Sabtu, 26 Mei 2012

”Innalillaahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun, Kamulah yang Celaka…”

Abu Hurairah RA, seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist Nabi SAW, suatu malam setelah shalat Isya bersama Rasulullah SAW, ia berjalan menyusuri kota Madinah sendirian. Tiba-tiba ia bertemu dengan seorang wanita berkerudung, berdiri di tengah jalan, wanita itu berkata, “Wahai Abu Hurairah, saya telah melakukan dosa besar, maka apakah saya bisa bertaubat??”
Abu Hurairah berkata, “Apakah dosa yang kamu lakukan itu?”
Wanita itu berkata, “Saya telah berbuat zina dan hamil, kemudian anak yang saya lahirkan itu saya bunuh!!”
            Abu Hurairah berkata, “Celakalah kamu, dan kamu telah membinasakan (dirimu sendiri)!! Demi Allah kamu tidak bisa lagi bertaubat!!”
            Mendengar jawaban Abu Hurairah seperti itu, wanita itu menjerit dengan kerasnya penuh kesedihan sehingga ia jatuh pingsan. Abu Hurairah meninggalkan wanita itu begitu saja. Dalam perjalanan pulang tersebut, hati kecil Abu Hurairah terusik juga. Apakah ia telah memberikan jawaban (fatwa) yang tepat? Memang benar bahwa wanita tersebut telah melakukan dua dosa besar secara berturutan, tetapi apakah memang tidak ada jalan taubat bagi dirinya? Tiba-tiba hati nuraninya mencela sikapnya, “Mengapa engkau berani memberikan fatwa (keputusan) sementara Nabi SAW masih ada di antara kita semua??”
            Keesokan harinya setelah shalat subuh, Abu Hurairah menghadap Rasulullah SAW, dan menceritakan peristiwa yang dialaminya malam sebelumnya. Reaksi Rasulullah SAW sungguh sangat tidak diduganya. Ia termasuk salah satu orang terdekat beliau, tetapi saat itu ia justru merasa ketakutan tak terkira. Nabi SAW bersabda dengan keras, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, demi Allah, kamulah yang celaka dan membinasakan (dirimu sendiri), ya Abu Hurairah. Dari mana (dasarnya) kamu bisa memberikan fatwa seperti itu??”
            Abu Hurairah hanya tertunduk malu dan terdiam, sekaligus ketakutan. Nabi SAW bersabda lagi, “Apakah engkau tidak (pernah) memperhatikan ayat-ayat Allah ini….”
            Kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat QS al Furqaan 68-70 sebagai berikut : Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
            Abu Hurairah meminta Nabi SAW untuk memohonkan ampunan baginya kepada Allah atas kekeliruannya, kemudian ia meminta ijin untuk mencari wanita tersebut. Nabi SAW mengijinkannya dan ia berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah. Setiap bertemu seseorang, ia menanyakan keberadaan wanita tersebut. Ia tidak berhenti mencari kecuali pada waktu-waktu untuk shalat, sehingga banyak anak-anak yang mengatakan kalau ia telah gila.
            Pada malam harinya, ketika ia melalui jalan dimana ia bertemu dengan wanita tersebut untuk ke sekian kalinya, ia melihat wanita itu berdiri di tempat yang sama. Abu Hurairah segera menghampirinya, dan meminta maaf atas perkataannya malam sebelumnya. Ia juga menceritakan peristiwa yang dialaminya bersama Rasulullah SAW dan fatwa beliau bahwa taubatnya bisa diterima oleh Allah. Sekali lagi wanita itu menjerit, tetapi kali ini karena rasa gembira yang tidak tertahankan, kemudian ia berkata, “Saya mempunyai sebuah kebun, dan kebun itu saya shadaqahkan untuk orang-orang miskin sebagai kaffarat dari dosa-dosaku!!”

Nabi SAW dan Wanita Bermulut ‘Tajam’

