Jumat, 27 Juli 2012

Ketika Rasulullah SAW Menangis Menyendiri

Suatu ketika para sahabat mendapati Nabi SAW dalam keadaan yang tidak biasanya. Selama beberapa hari beliau tampak bersedih dan menyendiri saja di dalam rumah, tidak keluar kecuali saat shalat berjamaah saja, itupun beliau tidak bercakap-cakap dengan siapapun. Ketika shalat itu Nabi SAW sangat merendahkan diri kepada Allah dan menangis, seolah-olah ada beban begitu berat yang beliau rasakan. Setelah itu pulang dan menyendiri, lagi-lagi sambil menangis. Para sahabat jadi ikut bersedih tanpa tahu apa yang sedang mengganggu pikiran beliau.
Pada hari ketiga, Abu Bakar datang ke rumah Nabi SAW dan berkata, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah, apakah saya bisa bertemu Rasulullah SAW??”
Tidak ada jawaban, Nabi SAW hanya diam sehingga (sahabat) pembantu beliau yang menjaga pintu juga tidak berani menjawab dan tidak membukakan pintu. Setelah tiga kali salam tidak ada jawaban, Abu Bakar berlalu pulang sambil menangis tersedu-sedu.
Tidak berapa lama datang Umar bin Khaththab dan berdiri di pintu rumah Nabi SAW. Ia berkata, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah, apakah saya bisa bertemu Rasulullah SAW??”
Seperti yang terjadi pada Abu Bakar, tidak ada jawaban, sehingga Umar juga pulang dengan menangis tersedu-sedu.
Kemudian datanglah sahabat Salman al Farisi, ia juga berdiri di depan pintu mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah, apakah saya bisa bertemu junjunganku, Rasulullah SAW??”
Seperti pada Abu Bakar dan Umar, tidak ada jawaban sehingga Salman menangis sedih beberapa lamanya, bahkan hingga ia jatuh tanpa menyadarinya. Ia bangkit lagi dan berjalan menuju rumah Fathimah, Salman berkata, “Assalaamu’alaika, wahai putri Rasulullah!!”
Tampaknya sang suami, Ali bin Thalib sedang tidak ada di rumah sehingga Fathimah hanya menjawab salamnya tetapi tidak membukakan pintu. Karena itu Salman berkata lagi, “Wahai putri Rasulullah, sesungguhnya Rasulullah dalam beberapa hari ini sedang menyendiri. Beliau tidak keluar rumah kecuali untuk kepentingan shalat, dan itupun beliau tidak berkata-kata sedikitpun. Beliau juga tidak mengijinkan siapa saja untuk masuk ke rumah beliau!!”
Mendengar pemberitahuan Salman ini, Fathimah segera mengenakan pakaian panjang dan pergi ke rumah Rasulullah SAW. Di depan pintu ia berkata, “Assalaamu’alaika ya Rasulullah, saya adalah Fathimah!!”
Saat itu Nabi SAW sedang sujud dan menangis. Beliau bangkit kemudian bersabda, “Ada apa Fathimah? Aku sedang menyendiri. Bukakan pintu untuk Fathimah!!”
Pintu dibukakan dan Fathimah masuk, seketika itu ia menangis tersedu-sedu melihat keadaan Nabi SAW. Beliau tampak sangat lemah dan pucat pasi, wajahnya sembab karena terlalu sedih dan banyak menangis. Fathimah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang sedang menimpa ayah??”
Nabi SAW bersabda, “Wahai Fathimah, tiga hari yang lalu Jibril datang dan menceritakan tentang neraka….!!”
Rasulullah SAW menceritakan bagaimana Malaikat Jibril menggambarkan keadaan neraka (Uraian lengkapnya, lihat Laman Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman, dengan judul “Malaikat Jibril Menggambarkan Neraka”), sehingga mereka berdua menangis penuh ketakutan, takut akan ‘makar’ Allah. Setelah tangisan mereka agak reda, Jibril menjelaskan lagi bahwa neraka itu mempunyai tujuh pintu, yang masing-masing pintu seluas jarak 70 tahun perjalanan. Pintu yang di bawah lebih panas 70 kali daripada pintu di atasnya.
