum muslimin di masjid karena engkau tidak hadir mengimami mereka subuh ini!!”
            Nabi SAW memanggil Ali dan Fadhl bin Abbas, dengan dipapah dan bersandar kepada keduanya Nabi SAW berjalan menuju masjid. Para jamaah menjadi tenang dan gembira ketika melihat kehadiran Nabi SAW di antara mereka, dan segera bersiap melaksanakan shalat. Tampaknya pada hari itu Allah memberikan ‘kekuatan ekstra’ sehingga beliau bisa mengimami kaum muslimin pada shalat terakhir beliau itu. Atau mungkin beliau melakukannya seperti dua hari sebelumnya pada shalat zhuhur, duduk di sisi kiri Abu Bakar, yang mengeraskan bacaan takbir-takbir beliau. Tidak ada kejelasan riwayat tentang hal ini, tetapi yang jelas saat itu kesehatan Nabi SAW tampak sangat membaik, bahkan menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.
            Anas bin Malik, seorang sahabat yang selama tahun sepuluh tahun mengabdikan hidupnya menjadi pelayan Rasulullah SAW hingga saat kewafatan beliau, berkata, “Saya tidak pernah melihat Rasulullah  begitu cerah dan berseri, seperti keadaan beliau pada saat subuh hari terakhir beliau itu!!”
            Memang demikianlah keadaannya, Nabi SAW tersenyum dan melambaikan tangan kepada mereka. Tampak cukup sehat dan segar. Kaum muslimin seolah-olah lupa bahwa pada hari sebelumnya beliau telah menyampaikan salam perpisahan. Usai shalat, beliau berdiri bersandar sambil bersabda, “Wahai kaum muslimin, kalian semua berada di bawah perlindungan Allah dan penjagaan-Nya. Bertakwalah kalian semua kepada Allah dan selalu taatlah kepada-Nya, karena aku akan segera meninggalkan dunia ini. Inilah hari pertamaku di akhirat dan hari terakhirku di dunia!!”
            Begitu jelasnya perkataan Nabi SAW, tetapi mereka ‘tenggelam’ dalam kegembiraan karena kondisi beliau yang membaik, sehingga tidak menangkap isyarat perpisahan yang begitu gamblang. Ketika matahari mulai terbit dan naik, keadaan Nabi SAW makin membaik saja. Karena itu hampir semua kaum lelaki meminta ijin meninggalkan beliau untuk menyelesaikan urusannya, dan beliau mengijinkannya. Termasuk di antaranya Abu Bakar yang pergi ke kabilah Bani Harits bin Kharijah di luar kota Madinah.
            Pagi hari itu juga, Usamah bin Zaid datang dari Jurf untuk berpamitan kepada Nabi SAW yang terakhir kali, sebelum pasukannya berangkat ke Palestina. Usamah sangat gembira melihat kondisi Nabi SAW yang begitu membaik, dan hal itu membangkitkan semangat juangnya. Nabi SAW mengusap wajah Usamah penuh kasih sayang dan bersabda, ”Berangkatlah engkau dengan berkat dari Allah!!”
            Setelah kepergian Usamah, kebanyakan kaum wanita saja yang ada di sekitar Rasulullah SAW, kecuali hanya beberapa orang, di antaranya pelayan beliau, Anas bin Malik dan Abdurrahman bin Abu Bakar, saudara Aisyah. Pada saat itulah datang seorang lelaki badui di pintu rumah Rasulullah SAW. Ia berkata, “Assalamu’alaikum wahai penghuni rumah kenabian dan pusat kerasulan, apakah saya boleh masuk?”
            Fathimah membuka pintu dan berkata, “Wahai hamba Allah, Rasulullah sedang sibuk dengan urusannya sendiri (yakni sakit keras)!!”
            Tetapi lelaki itu mengucap lagi salam dan permintaannya, ketika Fathimah mengulang jawabannya, lelaki itu mengulang untuk ketiga kalinya dengan memandang sekilas kepadanya, yang dengan pandangan itu, Fathimah menjadi gemetar, diliputi ketakutan yang amat sangat. Saat itu Nabi SAW berseru, “Wahai Fathimah, siapakah di depan pintu??”
            Fathimah meninggalkan lelaki badui itu dan menghampiri Rasulullah SAW, kemudian menceritakan bagaimana lelaki badui meminta ijin masuk, bahkan mengulanginya hingga tiga kali dan mengabaikan jawabannya. Bahkan ketika lelaki itu sekilas memandang dirinya, Fathimah menjadi sangat ketakutan, kulitnya serasa tergetar, persendian menjadi lunglai dan wajahnya berubah warna (pucat pasi).
            Nabi SAW tersenyum mendengar uraian Fathimah tersebut, dan bersabda pelan, “Wahai Fathimah, tahukah kamu, siapakah dia??”
            Ia berkata, “Tidak, wahai Rasulullah!!”
            Beliau bersabda lagi dengan pelan, bahkan cenderung berbisik, “Dialah yang memutuskan segala kelezatan duniawi, pemutus kesenangan syahwat, memisahkan di antara yang berkumpul, ‘merusak’ kehidupan rumah tangga dan mengosongkannya. Dan dialah yang ‘meramaikan’ kuburan!!”
            Fathimah langsung menangis mendengar penuturan beliau itu. Siapa lagi yang mempunyai ‘identitas’ seperti itu kecuali malaikat maut? Memang benar, Malaikat Izrail-lah yang datang dalam bentuk lelaki badui tersebut. Sebenarnya, dalam ‘tugasnya’ sehari-hari mencabut nyawa seseorang yang telah tiba waktunya, Izrail tidak perlu ‘berganti rupa’ segala dan meminta ijin. Tetapi dalam kasus mewafatkan Nabi SAW, Allah memberikan pesan khusus untuk meminta ijin, baik untuk masuk bertemu ataupun ketika akan mencabut nyawa beliau. Kalau Nabi SAW menolak dan tidak mengijinkan, maka ia harus kembali.