Ada seorang wanita yang mulutnya ‘tajam’ sekali, ia suka mengeluarkan kata-kata keji (atau komentar yang menyakitkan/tidak mengenakkan) kepada orang-orang yang ditemuinya, baik laki-laki atau perempuan. Suatu ketika ia melewati rumah Aisyah RA dan Nabi SAW sedang berada di sana, beliau sedang duduk menekuk lutut sambil makan dendeng (daging yang dikeringkan). Melihat keadaan Nabi SAW tersebut, ia mendekat dan berkata, “Lihatlah orang ini duduk seperti duduknya hamba sahaya!!”
Mendengar kementar seperti itu, Nabi SAW bersabda, “Aku memang seorang hamba, karena itu aku duduk seperti duduknya seorang hamba, dan aku makan seperti makannya seorang hamba!!”
Wanita itu tidak berkata apa-apa karena ternyata Nabi SAW tidak membantah perkataannya, bahkan menguatkan/membenarkannya. Beliau berkata kepadanya, “Makanlah!!”
Wanita itu berkata, “Tidak, kecuali engkau memberi makan kepadaku dengan tanganmu sendiri!!”
Nabi SAW mengambil sepotong dendeng dan memberikan kepada wanita tersebut, bahkan beliau bermaksud menyuapinya. Tetapi ia berkata lagi, “Tidak, kecuali jika engkau memberikan makanan kepadaku dari (makanan yang ada di) mulutmu!!”
Saat itu beliau memang sedang mengunyah sepotong dendeng, maka segera saja beliau mengeluarkannya dari mulut beliau dan menyuapkannya kepada wanita tersebut. Wanita itu mengunyah beberapa saat kemudian menelannya.
Segera setelah daging bekas kunyahan Rasulullah SAW itu masuk ke dalam perutnya, tampak perubahan besar pada wanita tersebut. Kalau sebelumnya dengan santainya ia memandang orang di sekitarnya, dan berkomentar dengan seenaknya, termasuk kepada Nabi SAW, tiba-tiba saja ada perasaan malu yang memenuhi hatinya. Seakan ia tak mampu mengangkat kepala dan memandang orang-orang di sekitarnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Dan sejak saat itu pula, ia tidak pernah lagi mengucapkan kata-kata keji yang menyakitkan hati kepada siapapun juga, hingga ia meninggal dunia.
Perubahan besar itu terjadi mungkin karena sikap tawadhu dan kasih sayang Nabi SAW kepada wanita tersebut. Atau mungkin juga karena ‘berkah’ dari makanan yang telah menyatu dengan ludah Nabi SAW, dan masuk ke dalam perutnya. Wallahu A’lam!!

Sabtu, 19 Mei 2012

Yang Membebaskan Siksa Kubur

Suatu ketika Tsauban bin Bujdud RA, seorang sahabat yang juga hamba sahaya (budak) Rasulullah SAW, mengiringi beliau dalam suatu perjalanan, ia berjalan agak jauh di belakang. Tiba-tiba Nabi SAW berhenti di suatu pemakaman, dan menangis cukup keras. Dengan wajah sedih, tampak beliau berdoa kepada Allah. Usai berdoa, Tsauban mendekati beliau dan berkata, “Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah?”
Nabi SAW bersabda, “Wahai Tsauban, mereka ini (kaum muslimin) sedang disiksa di dalam kuburnya, dan aku berdoa semoga Allah meringankan beban siksa yang mereka alami!!”
Beliau tampak masih sedih, sehingga Tsauban tidak berani berbicara lebih lanjut, hanya diam saja menunggu. Kemudian beliau bersabda lagi, “Wahai Tsauban, seandainya saja mereka mau berpuasa (sunnah) sehari saja di bulan Rajab, dan tidak tidur semalam untuk shalat (shalat sunnah, yakni qiyamul-lail atau tahajjud), tentu mereka tidak akan disiksa di dalam kuburnya!!”
Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, apakah puasa sehari dan  qiyamul-lail semalam di Bulan Rajab dapat mencegah terjadinya azab (siksa) kubur??”
Nabi SAW bersabda lagi, “Wahai Tsauban, demi Dzat yang mengutusku dengan hak (benar) sebagai Nabi, tidaklah seorang muslim laki-laki atau perempuan yang berpuasa sehari dan melakukan qiyamul-lail semalam di Bulan Rajab, ikhlas semata-mata mengharap keridhoan Allah, melainkan Allah akan mencatatnya telah beribadah selama setahun penuh terus-menerus, puasa di siang harinya dan qiyamul-lail (shalat malam) di malam harinya. Dan hal itu bisa membebaskannya dari siksaan di alam kubur!!”