Nabi SAW bertanya, “Siapakah penghuni pintu-pintu itu?”
Jibril menjelaskan bahwa pintu yang pertama dan yang terbawah sekaligus yang paling panas bernama Hawiyah. Penghuninya adalah kaum munafik, kaum dari Nabi Isa AS yang ingkar setelah diturunkannya hidangan dari langit untuk mereka, dan untuk Fir’aun dan para pengikutnya. Pintu kedua yang di atasnya bernama Jahim, dihuni oleh orang-orang yang musyrik.
Pintu ke tiga adalah Saqar, dihuni oleh orang-orang Shabi’in. Pintu ke empat bernama Ladha, dihuni oleh Iblis dan para pengikutnya, termasuk kaum Majusi. Pintu ke lima bernama Huthamah, dihuni oleh orang-orang Yahudi. Pintu ke enam bernama Sa’ir, dihuni oleh orang-orang Nashrani….
Sampai di situ tiba-tiba Malaikat Jibril terdiam, sementara Nabi SAW menunggu penjelasan lebih lanjut. Merasa aneh dengan diamnya Jibril, Nabi SAW bersabda, “Mengapa engkau memberitahukan penghuni pintu neraka yang ke tujuh??”
Malaikat Jibril tampak segan untuk berbicara, tetapi pandangan mata Nabi SAW tampak ‘memaksa’ untuk mengetahuinya, sehingga Jibril berkata, “Pintu ke tujuh dihuni umat-umatmu yang melakukan dosa besar, dan tidak bertaubat hingga ia meninggal!!”
Mendengar perkataan Jibril yang terakhir, seketika wajah Nabi SAW pucat pasi dan beliau pingsan. Jibril meletakkan kepala beliau di pangkuannya. Setelah sadar, Nabi SAW bersabda, “Betapa besar cobaanku, betapa sedihnya hatiku, jadi ada umatku sebagai penghuni neraka?”
Jibril berkata, “Benar, umatmu yang mengerjakan dosa-dosa besar dan belum bertaubat!!”
Setelah menceritakan hal itu, Fathimah makin terhanyut dan tangisannya makin tersedu. Nabi SAW berkata, “Sejak saat itulah aku teramat sedih dan selalu menangis. Aku banyak bersujud dan merendahkan diri kepada Allah, agar siksa bagi umatku tersebut diringankan oleh Allah!!”
Fathimah berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah mereka itu masuk ke neraka?”
Nabi SAW bersabda, “Mereka digiring malaikat menuju neraka. Wajah mereka tidak hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka juga tidak disumbat. Mereka juga tidak dirantai atau dibelenggu sebagaimana penghuni neraka lainnya…”
Fathimah bertanya lagi, “Bagaimana keadaannya ketika mereka digiring ke neraka??”
Beliau bersabda, “Orang laki-laki ditarik pada jenggotnya, sedangkan yang perempuan ditarik pada rambut ubun-ubunnya…”
Beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa ada di antara mereka yang masih muda, ketika ditarik jenggotnya, mereka berkata, “Betapa sayangnya kemudaan dan ketampananku!!”
Sedangkan kaum wanita yang ditarik rambut ubun-ubunnya, mereka berkata, “Alangkah malunya aku!!”
Ketika malaikat yang menggiring ke neraka bertemu malaikat Malik, malaikat penjaga neraka, Malik berkata, “Siapakah mereka ini? Aku tidak pernah menemukan orang yang disiksa seperti keadaan mereka ini. Wajahnya tidak hitam, matanya tidak biru, mulutnya tidak disumbat, mereka juga tidak digiring dalam golongan syaitan yang dibelenggu atau diikat pada lehernya!!”
Malaikat yang menggiring itu berkata, “Demikianlah keadaannya kami diperintahkan membawa mereka kepadamu!!”
Malaikat Malik berkata, “Wahai orang-orang yang celaka, siapakah sebenarnya kalian semua ini??”