            Di sela-sela tangisannya, Fathimah berseru pelan, seolah mengeluh pada dirinya sendiri, “Oh celaka, penutup para Nabi kewafatannya telah di depan pintu, oh, betapa besar musibah ini, orang yang paling bertakwa segera pergi, berakhir sudah kehidupan penghulu orang-orang pilihan. Oh celaka dan kerugian yang sangat besar, karena wahyu dari langit akan terputus!!”
            Tiba-tiba Nabi SAW memanggil Fathimah mendekat lagi, dan bersabda setengah berbisik, “Wahai Fathimah, putriku tersayang, janganlah engkau menangis. Sesungguhnya aku berdoa kepada Allah agar engkau menjadi anggota keluargaku yang pertama kali menyusulku dan bertemu dengan aku di akhirat!!”
            Fathimah langsung tertawa gembira mendengar penjelasan beliau itu. Orang-orang yang hadir tampak keheranan dengan perubahan sikap Fathimah tersebut. Bisa dimaklumi karena mereka memang tidak mengetahui dengan jelas isi pembicaraan antara mereka berdua yang dilakukan setengah berbisik. Beberapa waktu berlalu barulah mereka mengerti, setelah Fathimah menjelaskan isi pembicaraannya dengan Rasulullah SAW.
            Setelah itu Nabi SAW memerintahkan semua yang hadir untuk keluar dari rumah beliau, karena kehadiran malaikat maut itu. Ketika Aisyah juga akan keluar, beliau menahannya dan ia duduk di pojokan rumah, agak menjauh dari beliau. Nabi SAW telah mengijinkan malaikat Izrail masuk, dan kali ini tidak merupa sebagai lelaki badui lagi sehingga Aisyah tidak bisa melihatnya, tetapi ia bisa mendengar suaranya, walau tidak terlalu jelas.
            Izrail masuk mengucap salam dan Nabi SAW bersabda, “Wa’alaikum salam, ya malaikat maut, apakah engkau datang sekedar berkunjung atau akan mencabut nyawaku??”
            Malaikat Izrail berkata, “Saya datang berkunjung dan juga mencabut ruhmu, jika engkau mengijinkan. Jika engkau tidak mengijinkan, Allah memerintahkan aku untuk kembali!!”
            Nabi SAW bersabda, “Wahai malaikat maut, dimanakah engkau tinggalkan Jibril??”
            Izrail berkata, “Ia berada di langit dunia, para malaikat lainnya sedang menghibur dan memuliakannya!!”
            Nabi SAW meminta Izrail untuk menunggu hingga kehadiran malaikat Jibril. Saat itu Nabi SAW memanggil Aisyah untuk mendekat dan beliau tidur pada pangkuannya. Beliau juga mengijinkan yang hadir untuk masuk ke rumah beliau jika menginginkan. Aisyah berkata, “Bukankah itu suara malaikat Jibril??”
            Beliau bersabda, “Bukan, itu adalah malaikat Izrail. Ia bermaksud mengambil nyawaku jika aku mengijinkan. Tetapi aku minta tangguh sebentar hingga malaikat Jibril datang…!!”
            Aisyah langsung tercekat tidak bisa bicara, begitu juga dengan ahlul bait lainnya yang hanya terdiam. Sunyi, tetapi bukan mencekam, terasa syahdu, haru dan agung, dan tidak bisa digambarkan lagi. Ada suasana kesedihan dan kedukaan yang menggantung. Bahkan sebagian ahlul bait keluar rumah karena tidak kuasa menahan kepedihan hatinya dan menangis sesenggukan di luar.
            Tidak berapa lama malaikat Jibril datang mengucap salam, dan Aisyah mengenal suaranya, Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyampaikan salam kepada engkau dan Dia berfirman, ‘Bagaimana kamu mendapatkan dirimu??’ Dan sesungguhnya Dia lebih mengerti tentang apa yang engkau dapatkan pada dirimu, tetapi Dia berkehendak menambahkan dan menyempurnakan kemuliaanmu atas mahluk lainnya, dan agar engkau menjadi sunnah (contoh) bagi umatmu!!”
            Nabi SAW bersabda, “Aku mendapatkan diriku dalam keadaan sakit!!”
            Jibril berkata, “Bergembiralah!! Sesungguhnya Allah menghendaki akan menyampaikan engkau, pada apa yang disediakan untuk engkau!!”
            Beliau berkata lagi, “Wahai Jibril, malaikat maut datang kepadaku untuk meminta ijin, dan memberitahukan suatu berita kepadaku!!”
            Jibril berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu rindu kepadamu. Bukankah Dia telah memberitahukan yang Dia kehendaki dengan engkau?? Demi Allah, tidaklah malaikat Izrail meminta ijin kepada seseorang (untuk mencabut nyawanya), kecuali dia meminta ijin kepadamu itu karena Allah ingin menyempurnakan kemuliaanmu. Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah rindu kepadamu!!”
            Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, gembirakanlah saya, kemuliaan apakah yang telah dipersiapkan di sisi Allah untukku??”
            Jibril berkata, “Sesungguhnya semua pintu langit telah dibuka, para malaikat telah berdiri bershaf-shaf menunggu kehadiran ruhmu di langit. Pintu-pintu surga telah terbuka, para bidadari semuanya telah berdandan mempercantik diri untuk menyambut kehadiran ruhmu!!”
            Beliau bersabda, “Alhamdulillah, wahai Jibril, gembirakan juga diriku, bagaimana kondisi umatku pada hari kiamat kelak??”
            Jibril berkata, “Aku sampaikan berita gembira untukmu, sesungguhnya Allah berfirman : Sungguh Aku haramkan surga bagi seluruh nabi-nabi dan rasul-rasul sampai kamu masuk ke dalamnya. Dan Aku haramkan surga bagi seluruh umat terdahulu, sampai umatmu masuk ke dalamnya!!”