Nabi SAW Menangisi Kaum Wanita di Neraka

            Suatu ketika Ali bin Abi Thalib bersama istrinya, Fathimah az Zahrah, mengunjungi Nabi SAW, tetapi beliau tampak sedang menangis penuh kesedihan. Melihat keadaan mertuanya itu, Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat engkau menangis?”
            Nabi SAW bersabda, “Pada malam aku diisra’kan ke langit, aku melihat umatku dari para wanita yang sedang mengalami berbagai macam siksaan yang pedih di neraka. Dan saat ini aku teringat dengan keadaan mereka itu sehingga aku menangis!!”
            Ali bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, siksaan seperti apakah yang diperlihatkan kepada engkau terhadap wanita-wanita itu?”
            Masih dengan wajah yang diliputi kesedihan, Nabi SAW menyebutkan satu persatu keadaan wanita-wanita yang mengalami penyiksaan tersebut. Sebagai sesama wanita, Fathimah merasa terenyuh (terhanyut dalam kepedihan) dengan azab yang menimpa kaumnya itu, kemudian ia berkata, “Wahai ayahku, pelipur lara hatiku, beritahukanlah kepadaku, apakah yang dilakukan oleh para wanita tersebut??”
            Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Fathimah, sekelompok wanita yang disiksa dengan cara digantung dengan rambutnya, dan otaknya dalam keadaan mendidih. Selama hidup di dunia mereka ini tidak pernah menyembunyikan (menutup) rambutnya dari laki-laki lain, yang bukan suami atau mahramnya. Dan ia tidak pernah bertaubat sampai akhir hidupnya!!”
            Kemudian Nabi SAW menjelaskan lebih lanjut. Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan lidahnya, tangannya dikeluarkan (dibelenggu) di punggungnya, kemudian dituangkan aspal panas di tenggorokannya. Selama hidup di dunia, mereka ini sangat senang menyakiti hati suaminya dengan lidahnya. Mereka ini mati sebelum meminta maaf kepada suaminya dan bertaubat kepada Allah, dan suaminya dalam keadaan tidak ridho (tidak memaafkan) kepadanya.
            Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan dua payudaranya dari belakang punggungnya, kemudian dituangkan zaqqum (buah atau kayu berduri di neraka) pada tenggorokannya. Selama hidup di dunia mereka ini senang menyusui anak-anak orang lain, tanpa perintah suaminya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah.
            Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan dua tangan dan dua kakinya terikat pada (di atas) ubun-ubunnya, sementara ular-ular dan kalajengking memakan dan menggerogoti dirinya. Selama hidup di dunia mereka ini sering keluar rumah tanpa ijin suaminya, dan juga tidak mau mandi (jinabat) setelah haid dan nifas. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.
            Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara dinyalakan api di bagian bawah tubuhnya (seolah-olah mereka dimasak atau dipanggang), kemudian mereka itu memakan jasadnya sendiri (yang telah matang). Selama hidup di dunia mereka ini senang berhias (mempercantik) diri untuk laki-laki lain, dan suka menggunjing (ghibah, Jawa:ngerasani) orang lain. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.
            Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara wajahnya dijadikan hitam legam, dan mereka memotong-motong tubuhnya dengan gunting api, kemudian memakan usus-ususnya sendiri. Selama hidup di dunia mereka ini senang menunjukkan (memamerkan) tubuhnya, sehingga orang-orang bisa melihat perhiasannya (kelebihan atau keelokan tubuhnya), dan akhirnya kaum laki-laki jadi tertarik kepadanya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosanya itu.
            Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara dimasukkan ke dalam peti api, dalam keadaan tuli, bisu dan buta, kemudian otaknya keluar (mengalir) lewat hidungnya. Bau tubuhnya lebih busuk daripada orang yang berpenyakit kusta dan lepra. Selama hidup di dunia mereka ini sebenarnya mampu melaksanakan shalat dan puasa, tetapi mereka tidak mau melaksanakan keduanya, tidak berwudhu, dan juga tidak mandi jinabat. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.
            Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara wajahnya dirubah seperti babi hutan, dan badannya seperti badan himar (keledai), dan sejuta macam siksaan ditimpakan kepadanya. Selama hidup di dunia mereka ini sangat senang berdusta dan mengadu domba sesamanya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.
            Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara tubuhnya dirubah seperti anjing, kemudian ular-ular dan kalajengking masuk melalui mulut dan kemaluannya, serta keluar dari duburnya. Sementara itu satu malaikat memukul kepalanya dengan pemukul dari api. Selama hidup di dunia mereka ini senang membuat fitnah dan menyebarkannya, serta seringkali membuat jengkel suaminya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu, dan suaminya-pun tidak ridha kepadanya.
            Mendengar penuturan Nabi SAW tersebut, Fathimah ikut menangis, sedih bercampur takut, kemudian memohon perlindungan Allah untuk tidak terjatuh pada dosa-dosa tersebut. 