Kisah selanjutnya dari percakapan tersebut bisa dilihat pada Laman ini juga (Percik Kisah Nabi Muhammad SAW) dengan judul : Syafaat Nabi SAW pada Yaumul Makhsyar.
Fathimahpun makin sedih mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut, dan menemani Nabi SAW munajat kepada Allah agar umat-umat beliau yang menempati pintu ke tujuh dari neraka itu mendapat keringanan siksaan, dan akhirnya dapat dibebaskan dari neraka.

Nabi SAW Menunjukkan Hakikat Ghibah (Menggunjing)

          Para sahabat ahlush shuffah adalah para sahabat yang tinggal di serambi masjid Nabi SAW karena keadaan mereka yang miskin, atau mereka yang memilih untuk tinggal di sana karena ingin selalu dekat dan bertemu dengan Nabi SAW setiap saat. Mereka tidak makan/minum atau berganti pakaian/kain kecuali yang diberikan oleh Nabi SAW, dan mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan menimba ilmu dari Nabi SAW. Keadaan ini sangat menguntungkan karena ketika terjadi kesalahan atau mereka terjatuh dalam kemaksiatan, yang samar sekalipun, Nabi SAW akan langsung mengoreksi mereka, seperti peristiwa berikut ini.
            Suatu ketika Zaid bin Tsabit, seorang sahabat Anshar yang masih muda, tetapi mempunyai kedekatan dengan Nabi SAW, bahkan memiliki kelebihan di bidang ilmu Al Qur’an, sedang berada di antara sahabat ahlush shuffah. Ia menceritakan beberapa riwayat atau hadits yang pernah didengarnya langsung dari Rasulullah SAW, atau mungkin dialaminya sendiri bersama beliau. Walau kelihatannya mereka tampak senang mendengarkan, tetapi ada beberapa orang sahabat yang tampak kurang berkenan.
            Tiba-tiba datang seorang utusan yang datang kepada Nabi SAW dengan membawa daging yang cukup banyak. Maka salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Zaid, masuklah ke rumah Rasulullah dan katakan bahwa kami sudah cukup lama tidak makan daging. Mungkin beliau akan memberikan sebagian daging itu untuk kami!!”
            Ketika Zaid bangkit menuju rumah Nabi SAW, sebagian dari mereka berkata, “Lihatlah Zaid ini, bukankah kita semua bertemu dengan Rasulullah sebagaimana dia bertemu dengan beliau (Maksudnya, tidak ada kelebihan Zaid terhadap mereka), mengapa ia duduk di sini mengajarkan hadits kepada kita??”
            Setelah diijinkan, Zaid masuk ke rumah Nabi SAW dan menyampaikan permintaan/pesan para sahabat ahlush shuffah itu. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Katakan kepada mereka bahwa saat ini mereka sedang makan daging!!”
            Zaid bin Tsabit tampak terheran-heran dengan perkataan Nabi SAW, ia melihat sendiri bahwa mereka tidak makan apapun, bahkan tampaknya mereka sedang lapar. Tanpa membantah dan menjelaskan apa yang dilihatnya, Zaid kembali ke ahlush shuffah dan menyampaikan pesan Nabi SAW. Merekapun berkata, “Demi Allah, sudah sekian lama kami tidak memakan daging!!”
            Zaid kembali kepada Nabi SAW menyampaikan perkataan sahabat ahlush shuffah itu, tetapi dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Saat ini mereka sedang makan daging!!”
            Zaid menemui para sahabat itu dan menyampaikan pesan beliau. Mereka bangkit, datang berombongan menuju rumah Nabi SAW. Setelah mereka berkumpul, Nabi SAW keluar rumah dan berkata, “Kalian semua baru saja makan daging saudaramu ini (sambil menunjuk Zaid), dan bekas daging itu masih tersisa di gigi-gigimu itu. Meludahlah sekarang supaya kalian dapat melihat merahnya daging itu!!”