            Nabi SAW berkata, “Sekarang hatiku menjadi lega dan hilanglah kegelisahanku!!”
            Beliau memandang berkeliling kepada mereka yang hadir, tampaknya kesehatan beliau mulai menurun lagi. Ketika pandangan beliau jatuh pada Fathimah, beliau menyatakan kalau dia adalah pemimpin wanita semesta alam pada hari kiamat kelak. Beliau mendekap Hasan dan Husein dan memberi nasehat kepada keduanya. Beliau juga memanggil ummahatul mukminin dan memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka.
            Setelah itu Nabi SAW beringsut, dari pangkuan menjadi bersandar ke dada Aisyah, suatu posisi yang paling disenangi Nabi SAW, ketika beliau sedang bersama dan bermanja-manja dengan istri tercinta beliau itu. Saat itu pandangan beliau jatuh pada Abdurrahman bin Abu Bakar yang sedang memegang sebuah siwak. Aisyah menangkap isyarat itu, dan berkata, “Bolehkah aku mengambil siwak itu untukmu??”
            Beliau mengiyakan dengan isyarat kepala. Abdurrahman menyerahkan siwak itu kepada Aisyah, yang kemudian menggosokkannya ke mulut Rasulullah SAW. Tampaknya hal itu menyakiti beliau karena siwak itu masih baru dan keras. Aisyah mengetahui hal itu dan berkata, “Apakah aku harus melembutkannya untukmu??”
            Lagi-lagi Nabi SAW mengiyakan dengan isyarat kepala beliau. Setelah melembutkannya, Aisyah kembali menggosok mulut (gigi) beliau dengan siwak tersebut dengan sangat pelannya, takut menyakiti lagi seperti sebelumnya. Beliau sempat mencelupkan tangan pada bejana berisi air dan mengusapkan ke wajah beliau, dan bersabda, “Laa ilaaha illallaah, sesungguhnya setiap kematian itu ada sakaratnya!!”
            Padahal saat itu malaikat maut belum benar-benar mencabut nyawa beliau, tetapi Nabi SAW telah mulai merasakan sakitnya. Setelah selesai memakaikan siwak, Nabi SAW memandang Aisyah dengan penuh kasih dan rasa terimakasih tak terhingga. Beliau juga sempat mencium Aisyah untuk terakhir kalinya, bahkan ludah Rasulullah SAW menyatu dengan ludahnya.
            Kemudian Nabi SAW memanggil malaikat maut dan mengijinkan melakukan tugasnya. Namun Izrail masih tetap menjaga ‘tata krama’-nya kepada Nabi SAW, setelah mendekat ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada kami??”
            Nabi SAW bersabda, “Susulkan aku kepada Tuhanku sekarang juga!!”
            Izrail berkata, “Baiklah, dari (permintaan) engkau, pada hari ini!! Ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu telah rindu kepadamu, dan Dia tidak pulang pergi dari seseorang, seperti pulang perginya dari engkau. Dan Dia tidak pernah mencegahku masuk kepada seseorang, kecuali dengan ijin ketika menemuimu. Tetapi saatmu tepat di hadapanmu!!”
            Malaikat Jibril menghampiri dan berkata, “Shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada engkau, wahai Muhammad, inilah akhir dari apa yang diturunkan ke bumi selama-lamanya. Wahyu telah dilipat dan dunia juga terlipat. Dan di bumi ini saya tidak mempunyai keperluan apa-apa selain kehadiranmu. Inilah keharusanku untuk berhenti (turun ke bumi untuk menyampaikan wahyu)!!”
            Malaikat maut mulai melaksanakan tugasnya, dengan sepelan dan selembut mungkin, tetapi tampak sekali Nabi SAW merasakan kesakitan tak terperikan. Nabi SAW berkata, “Wahai Jibril, alangkah beratnya menahan sakitnya kematian!!”
            Jibril memalingkan wajahnya, maka Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka melihat wajahku??”
            Jibril berkata, “Wahai Habibullah (Kekasih Allah), siapakah yang tahan (tega) hatinya melihat engkau dalam kondisi sakaratul maut begini??”
            Tidak lama kemudian Nabi SAW pingsan. Aisyah mendekap dada beliau dengan erat, tampak dahi beliau dipenuhi dengan keringat hingga menetes. Aisyah mengusap keringat tersebut dan bau harum menyebar dari keringat beliau itu. Ketika beliau siuman kembali, Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, diriku dan keluargaku sebagai tebusannya, ada apa dengan keringat yang keluar dari dahi engkau ini??”
            Beliau bersabda, “Hai Aisyah, sesungguhnya ruh seorang mukmin itu keluar (diiringi atau bersamaan) dengan keringat, sedangkan nyawa orang kafir itu keluar dari dua rahangnya seperti nyawa keledai!!”
            Dalam keadaan seperti itu, malaikat Izrail tampaknya tidak tega juga melihat ‘penderitaan’ Nabi SAW dalam merasakan sakitnya sakaratul maut. Ia sempat menawarkan untuk menunda, tetapi Nabi SAW mengarahkan tangan atau jari-jari beliau ke atas, begitu juga dengan pandangan mata beliau, dan bersabda, “Pertemukanlah aku dengan Teman Yang Maha Tinggi, Kekasih Yang Maha Tinggi (Ar Roofi’ul A’laa).”
            Dengan menguatkan dirinya, malaikat Izrail meneruskan tugasnya mencabut ruh Nabi SAW, selembut mungkin, se-perlahan mungkin, se-penuh kasih sayang yang mungkin, tetapi itu tidak berarti ‘membebaskan’ Nabi SAW dari rasa sakitnya sakaratul maut. Ketika ruh beliau sampai di dada, Anas bin Malik mendengar Nabi SAW berulang-ulang bersabda pelan, “Uushiikum bish-shoolati wa maa malakat aimaanukum!!”