Kamis, 10 Mei 2012

SIM (Surat Ijin Melewati) Jahanam

            Suatu ketika Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk menyampaikan Wahyu/Firman  Allah QS Ibrahim ayat 48  : “Yauma tubaddalul ardhu ghairal ardhi was samaawaatu wa barazuu lillaahil waahidil qahhaar.” Artinya adalah : “(Yaitu) pada hari (kiamat, ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”
            Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi SAW berkata. “Wahai Jibril, bagaimana keadaan manusia pada hari kiamat nanti??”
            Malaikat Jibril menceritakan bahwa semua manusia akan berkumpul di atas bumi yang putih, bumi baru yang belum ada orang yang berbuat dosa di sana. Ketika terdengar suara jahanam menggelegar satu kali, para malaikat berpegangan pada Arsy, dan masing-masing berkata, “Wahai Tuhanku, aku tidak memohon kepada-Mu kecuali (keselamatan) diriku!!”
            Jibril menyatakan bahwa saat itu gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Nabi SAW bertanya, “Wahai Jibril, apa yang dimaksud dengan bulu yang dihambur-hamburkan?” 
            Jibril berkata, “Bulu yang dicabut kemudian dihamburkan (dilemparkan ke segala arah), dan gunung menjadi cair karena takut kepada Jahanam.”
Jibril melanjutkan penjelasannya, pada saat kiamat tersebut, jahanam didatangkan dengan mengeluarkan satu suara yang menggelegar, tali kekangnya ditarik oleh 70.000 malaikat dan ia diberhentikan di hadapan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Allah berfirman, “Wahai Jahanam, bicaralah kamu!!”
Jahanam berkata, “Laa ilaaha illallaah, demi Kemuliaan dan Kebesaran-Mu, Ya Allah, sungguh hari ini saya akan menyiksa orang-orang yang makan rezeki-Mu tetapi tidak mau menyembah-Mu. Tidak akan bisa (selamat) melewati saya, siapa saja yang tidak mempunyai surat ijin!!”
Nabi SAW berkata, ‘Wahai Jibril, apakah surat ijin pada hari kiamat itu??”
Jibril berkata, “Wahai Muhammad, terimalah kabar gembira, sesungguhnya umatmu telah memiliki surat ijin untuk hari kiamat itu. Ingatlah, orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (dengan tulus membaca kalimat Tahlil : Laa ilaaha illallaah), itulah surat ijin untuk bisa melewati shirat (titian, jembatan) jahanam dengan selamat (atau pada akhirnya ia ‘akan’ selamat dari siksaan jahanam)…!!”
Nabi SAW berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan ilham (kepada umatku) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (Laa ilaaha illallaah)…!!”

Ya Rasulullah, Mana Lebih Engkau Sukai?

           Anas bin Malik RA, adalah seorang sahabat ‘kecil’ Rasulullah SAW yang membaktikan hidupnya untuk menjadi pelayan beliau hingga beliau meninggal dunia. Dikatakan sahabat ‘kecil’ karena ia telah diserahkan ibunya, Ummu Sulaim binti Milhan kepada Nabi SAW ketika usianya belum mencapai sepuluh tahun. Karena masih kecil itu, ia sangat akrab dan disayang oleh Rasulullah SAW layaknya putra beliau sendiri. Dan karena sejak masih kecil pula, ia banyak ‘merekam’ peristiwa dan ucapan-ucapan beliau, sehingga ia menjadi salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW.
            Suatu ketika Nabi SAW tampak dalam keadaan agak ‘santai’, maka Anas bin Malik mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, sepotong roti yang saya shodaqohkan atau saya shalat sunnah seratus rakaat?”
            Nabi SAW bersabda, “Sepotong roti yang engkau shodaqohkan itu, lebih aku sukai daripada engkau shalat sunnah duaratus rakaat!!”
            Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, memenuhi kebutuhan sesama muslim atau shalat sunnah seratus rakaat??”
            Nabi SAW bersabda, “Memenuhi kebutuhan sesama muslim itu, lebih aku sukai daripada shalat sunnah seribu rakaat!!”
            Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, meninggalkan sesuap makanan yang haram atau shalat sunnah seribu rakaat??”
            Nabi SAW bersabda, “Meninggalkan sesuap makanan haram itu, lebih aku sukai daripada shalat sunnah dua ribu rakaat!!”
            Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, meninggalkan fitnah (mengumpat/mengghibah) atau shalat sunnah seribu rakaat??”
            Nabi SAW bersabda, “Meninggalkan fitnah itu, lebih aku sukai daripada shalat sunnah sepuluh ribu rakaat!!”
            Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, memenuhi kebutuhan seorang janda atau shalat sunnah sepuluh ribu rakaat??”
            Nabi SAW bersabda, “Memenuhi kebutuhan seorang janda itu, lebih aku sukai daripada shalat sunnah tigapuluh ribu rakaat!!”
            Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, duduk-duduk bersama keluarga atau duduk (i’tikaf) di masjid??”
            Nabi SAW bersabda, “Duduk sesaat bersama keluarga itu, lebih aku sukai daripada i’tikaf di masjidku ini!!”
            Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, memberi belanja keluarga atau berinfak di jalan Allah??”
            Nabi SAW bersabda, “Satu dirham yang dibelanjakan oleh seseorang untuk keluarganya, lebih aku sukai daripada seribu dinar yang ia infaqkan di jalan Allah!!”
            Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, berbakti kepada ke dua orang tua atau beribadah selama seribu tahun??”
            Nabi SAW bersabda, “Wahai Anas, yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap, karena sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang tentu lenyap (pada akhirnya, setidaknya di akhirat kelak). Maka berbakti kepada dua orang tua, lebih aku sukai daripada beribadah selama dua juta tahun!!”