            Benar saja, begitu mereka meludah, tampaklah warna merah darah di antara ludahnya. Mereka langsung bertaubat, kemudian meminta maaf dan kehalalan dari Zaid bin Tsabit. Setelah tahu duduk persoalannya, dengan senang hati Zaid memaafkan mereka.
            Pada riwayat yang lain, Nabi SAW sedang berjalan-jalan beberapa orang sahabat. Tiba-tiba tercium bau busuk seperti bau bangkai terbawa angin. Langsung saja Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya ada orang munafik yang menggunjing orang-orang muslim, karena itulah bertiup angin yang berbau busuk ini!!”

Sabtu, 14 Juli 2012

Khutbah Nabi SAW di Akhir Bulan Sya’ban

Pada suatu hari, di hari terakhir dari Bulan Sya’ban, Rasulullah SAW berdiri di hadapan para sahabat yang berkumpul, dan bersabda, “Hai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah (yakni Bulan Romadhon), di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan (yakni, Lailatul Qadr). Allah mewajibkan puasa di dalamnya, dan bangun malamnya hanyalah sunnah. Dan barang siapa berbuat kebaikan di dalamnya (yang sifatnya sunnah) untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka (pahalanya) bagaikan mengerjakan yang fardhu di bulan lainnya. Barang siapa yang mengerjakan amalan fardhu, maka (pahalanya) bagaikan mengerjakan tujuhpuluh amalan fardhu di bulan lainnya….”
Kemudian Nabi SAW meneruskan sabda beliau, bahwa Bulan Romadhon itu adalah bulan kesabaran, dan pahala dari kesabaran adalah surga. Ia juga bulan bantuan / pertolongan dan bulan bertambahnya rezeki. Barang siapa yang memberikan makanan berbuka untuk orang lain yang berpuasa, maka ia akan mendapat maghfirah atas dosa-dosanya, yang akan melepaskan dirinya dari api neraka. Ia juga akan memperoleh pahala orang yang berpuasa (yang diberinya makanan berbuka) itu, tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.
Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kami yang bisa memberikan makanan untuk berbuka itu!!”
Nabi SAW bersabda, “Allah akan memberi pahala kepada orang yang memberi makanan untuk berbuka, walau hanya berupa sebutir kurma, seteguk air, atau hanya se-isapan air susu…!!”
Rasulullah SAW meneruskan sabdanya lagi, bahwa Bulan Ramadhan itu permulaannya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan (maghfirah) Allah, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Barang siapa yang memberikan keringanan beban kerja kepada budak-budak (atau pembantu-pembantu)-nya pada bulan itu, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari siksaan api neraka.
Nabi SAW juga berpesan, agar kita memperbanyak (ucapan atau dzikr) dari empat macam, dua macam yang akan mengundang keridhaan Allah kepada kita, dan dua macam lainnya yang kita sangat berhajad atau memerlukannya. Dua macam (ucapan/dzikr) untuk keridhaan Allah adalah : Asyhadu allaa ilaaha illallaah (Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah) dan Astaghfirullah (Saya mohon ampunan kepada Allah). Sedangkan dua macam (ucapan/dzikr) yang kita sangat memerlukannya adalah : Nas’alukal jannata (Kami meminta kepada-Mu surga) dan Wa na’uudzubika minan naar (Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka).
Dalam riwayat lainnya, dua hal yang kita memerlukan itu adalah : Nas’aluka ridhooka wa jannata (Kami meminta kepada-Mu keridhoan-Mu dan surga) dan Wa na’uudzubika min sakhootika wan naar (Dan kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan neraka).
Beliau juga bersabda, bahwa barang siapa yang memberikan minuman (untuk berbuka) pada orang-orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya minuman dari telaga Rasulullah SAW (Al Haudh, al Kautsar). Siapa yang memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa dari hasil yang halal, maka para malaikat akan mendoakannya pada semua malam-malam di Bulan Ramadhan, dan ia akan berjabat tangan dengan malaikat Jibril di (malam) Lailatul Qadr. Barang siapa yang telah berjabat tangan dengan malaikat Jibril, hatinya akan menjadi lunak dan deras air matanya. Maksudnya, ia akan mudah menangis atau terenyuh karena takut kepada Allah atau karena menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah.