            Artinya : “Aku berwasiat kepada kalian semua, jagalah shalat, dan jagalah amanat-amanat kalian semua!!”
            Pada akhir nafas beliau, Ali bin Abi Thalib mendekatkan diri pada bibir Rasulullah SAW dan ia mendengar beliau berkata dua kali, “Ummatii, ummatii…!!”
            Pada riwayat lain disebutkan, di akhir nafas beliau, beliau bersabda beberapa kali, “Ash-shoolah, ash-shoolah, an-nisaa’, an-nisaa’, ummatii, ummatii….!!”
            Setelah itu Nabi SAW tidak bergerak lagi, ruh beliau dibawa Malaikat Maut dan Malaikat Jibril terbang ke hadirat Allah SWT, dengan diiringi para malaikat yang bertasbih, bertahmid, bertahlil dan bertakbir mengiring perjalanan beliau menuju  Ar-Roofi’ul A’laa, Allah SWT. Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun!!!
            Saat itu tepat pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal 11 Hijriah, di waktu dhuha yang telah meninggi (panas), bertepatan dengan tanggal 3 Juni 632 Masehi. Beliau wafat dalam usia 63 tahun (dalam hitungan hijriah atau qomariah).

Setelah Kewafatan Rasulullah SAW
            Kabar wafatnya Rasulullah SAW segera menyebar luas ke antero Madinah. Ummu Aiman mengirim utusan untuk menyusul pasukan yang dipimpin putranya, Usamah bin Zaid, mengabarkan kewafatan Nabi SAW, sekaligus meminta mereka segera kembali ke Madinah. Para sahabat segera berkumpul kembali di masjid Nabi SAW dalam keadaan kaget dan penuh sesal. Pada subuh hari itu mereka menyaksikan keadaan Nabi SAW yang tampak bugar, karena itu mereka tidak pernah menyangka beliau akan berpulang ke rahmatullah pada hari itu juga. Kalaulah mereka tahu, tentulah mereka tidak akan pernah meninggalkan beliau.
            Reaksi para sahabat umumnya diliputi oleh kesedihan dan kepedihan hati yang sangat dalam, serta perasaan tidak percaya bahwa Nabi SAW telah wafat. Seolah-olah mereka hanya sedang mimpi saja. Aisyah sendiri, setelah melepaskan jenazah beliau dari pelukannya dan meletakkan di tempat tidur serta menutupinya dengan kain, ia menepuk-nepuk pipinya sendiri beberapa kali, seolah-olah meyakinkan kalau dirinya tidak sedang bermimpi. Tetapi ada juga yang berdiam diri seperti Utsman, atau menahan diri untuk berbicara seperti Ali, walau ia mengetahui secara pasti kalau beliau telah wafat. Seolah-olah mereka mengalami pukulan psikologis yang begitu dahsyat sehingga tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa.
            Reaksi yang paling ekstrim adalah Umar bin Khaththab, ia menolak kenyataan bahwa beliau telah berpulang ke rahmatullah. Dengan mengacungkan pedangnya, ia berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah meninggal, maka akan aku pukul dengan pedangku ini. Muhammad tidaklah mati, ia hanya sementara pergi sementara kepada Tuhannya, sebagaimana Musa bin Imran menghilang dari kaumnya selama 40 hari, kemudian ia kembali setelah orang-orang menyatakan kalau ia telah mati. Demi Allah, Rasulullah akan kembali sebagaimana halnya Musa kembali!!”
            Abu Bakar yang sedang berada di Kabilah Bani Harits bin Kharijah di luar Kota Madinah, segera kembali ke masjid setelah memperoleh pemberitahuan bahwa Nabi SAW telah wafat. Begitu datang, ia langsung menerobos kerumunan massa tanpa berkata apapun dan masuk ke rumah Rasulullah SAW. Ia membuka kain penutup dan mencium wajah Nabi SAW yang mulia itu dengan tangisan tersedu-sedu. Di antara isak tangisnya, ia berkata, “Demi ayah bundaku, wahai Rasulullah, alangkah indahnya hidupmu, dan alangkah indahnya kewafatanmu. Demi Allah, sekali-kali tidak akan berkumpul dua kematian atas engkau. Kematian yang telah ditentukan Allah telah engkau temui, dan setelah itu tidak ada kematian lagi untukmu selama-lamanya!!”
            Setelah memasang kembali kain penutup jenazah beliau, ia keluar menghadapi orang banyak. Dengan suara yang tegas berwibawa walau tidak keras, ia berbicara seolah-olah sedang berkhutbah. Orang-orang-pun mengalihkan perhatiannya kepada Abu Bakar, termasuk juga Umar. Setelah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah dan juga shalawat kepada Rasulullah SAW, ia menentramkan suasana hati kaum muslimin yang sedang berduka. Antara lain ia berkata, “…Wahai manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati. Tetapi barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup, dan tidak akan mati selama-lamanya…”
            Abu Bakar juga mengutip beberapa ayat Al Qur’an, “Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati juga (QS az Zumar 30). Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS Ali Imran 144)”
            Mendengar rangkaian ‘khutbah’ Abu Bakar itu, kepanikan dan kekacauan itu hilang, termasuk yang dirasakan Umar, digantikan dengan perasaan sedih yang tidak terperikan. Mereka menangis tersedu-sedu, termasuk Abu Bakar sendiri.
            Walau sebelumnya Nabi SAW telah menunjuk siapa-siapa yang nantinya akan mengurus jenazah beliau setelah kewafatan, tetapi pada hari senin itu mereka belum berbuat apa-apa. Kesedihan yang begitu dalam dan beban psikologis yang begitu mengguncang jiwa membuat mereka tidak cukup tegar untuk memandang dan merawat jenazah Nabi SAW. Apalagi sempat terjadi ‘tarik-ukur’ antara kaum Muhajirin dan Anshar, tentang siapa yang berhak menjadi khalifah (pengganti) Nabi SAW, sampai akhirnya mereka sepakat untuk memba’iat Abu Bakar.