Itulah rangkaian pesan Nabi SAW yang disampaikan kepada para sahabat pada akhir Bulan Sya’ban. Tujuannya jelas, agar umat Islam, termasuk kita semua, makin bersemangat dan meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah di Bulan Ramadhan tersebut, tentunya dalam batas kemampuan masing-masing.   

Berpuasa dari Halal Makan dari Haram

         Suatu ketika di bulan Romadhon, dua orang wanita tampak sangat payah dan menderita dalam menjalankan puasa. Ketika sore hari tiba, mereka hampir pingsan karena lapar dan hausnya, karena itu mereka mengirim utusan kepada Nabi SAW meminta ijin untuk membatalkan puasa. Mereka khawatir kalau tetap meneruskan puasa akan makin menderita dan meninggal, yang justru secara syariat bisa dianggap sebagai kesalahan. 
            Ketika utusan itu tiba di hadapan Nabi SAW dan menceritakan keadaan dua wanita itu,  beliau terdiam sesaat seolah memperoleh ‘pemberitahuan’ tertentu dari Malaikat Jibril. Setelah itu beliau minta diambilkan dua gelas atau bejana agak besar dan berkata kepada utusan itu, “Suruhlah dua wanita itu muntah di dalam dua gelas ini!!”
            Utusan itu kembali kepada dua wanita tersebut dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW. Masing-masing dari mereka memuntahkan darah dan daging mentah dari mulutnya. Ketika utusan itu kembali kepada Nabi SAW dan melaporkan keadaan dua wanita tersebut, para sahabat yang tengah berkumpul merasa sangat heran dan ajaib. Rasulullah SAW bersabda, “Keduanya berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah, tetapi mereka makan dari apa yang diharamkan Allah. Di pagi hari yang satu datang kepada yang lainnya, kemudian duduk bersama melakukan ghibah (Jawa: ngerasani atau membicarakan keburukan orang lain). Itulah buktinya, mereka makan daging dari mereka yang di-ghibah-nya!!”
            Memang, Allah telah memperingatkan untuk tidak melakukan ghibah, sebagaimana disitir dalam QS Al Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
            Ghibah sendiri secara syariat atau secara ilmu fiqih memang tidak membatalkan puasa, artinya tidak ada kewajiban bagi seorang muslim untuk meng-qadha’ (mengganti) puasanya karena ghibah. Tetapi para ulama sepakat bahwa ghibah bisa menghilangkan atau membatalkan pahala puasa yang dijalankan seseorang. 
            Ada riwayat lain lagi, ketika beberapa orang sahabat tengah berkumpul, tiba-tiba ada bau bangkai menyebar. Mereka mencoba mencari-carinya tetapi tidak menjumpai bangkai apapun di sekitar mereka. Maka salah seorang sahabat berkata, “Tentu ada salah seorang dari kalian yang telah melakukan ghibah, dan kini ia mengeluarkan bau dari mulutnya seperti bau bangkai. Sungguh benar firman Allah….!!”
            Kemudian sahabat tersebut mengutip Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 12 seperti yang tertera di atas.
            Pada masa Nabi SAW dan para sahabat memang jarang sekali terjadi kemaksiatan yang berlarut-larut, karena akan langsung diingatkan (amar ma’ruf nahi munkar) oleh beliau atau sahabat lainnya. Karena itu, jika ada seseorang yang ghibah atau berbuat makisat lainnya, hawa dan suasana ‘tidak nyaman’ yang ditimbulkannya langsung dirasakan oleh para sahabat lainnya.
Kalau di masa kita sekarang, karena mayoritas dari kita kebanyakan bergelimang dengan dosa, termasuk ghibah, kita tidak akan mampu merasakan seperti para sahabat tersebut. Justru kebalikannya, ketika kita berada di tempat terpencil, yang belum terjamah oleh banyak manusia, atau kita berada di suatu tempat yang kebanyakan orang-orangnya beribadah dengan tulus, kita akan merasakan suatu kenyamanan dan kenikmatan yang luar biasa. Hal itu bisa terjadi karena saat itu kita ‘terbebas’ dari suasana dan hawa dosa yang sehari-harinya melingkupi kita. Wallahu A’lam.   

Sabtu, 07 Juli 2012

Sebuah Kisah di Balik Lailatul Qadar

           Suatu ketika Nabi SAW tengah berkumpul dengan para sahabat, dan beliau menceritakan tentang seseorang dari Bani Israil yang bernama Syam’un. Allah memberikan kekuatan dan keberanian kepada Syam’un ini sehingga dia berjuang dan berjihad di jalan Allah selama seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan Qomariah/Hijriah, atau 80 tahun 10 bulan Syamsiah/Masehi) secara terus menerus. Pedang atau senjatanya yang berupa tulang rahang unta selalu tersandang di pundaknya. Pelana kudanya tidak pernah sempat kering dari keringatnya. 
Syam’un selalu mengalahkan kaum kafirin yang diperanginya di medan jihad. Hal ini membuat orang-orang musyrikin itu ciut hatinya, mereka berfikir keras bagaimana cara mengalahkan dan membunuhnya. Suatu ketika mereka menghubungi istri Syam’un dengan diam-diam, mereka membawa sepiring perhiasan emas untuk menyuapnya. Mereka minta agar ia mau mengikat Syam’un dengan tali ijuk cukup besar dan sangat kuat yang telah dipersiapkan ketika ia sedang tidur, dan perhiasan itu akan menjadi miliknya. Setelah ia tidak berdaya mereka akan datang untuk menangkap dan membunuhnya.
Syam’un memang bukan orang yang materialistis dan bergelimang dengan kekayaan. Walaupun ia memenangkan berbagai pertempuran selama puluhan tahun dan mempunyai jabatan cukup tinggi, tetapi ia memilih hidup dalam kesederhanaan. Apalagi syariat yang berlaku sebelum Nabi SAW, ghanimah atau rampasan perang diharamkan bagi kaum muslimin yang memenangkan pertempuran itu. Harta benda dari kaum musyrikin yang dikalahkan itu harus dikumpulkan pada lapangan luas, setelah itu akan muncul kobaran api dari langit yang akan membakar habis hingga menjadi abu. Dihalalkannya ghanimah bagi umat Nabi SAW merupakan keutamaan yang diberikan Allah, yang tidak pernah dialami oleh umat-umat Nabi dan Rasul sebelumnya.
Pola hidup zuhud dan sederhana yang diamalkan oleh Syam’un, yang menghabiskan waktunya untuk ibadah dan berjihad, ternyata tidak bisa sepenuhnya diikuti dan diterima oleh istrinya. Begitu melihat tawaran kaum kafirin itu, ia segera menyetujuinya. Suatu malam ia mengikat suaminya yang sedang tidur itu dengan tali ijuk, dengan sangat kuatnya. Tetapi pagi harinya, ketika Syam’un bangun dan menggerakkan tubuhnya, tali-tali itu langsung putus. Dengan heran Syam’un berkata, “Mengapa engkau melakukan hal ini?”
Istrinya berkata, “Aku hanya ingin menguji kekuatanmu!!”
Ketika peristiwa itu didengar oleh orang-orang kafir, mereka diam-diam mendatangi istri  Syam’un dengan membawa sebuah rantai besi yang sangat kuat. Malam harinya, istrinya itu mengikat Syam’un dengan rantai itu, tetapi sama seperti sebelumnya, rantai itu putus begitu Syam’un bangun dan menggerakkan tubuhnya. Lagi-lagi istrinya hanya berkilah dengan alasan yang sama.