            Barulah pada hari selasa tanggal 13 Rabi’ul Awwal 11 H mereka siap untuk merawat jenazah Nabi SAW. Pada awalnya Ali bin Abi Thalib dan ahlul bait lainnya merasa kebingungan, bagaimana mereka akan memandikan Nabi SAW? Apakah mereka harus menelanjangi seperti kalau merawat jenazah pada umumnya, tetapi rasanya sangat tidak pantas jika menampakkan aurat Rasulullah SAW!! Dalam kebingungan itu, terdengar suatu hatif (suara tanpa wujud) yang memerintahkan agar mereka memandikan beliau, sekaligus dengan baju yang beliau pakai saat meninggal, tanpa membukanya.
            Riwayat lain menyebutkan, dalam kebingungan itu tiba-tiba mereka diserang dengan rasa mengantuk dan terlena sesaat, yang dalam keadaan itu, mereka mendengar hatif tentang bagaimana harus memandikan jenazah Rasulullah SAW, yakni sekalian dengan baju beliau tanpa membukanya.
            Dalam riwayat yang berbeda lagi disebutkan, pada saat kebingungan itu tiba-tiba terdengar suara dari pojok rumah tanpa terlihat wujudnya, “Janganlah engkau memandikan jenazah Muhammad, sesungguhnya dia dalam keadaan suci dan selalu disucikan, jadi tidak perlu engkau memandikannya!!”
            Ali bertanya keheranan, “Siapakah engkau? Sesungguhnya Rasulullah telah berwasiat kepada kami untuk memandikan jenazah beliau!!”
            Belum sempat ada jawaban, terdengar suara lainnya dari pojok yang berbeda, juga tanpa diketahui wujudnya, “Wahai Ali, mandikanlah Rasulullah dengan baju yang beliau pakai tanpa melepasnya. Sesungguhnya suara yang tadi berasal dari iblis terlaknat, ia menaruh kedengkian kepada beliau dan menginginkan agar Muhammad dikubur tanpa dimandikan!!”
            Ali berkata, “Semoga Allah membalas engkau dengan kebaikan, wahai hamba Allah, karena telah memberitahukan kehadiran Iblis. Siapakah sebenarnya dirimu??”
            Terdengar suara menjawab, “Aku adalah Khidir, aku sengaja datang untuk menghadiri jenazah Rasulullah!!”
            Kemudian Ali mulai memandikan jenazah Nabi SAW dengan dibantu Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid sesuai dengan wasiat Nabi SAW. Malaikat Jibril juga datang, tentunya tanpa diketahui oleh siapapun, dengan membawa wangi-wangian dari surga, termasuk wangi cendana. Riwayat lain menyebutkan, beberapa kerabat beliau ikut membantu memandikan, seperti Abbas, paman beliau, Qatsam bin Abbas, Syaqran, salah satu pembantu Rasulullah SAW dan Aus bin Khaily.
            Setelah dimandikan, beliau dikafani dengan tiga lembar kain sesuai dengan wasiat beliau, pakaian yang beliau pakai itu hingga wafat, dan dua kain dari Yaman dan Mesir. Sahabat Abu Thalhah menggali lubang kubur di dalam rumah Aisyah tersebut, kemudian mereka menempatkan jenazah beliau di salah satu sisinya. Seperti wasiat Nabi SAW sebelumnya, mereka meninggalkan jenazah beliau sendirian beberapa waktu lamanya.
            Setelah itu kelompok demi kelompok, dalam riwayat lain disebutkan masing-masing sepuluh orang, masuk ke rumah untuk menyalatkan beliau. Tidak ada yang menjadi imam, masing-masing shalat munfarid (sendirian), tidak berjamaah. Giliran pertama adalah para kerabat beliau, disusul kaum Muhajirin kemudian kaum Anshar dan baru kaum muslimin lainnya. Rombongan pertama adalah kaum lelaki, disusul kaum wanita, dan terakhir adalah kelompok anak-anak.
            Semua itu berlangsung sepanjang hari selasa sehingga malam harinya (masuk hari Rabu). Setelah semua selesai menyalatkan beliau, Rasulullah SAW dimakamkan pada tengah malam pada malam Rabu tersebut.

Rabu, 01 Agustus 2012

Ketika Nabi SAW Mengijinkan Diqhisash

           Beberapa hari, sebagian riwayat menyebutkan lima hari, sebelum Nabi SAW wafat, saat itu sakit beliau mulai parah, beliau memerintahkan Bilal untuk mengumpulkan para sahabat Muhajirin dan Anshar di Masjid. Beliau naik mimbar, setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau berkhutbah yang tidak terlalu panjang (lama) tetapi cukup padat, menyentuh hati dan membuat para sahabat banyak yang menangis. Antara lain beliau bersabda sebagai berikut :
            “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku seorang Nabi bagimu, penasehat dan penyeru kepada Allah atas ijin-Nya. Aku layaknya seorang saudara yang berbelas kasih kepada kamu, sekaligus seorang ayah yang menyayangi. Barang siapa yang merasa mempunyai hak untuk membalas penganiayaan padaku, hendaklah ia berdiri dan membalas (meng-qishash) kepadaku sekarang ini, sebelum diberlakukan balasan (qishash) pada hari kiamat kelak….!!”