Melihat kegagalan yang kedua kalinya ini, iblis merasa gerah dan ia ikut campur dalam masalah ini. Ia mendatangi kaum kafir dan memberikan solusinya, yakni agar istrinya itu merayu Syam’un untuk menceritakan ‘rahasia’ kekuatannya. Orang-orang kafir itu mendatangi istri Syam’un dengan menjanjikan hadiah yang lebih besar lagi jika bisa melumpuhkan suaminya itu, dengan cara yang diajarkan Iblis. Suatu ketika istrinya berkata, “Engkau bagitu kuatnya sehingga tali dan rantai besi begitu saja putus dan hancur ketika engkau menggerakkan tubuh. Apakah ada sesuatu yang engkau tidak mampu merusakkan atau memutuskannya??”
Karena kecintaan kepada istrinya, dengan jujur Syam’un berkata, “Beberapa gombak rambutku ini yang aku tidak mampu memutuskannya!!”
Kelihatannya tidak masuk akal, kalau tali ijuk dan rantai besi yang begitu kuat dengan mudah dihancurkan, bagaimana mungkin tidak mampu memutuskan rambutnya sendiri?? Tetapi memang seperti itulah sunnatullah (kebanyakan orang menyebutnya ‘hukum alam’), tidak sesuatu dari mahluk atau ciptaan Allah, kecuali ada kelemahan atau kekurangannya, di samping banyak sekali kelebihan yang dimilikinya.
Rambut itulah yang memang menjadi rahasia kekuatan Syam’un yang diberikan Allah kepadanya. Rambutnya itu memang terurai panjang hingga mencapai tanah, dan biasanya hanya digelung ke atas. Malam harinya, diam-diam istrinya memotong rambutnya itu untuk digunakan mengikat ke dua tangan dan kakinya. Pagi harinya, ketika terbangun Syam’un sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya, bahkan ia tampak lemah tidak berdaya. Istrinya begitu gembira dan memberitahukan hal itu kepada orang-orang kafir. Ia memperoleh berbagai macam perhiasan seperti yang dijanjikan, bahkan ditambahi lagi lebih banyak.
Orang-orang kafir itu membawa Syam’un kepada rajanya, dan ia ingin mempertontonkan pembantaian Syam’un di hadapan rakyatnya. Pada waktu yang ditentukan, mereka berkumpul di suatu gedung megah, dengan arsitektur canggih yang belum bisa dicontoh sampai zaman modern ini. Bangunan yang begitu luas dan tinggi, layaknya sebuah stadion sepakbola, tetapi tiang utamanya hanya satu saja. Tiang penyangganya itu tidak akan mampu digerakkan atau dirobohkan oleh ratusan atau bahkan ribuan orang.
Dalam keadaan terikat dengan rambutnya sendiri,  dan diikatkan lagi pada tiang penyangga utama gedung itu, Syam’un disiksa habis-habisan. Matanya disulut dengan besi panas hingga buta dan dicongkel keluar, dua telinganya di potong, begitu juga dengan lidahnya. Masyarakat kafirin itu bersorak-sorak gembira melihat penderitaan Syam’un. Tidak ada keluhan dan jeritan kesakitan yang keluar dari mulut Syam’un selama penyiksaan itu, kecuali kalimat-kalimat dzikr dan penyandaran diri kepada Allah. Sabar dan tawakal terhadap takdir Allah yang diterimanya.
Kemudian Allah berfirman (mengilhamkan) kepadanya, “Wahai Syam’un, apakah yang engkau inginkan atas orang-orang kafir ini? Katakanlah, Aku akan mengabulkannya!!”
Syam’un berkata atau berdoa dalam hatinya, “Ya Allah, kembalikanlah kekuatanku, sehingga aku bisa merobohkan gedung ini dan menimpa mereka semua!!”
Allah mengabulkan doanya, kekuatannya pulih kembali. Rambut, tali dan rantai yang mengikatnya langsung putus ketika ia menggerakkan tubuhnya. Ia mendorong tiang penyangga utama gedung itu, dan sebentar saja roboh dan gedung itu hancur mengubur orang-orang kafir, termasuk rajanya, yang ada di dalamnya. Mereka semua mati, kecuali Syam’un sendiri, Allah menyelamatkannya, bahkan Allah mengembalikan mata, telinga dan bibirnya seperti sediakala. Syam’un kembali mengisi waktunya dengan berjihad dan berpuasa di siang hari, malam harinya lebih banyak dihabiskan untuk shalat. Ia terus istiqomah dalam amalannya itu hingga kematian menjemputnya.
Setelah Nabi SAW selesai menceritakannya, tampak para sahabat menangis, penuh haru dan ghirah (semangat, kerinduan) melihat perjuangan Syam’un tersebut. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tahu, berapa besarnya pahala yang diperoleh Syam’un tersebut?”
Nabi SAW berkata, “Aku tidak tahu!!”
Sebagian sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, apakah kami dapat memperoleh pahala Syam’un itu??”
Lagi-lagi Nabi SAW hanya berkata, “Aku tidak tahu!!”
Melihat keadaan para sahabat tersebut, Nabi SAW berdoa, “Ya Allah, Engkau menjadikan umatku yang paling pendek umurnya di antara umat-umat yang ada, dan yang paling sedikit amal-amalnya!!”
Tidak lama kemudian Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dengan membawa wahyu Allah, lima ayat dari surah Al Qadar. Begitu pendeknya surat tersebut, tetapi merupakan keberkahan dan pengutamaan Nabi SAW dan umatnya atas Nabi dan umat-umat sebelumnya. Dengan sedikit amalan, yang sederhana sekalipun, jika dilakukan dengan ikhlas, lillaahi ta’ala dan bertepatan dengan Lailatul Qadar, maka akan memperoleh pahala yang lebih baik daripada pahala yang diterima Syam’un dalam perjuangan jihadnya selama seribu bulan tersebut. Bahkan umat Nabi SAW bisa memperoleh berkali-kali pahala seperti itu selama hidupnya, karena Lailatul Qadar akan selalu datang di Bulan Romadhon.                  

Nabi SAW Memutuskan Perselisihan Harta

           Suatu ketika dua lelaki yang masih ada hubungan saudara datang menghadap Nabi SAW mengadukan persoalannya. Mereka berselisih atau lebih tepatnya berebut tentang harta warisan. Masing-masing mengklaim bahwa dirinya lebih berhak atas harta warisan itu. Mereka mengemukakan argumentasi yang mendukung pendapatnya, yang sebenarnya tidak cukup kuat dan mengikat klaimnya secara utuh atas harta warisan tersebut sesuai syariat Islam. 
            Nabi SAW memandang keduanya dengan sedih, kemudian beliau bersabda, “Kalian mengadukan persoalan ini kepadaku, sementara aku hanyalah manusia biasa. Jika saja salah satu dari kalian bisa memberikan bukti yang lebih kuat daripada yang lainnya, maka saya akan memutuskan sesuai dengan bukti yang saya dengar itu…!!”
            Beberapa saat Nabi SAW terdiam, kemudian beliau meneruskan lagi, “Jika nantinya telah kuputuskan kepadanya, bahwa barang itu milik yang lain, maka sama sekali ia tidak boleh mengambilnya (atau memprotes dan memaksa untuk meminta bagian harta itu), karena itu sama artinya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka. Di hari kiamat nanti, akan dipikulkan di pundaknya sepotong besi panas dari neraka!!”
            Dua lelaki itu tampak menangis tersedu mendengar penjelasan Nabi SAW. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, biarkanlah hak saya, saya berikan untuk saudaraku ini!!”
            Salah satunya lagi berkata, “Tidak, wahai Rasulullah, biarkanlah hak saya yang saya berikan untuk dirinya!!”
            Mereka saling melepaskan hak kepemilikan atas harta warisan itu dan merelakan untuk saudaranya. Mereka juga sempat berdebat kecil, hanya saja berbeda dengan waktu datangnya kepada Nabi SAW. Kalau tadinya mereka saling berebut untuk memiliki, kini mereka saling berebut untuk memberikan. Nabi SAW tersenyum melihat keduanya dan bersabda, “Jika kalian telah berkata seperti itu, kini pulanglah!! Bagilah harta kalian itu menjadi dua, dan ikrarkanlah keikhlasan masing-masing kepada saudaranya!!”