            Tiada seorang-pun yang berdiri, Nabi SAW mengulangi ucapan beliau dua sampai tiga kali, tetapi para sahabat masih tenggelam dalam keharuan dan ‘ke-terpesona-an’ akan ketinggian akhlak beliau tersebut. Pemimpin mana yang berani bersikap seperti itu? Dalam keadaan sakit dan mungkin mendekati kematiannya, membolehkan rakyat dan pengikutnya untuk melakukan hisab (tuntutan balas) dan meminta haknya? Sebagian riwayat menyebutkan, ada seseorang yang berdiri dan mengatakan kalau Nabi SAW mempunyai tanggungan 3 dirham kepadanya, maka Nabi SAW memerintahkan Fadhl bin Abbas untuk membayarkan ‘hutang’ tersebut.
            Para sahabat masih duduk diam dalam kekhuyu’annya karena pengaruh khutbah Nabi SAW, tiba-tiba berdirilah seorang sahabat, Ukasyah bin Mihksan dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu, kalau tidak karena engkau mengumumkan hal itu berkali-kali, tentulah aku enggan untuk menyampaikan sesuatu hal kepadamu!!”
            Para sahabat tampak terhenyak kaget dan memandang marah kepada Ukasyah, tetapi Nabi SAW bersabda, “Katakanlah wahai Ukasyah!!”
            Kemudian Ukasyah menceritakan bahwa dalam perang Badar, ketika sedang bergerak menyerang musuh, untanya berlari sangat cepat sehingga mendahului unta Rasulullah SAW. Karena itu ia berhenti dan turun mendekati beliau, tetapi saat itu beliau mengayun tongkat/cambuk yang akhirnya mengenai tubuhnya. Ukasyah berkata, “Saya tidak tahu, ya Rasulullah, apakah engkau sengaja memukul saya, atau engkau akan memukul untamu dan yang akhirnya mengenai saya!!”
            Nabi SAW bersabda, “A’udzubillah, wahai Ukasyah, kalau Rasulullah memukul kamu dengan sengaja!!”
            Maksudnya, Nabi SAW tidak sengaja ketika memukul tersebut bahkan beliau tidak mengetahuinya. Beliau berkata kepada Bilal, “Pergilah ke rumah Fathimah, ambillah tongkat/cambukku dan bawalah kemari!!”
            Bilal mendatangi rumah Fathimah dan menyampaikan maksudnya, Fathimah berkata, “Wahai Bilal, apa yang akan diperbuat ayahku dengan tongkatnya??”
            Bilal berkata, “Beliau mempersilahkan dirinya untuk diqishash dengan tongkatnya!!”
            Sambil menyerahkan tongkat beliau tersebut, Fathimah berkata, “Siapakah yang sampai hati hendak mengqishash Rasulullah??”
            Bilal mengambil tongkat tersebut tanpa memberikan jawaban kepada Fathimah, mungkin takut terjadi salah persepsi. Setelah menerimanya, Nabi SAW memberikan tongkat itu kepada Ukasyah dan mempersilahkannya untuk memukul beliau. Tiba-tiba Abu Bakar dan Umar berdiri di depan Ukasyah dan berkata, “Wahai Ukasyah, laksanakan qishash itu kepada kami dan janganlah meng-qishash Rasulullah!!”
            Nabi SAW bersabda, “Duduklah kalian, sungguh Allah telah mengetahui kedudukan dan niat kalian berdua!!”
            Mereka kembali duduk, tetapi ganti Ali bin Abi Thalib yang berdiri menghadang, sambil berkata, “Wahai Ukasyah, hidupku selalu aku pergunakan untuk membentengi Rasulullah, hatiku tidak akan tahan jika engkau sampai membalas pukulan beliau. Inilah punggung dan perutku, silahkan engkau memilih dan pukullah sesukamu!!”
            Tetapi Nabi SAW bersabda, “Wahai Ali, sungguh Allah telah mengetahui kedudukanmu dan niatmu, duduklah!!”
            Ali kembali duduk, tetapi kini dua putranya, Hasan dan Husein berdiri di depan Ukasyah dan berkata, “Wahai Ukasyah, bukankah engkau tahu bahwa kami adalah cucu-cucu Rasulullah, jika engkau memukul kami, sama artinya engkau telah meng-qishash Rasulullah. Laksanakanlah qishash itu kepada kami!!”
            Nabi SAW bersabda, “Duduklah kalian berdua, wahai penghibur hatiku!!”
            Dan beliau bersabda kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah, segera pukullah aku, jika memang aku pernah memukulmu dengan tongkat itu!!”
            Tetapi Ukasyah berkata, “Wahai Rasulullah, saat engkau memukulku itu, bajuku tengah tersingkap dan langsung mengenai kulitku, karena itu hendaklah engkau singkapkan bajumu!!”
            Para sahabat langsung menjerit, antara sedih dan marah kepada Ukasyah, tetapi beliau dengan tenangnya menyingkapkan baju beliau pada bagian punggung atas seperti permintaannya. Seketika itu Ukasyah melemparkan tongkat itu dan menempelkan dirinya pada tubuh Nabi SAW yang terbuka dan menciumi punggung beliau. Dengan berlinangan air mata, yang tampaknya ia sangat bahagia, Ukasyah berkata, “Wahai Rasulullah, aku persembahkan jiwaku sebagai tebusan bagimu!! Siapakah kiranya yang akan tega meng-qishash engkau. Aku melakukan ini hanyalah terdorong oleh keinginan kuat, agar kulitku yang hina ini bisa bersentuhan dengan kulitmu yang mulia. Semoga saja dengan ini Allah akan menjagaku dari neraka berkat kemuliaan engkau!!”
            Dengan tersenyum, Nabi SAW bersabda, “Perhatikanlah, siapa saja yang ingin melihat ahli surga, hendaklah melihat Ukasyah ini!!”
            Dalam riwayat lainnya disebutkan, Nabi SAW sengaja membuka bagian punggung atas dan menunjukkan cap kenabian beliau, karena sebenarnya beliau telah mengetahui maksud tersembunyi Ukasyah tersebut. Maka Ukasyah memeluk beliau dan mencium cap kenabian itu sambil menangis penuh haru dan bahagia, dan mengucapkan perkataan di atas. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat kelak, ada 70.000 orang dari umatku yang akan masuk surga tanpa hisab!!”
            Ukasyah melepaskan pelukannya dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah saya termasuk di dalamnya!!”
            Nabi SAW bersabda, “Engkau termasuk di antaranya, wahai Ukasyah!!”
            Beberapa sahabat lainnya segera bangkit meminta didoakan juga seperti Ukasyah juga, tetapi Nabi SAW bersabda, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah!!”
            Walau kecewa, tetapi para sahabat yang berkumpul itu segera menghampiri Ukasyah untuk memberikan selamat, mereka mencium di antara kedua mata Ukasyah (cara penghormatan dan penghargaan orang-orang Arab saat itu), sambil berkata, “Sungguh beruntunglah kamu, memperoleh derajad yang tinggi di surga bersama Rasulullah!!”

Beberapa Tanda akan Wafatnya Nabi SAW

Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW, pada setiap bulan Ramadhan beliau akan selalu memperbanyak amal-amal ibadah. Bahkan pada sepuluh hari terakhir, beliau tidak ‘mengunjungi’ (menggilir) sembilan orang istri-istri beliau, tetapi menghabiskan waktu dengan i’tikaf di masjid. Di saat seperti itu biasanya malaikat Jibril ‘menemani’ beliau melakukan tadarus Al Qur’an, sekaligus menata ulang lagi urutan-urutan Al Qur’an setelah ada ‘penambahan’ wahyu-wahyu yang turun dalam tahun yang bersangkutan.
Pada bulan Ramadhan tahun 10 hijriah, ternyata Nabi SAW lebih awal dan lebih lama melaksanakan i’tikaf di masjid, yakni selama duapuluh hari. Malaikat Jibril juga lebih sering datang dan menemani beliau tadarus Al Qur’an. Kalau pada ramadhan-ramadhan sebelumnya Jibril hanya sekali saja ‘mengetes’ hafalan Al Qur’an Nabi SAW, kali ini sampai dua kali. Seolah-olah mereka telah mengetahui bahwa saat itu adalah kesempatan terakhir untuk mengisi indahnya waktu ramadhan di bumi dengan membaca Al Qur’an, dan saat terakhir juga untuk menetapkan urutan-urutan Al Qur’an, walau mungkin masih ada beberapa ayat atau wahyu lagi yang akan turun.
Pada saat terjadinya Penaklukan Kota Makkah (Fathul Makkah) yang terjadi pada tahun 8 hijriah, pasukan muslim hanya berjumlah sekitar sepuluh ribu orang. Setelah itu berbagai kabilah di Jazirah Arabia berduyun-duyun memeluk Islam. Pada tahun 10 hijriah Nabi SAW mengumumkan akan melakukan ibadah haji (yakni Haji Wada’), maka hampir seluruh umat Islam bermaksud untuk mengikuti perjalanan haji beliau. Tidak kurang dari 124.000 orang, atau dalam riwayat lain 144.000 orang yang mengikuti ibadah haji tersebut, dan sebagian besarnya berkumpul dahulu di Madinah. Hanya dalam dua tahun, ternyata Islam mengalami perkembangan yang sungguh luar biasa, bertambah hingga duabelas atau empatbelas kalinya.
Nabi SAW dan rombongan besar beliau itu meninggalkan Madinah, empat atau lima hari sebelum berakhirnya Bulan Dzulqa’idah tahun 10 H, dan setelah sekitar delapan hari perjalanan, mereka sampai di Makkah pada tanggal 4 Dzulhijjah 10 H. Saat wuquf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, beliau minta didatangkan unta beliau Al Qashwa, dan beliau menungganginya hingga di tengah padang Arafah. Dari tempat itu beliau memberikan khutbah secara umum kepada umat Islam, yang kemudian dikenal dengan nama ‘Khutbah Arafah’. Yang mengulang dengan suara keras khutbah beliau agar bisa didengar oleh ratusan ribu kaum muslimin itu adalah Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf.
Setelah melantunkan pujian dan sanjungan kepada Allah SWT, Rasulullah SAW membuka khutbah dengan perkataan, “Wahai semua manusia, dengarkanlah perkataanku!! Aku tidak tahu pasti, bisa jadi aku tidak akan bisa bertemu dengan kalian lagi setelah tahun ini, dalam keadaan yang seperti ini….!!”
Kemudian beliau memberikan berbagai macam nasehat dan bimbingan kepada mereka. Di sela-sela nasehat tersebut, beberapa kali beliau bersabda, “….bukankah aku telah bertabligh (menyampaikan)??”
Hampir mereka semua berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh, melaksanakan kewajiban dan memberi nasehat!!”
Mendengar itu, sambil mengacungkan jari ke atas, Nabi SAW bersabda sampai tiga kali, “Ya Allah, persaksikanlah!!”
Ketika telah cukup banyak nasehat yang beliau sampaikan, tiba-tiba beliau terdiam, suatu tanda bahwa wahyu tengah turun kepada beliau. Keadaan itu tampaknya sangat memberatkan beliau sehingga beliau bersandar pada unta beliau (pada punuknya), bahkan al Qashwa sendiri tampak merasa keberatan sehingga terduduk, menempelkan perutnya di tanah.
Setelah selesai menerima wahyu tersebut, Nabi SAW langsung membacakannya kepada seluruh kaum muslimin di Arafah, yakni bagian dari QS Al Maidah ayat 3, “Al-yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa rodhiitu lakumul islaama diinaa.”
Artinya adalah : Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu.
Wahyu tersebut adalah ayat terakhir dalam masalah hukum atau syariat. Artinya setelah itu tidak ada lagi wahyu yang turun berkaitan dengan perintah (kefardhuan) dan larangan kepada kaum muslimin. Hari Arafah itu adalah 81 hari sebelum wafatnya Rasulullah SAW. Menurut beberapa ulama, beberapa wahyu masih turun lagi, misalnya QS Surat an Nashr yang turun pada pertengahan hari Tasyriq saat haji itu, QS An Nisa ayat 176 turun 50 hari sebelum wafat, QS At Taubah ayat 128 turun 35 hari sebelum wafat, dan yang terakhir QS Al Baqarah ayat 281 turun 21 hari sebelum kewafatan Nabi SAW.  
Para sahabat yang berkumpul sangat gembira mendengar turunnya wahyu tersebut, mereka saling berkata kepada sesamanya, “Agama kita telah sempurna!!”
Tetapi reaksi Umar bin Khaththab sangat berbeda, kalau yang lainnya berseru gembira, Umar justru menangis. Ketika ada yang menanyakan sebabnya, Umar berkata, “Sesungguhnya setelah ada kesempurnaan itu hanyalah ada kekurangan!!”
Berbeda lagi dengan reaksi Abu Bakar, wajahnya langsung pucat pasi setelah Nabi SAW menyampaikan wahyu tersebut. Ia segera pulang ke rumahnya dan menangis tersedu-sedu di sana. Beberapa orang sahabat datang ke rumah Abu Bakar, dan salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau menangis justru pada saat yang menggembirakan ini, bukankah Allah telah menyempurnakan agama kita?”
Abu Bakar berkata, “Wahai para sahabat, kalian semua tidak menyadari musibah yang akan menimpa kalian ini. Bukankah kalian telah mengetahui, jika suatu perkara telah sempurna, maka akan terlihat kekurangannya. Ayat ini mengisyaratkan akan perpisahan kita dengan Rasulullah, tentang keberadaan Hasan dan Husain menjadi yatim (Dua orang cucu beliau ini memang lebih banyak dinisbahkan kepada Nabi SAW daripada kepada Ali bin Abi Thalib, ayahnya), tentang istri-istri beliau yang menjadi janda….!!”
Seketika mereka semua menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan Abu Bakar, bahkan ada yang menjerit penuh kesedihan. Keadaan ini mengundang perhatian beberapa sahabat lainnya dan melaporkannya kepada Nabi SAW, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan para sahabat. Mereka berkumpul di rumah Abu Bakar dan kami mendengar tangisan dan jerit kesedihan mereka!!”
Nabi SAW segera pergi ke rumah Abu Bakar diikuti beberapa sahabat lainnya, sampai di sana beliau langsung bersabda, “Apa yang membuat kamu sekalian menangis??”
Ali bin Abi Thalib yang juga berada di dalam rumah, berkata, “Abu Bakar menjelaskan bahwa dalam ayat yang baru saja engkau sampaikan itu, ia mencium ‘aroma’ akan kewafatan engkau, ya Rasulullah. Apakah memang benar seperti itu??”
Nabi SAW tersenyum, senyum yang sejuk dan menenangkan, tetapi beliau tidak mau menutup-nutupinya, beliau bersabda, “Benar apa yang dikatakan Abu Bakar, sungguh telah dekat saatnya kepergianku dari sisi kalian semua, dan perpisahanku dengan kalian semua!!”
Seketika pecahlah tangis mereka semua, termasuk sahabat yang baru datang mengiringi Nabi SAW. Akan halnya Abu Bakar, walaupun ia yang telah menduganya, tetapi begitu ucapan itu langsung keluar dari mulut Rasulullah SAW sendiri, ia tidak mampu menahan kepedihan hatinya dan seketika pingsan.
Dalam setiap pelaksanaan rangkaian ibadah haji itu, seperti thawaf, sa’i, melempar jumrah dan lain-lainnya, sering sekali Nabi SAW bersabda, “Pelajarilah manasik kalian dariku ini, karena boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini, dalam keadaan seperti ini!!”
Turunnya surat An Nashr, yakni : Idzaa jaa-a nashrullahi wal fatkhu, wa ro-aitan naasa yadh-khuluuna fii diinillaahi afwajan, fasabbikh bi khamdi robbika wastaghfir-hu innahuu kaana tawwaban, setelah terjadinya Fathul Makkah, atau menurut riwayat lain turun pada pertengahan hari Tasyriq pada saat haji Wada’ tersebut, menurut sahabat Abdullah bin Abbas merupakan isyarat yang sangat gamblang akan berpulangnya Rasulullah SAW ke hadirat Allah SWT.
Pada tahun 10 hijriah itu juga, Nabi SAW mengirimkan sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada penduduknya, yang kebanyakan baru memeluk Islam setelah terjadinya Fatkhul Makkah. Sekaligus ia ditugaskan sebagai pengumpul zakat mereka. Setelah beberapa perbincangan untuk ‘mengetes’ pengetahuan Mu’adz, kemudian beliau bersabda, “Wahai Mu’adz, boleh jadi engkau tidak akan bertemu lagi dengan aku sesudah tahun ini, dan boleh jadi engkau hanya akan lewat di masjidku ini, dan juga kuburanku!!”
            Mu’adz menangis sejadi-jadinya. Kalau saja boleh memilih, tentulah ia ingin tetap tinggal di Madinah untuk mengisi waktu-waktu yang tersisa selalu bersama Rasulullah SAW. Tetapi tugas telah ditetapkan  dan ia tidak mungkin menolak perintah beliau. Setidaknya dengan sabda beliau itu, Nabi SAW telah berpamitan kepadanya selagi ada kesempatan bertemu. Dan memang Mu’adz tenggelam dalam tugas yang diberikan Nabi SAW di Yaman saat beliau wafat, dan baru bisa menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Madinah saat Abu Bakar telah menjadi khalifah. Sungguh benar sekali yang diramalkan Nabi SAW, ia hanya bisa menjumpai masjid dan kuburan Nabi SAW.