Senin, 30 April 2012

Berjihad tetapi Masuk Neraka

Perang Uhud yang terjadi pada tahun 3 Hijriah memunculkan beberapa peristiwa dramatis, heroik, sekaligus kontroversial. Sejak sebelum pecahnya peperangan, dari seribu prajurit yang dibawa Nabi SAW, tigaratus orang ternyata membelot dan kembali ke Madinah setelah melihat besarnya kekuatan pasukan kaum kafir Quraisy. Mereka itu memang dari golongan kaum munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Terancamnya jiwa Rasulullah SAW dalam perang tersebut, bahkan dikabarkan beliau terbunuh, jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib yang dirusak, sahabat yang ‘dimandikan’ malaikat, sahabat yang syahid dan masuk surga padahal belum pernah shalat, tetapi ada juga mujahid yang berjuang dengan gagah perkasa tetapi akhirnya masuk neraka. Peristiwa terakhir ini yang akan diungkap dalam kisah ini.
Ketika Islam mulai didakwahkan di Yatsrib (nama Kota Madinah sebelum Islam) oleh utusan Nabi SAW, sahabat Mush’ab bin Umair, sambutan masyarakatnya sungguh luar biasa untuk memeluk Islam, apalagi ketika Rasulullah SAW telah berhijrah ke sana. Islam yang ‘tiba-tiba’ menjadi agama mayoritas dan memiliki kekuatan ’militer’ karena bersatunya Suku Aus dan Khazraj yang sebelumnya selalu terlibat perang saudara, membuat sebagian orang juga ikut-ikutan memeluk Islam walau motivasinya tidak benar-benar mencintai Islam dan mengharap ridho Allah. Termasuk di antaranya adalah kaum munafik, yang kemudian mengelompok sendiri dengan pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul.
Seorang lelaki dari kabilah Bani Zhafr bernama Quzman adalah seorang yang sangat mencintai kaumnya. Ketika sebagian besar dari mereka memeluk Islam sebagaimana mayoritas masyarakat Madinah, ia juga ikut memeluk Islam karena tidak ingin sendirian dengan agama jahiliahnya. Tetapi tidak ada penjelasan/riwayat bahwa ia termasuk dalam kelompok kaum munafik. Ketika terjadi perang Uhud, ia juga menerjunkan diri melawan pasukan kafir Quraisy dalam golongan kaum Anshar. Ia berjuang dengan perkasanya sehingga mengundang decak kagum kaum muslimin lainnya. Tidak kurang dari delapan orang musyrik yang tewas di tangannya, belum lagi yang luka dan tertawan.
Ketika peperangan usai, ia dalam keadaan luka parah dan merasa sangat kesakitan. Kerabat dan saudaranya dari Bani Zhafr membawanya pulang dan menghiburnya, memintanya untuk bersabar. Mereka memuji kepahlawanannya dan mendoakannya akan mendapat surga yang tertinggi. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba Quzman berkata, “Demi Allah, aku ikut berperang semata-mata karena pertimbangan kaumku. Kalau tidak karena itu, aku tidak akan sudi untuk berperang!!”
Kaum muslimin di sekitarnya, yang kebanyakan masih saudara-saudaranya itu menjadi sedih mendengarnya. Mereka merayunya untuk bertobat dan memohon ampunan kepada Allah, tetapi Quzman tidak bergeming. Bahkan karena ia tidak kuat dan tidak sabar menahan penderitaan dari luka-lukanya, ia bunuh diri. Ketika Nabi SAW diberitahu tentang keadaan Quzman tersebut, beliau bersabda, “Jika dia berkata (dan berbuat) seperti itu, maka ia termasuk penghuni (akan masuk) neraka!!”
Masih dalam perang Uhud itu juga, seorang lelaki Yahudi dari Bani Tsa’labah bernama Mukhairiq berkata kepada kaumnya, “Wahai semua orang Yahudi, demi Allah, kalian tahu bahwa membantu Muhammad saat ini adalah kewajiban kalian!!”
Memang, ketika Nabi SAW telah hijrah ke Madinah, beliau menyusun suatu sistim kemasyarakatan baru dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Beliau juga menyusun suatu perjanjian dengan masyarakat non muslim lainnya di Kota Madinah, termasuk kaum Yahudi yang dikenal dengan nama “Piagam Madinah”. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah kesepakatan untuk saling membela dan membantu jika salah satu pihak diserang oleh musuhnya.
Mendengar penuturan Mukhairiq tersebut, mereka berkata, “Bukankah hari ini hari sabtu?”
Hari sabtu memang hari besar bagi kaum Yahudi, mereka tidak diperbolehkan melakukan  kegiatan apapun, termasuk bekerja, kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Kalau bekerja saja terlarang, apalagi untuk berperang. Tetapi Mukhairiq seolah-olah ingin mengingkari ajaran agamanya sendiri, dan lebih ‘mematuhi’ perjanjian yang disetujuinya dengan Nabi SAW. Ia berkata  “Tidak ada hari sabtu untuk kalian!!”
Kemudian ia mengambil kuda dan perlengkapan perangnya, dan berkata kepada kaumnya, “Kalaupun aku mendapat celaka, aku sama sekali tidak perduli dengan (pandangan dan sikap)  Muhammad, biarkan saja ia berbuat semaunya dalam peperangan itu!!”
Mungkin maksudnya, ia tidak punya pamrih apapun (dari Nabi SAW) dengan terjun dalam perang Uhud tersebut, kecuali hanya ingin memenuhi perjanjiannya. Ia memacu kudanya dengan cepat ke Uhud dan langsung menerjunkan diri dalam pertempuran di pihak kaum muslimin. Ia berperang dengan perkasanya menerjang kaum musyrikin Makkah, dan akhirnya gugur dalam peperangan tersebut.
Ketika Nabi SAW diberitahu tentang tindakan Mukhairiq tersebut, beliau bersabda, “Mukhairiq adalah sebaik-baiknya orang Yahudi!!”
Walau Nabi SAW memujinya, tetapi beliau menyatakan ia tetap dalam agama Yahudi. Dan secara aqidah, di akhirat nanti tentu tidak ada bagian bagi dirinya kecuali dalam neraka, walau ia gugur di dalam membela Islam. Wallahu A’lam.
Peristiwa yang hampir serupa terjadi pada Perang Hunain, yang terjadi setelah Penaklukan Kota Makkah (Fathul Makkah). Memang, setelah Makkah jatuh ke tangan kaum Muslimin, banyak sekali orang yang memeluk Islam, baik dari masyarakat Makkah sendiri, atau dari beberapa kabilah lain yang tinggal di sekitar Kota Makkah. Tentu saja motivasi keislaman dari sekian banyak orang itu berbeda-beda, ada yang benar-benar tulus, tetapi ada juga yang ikut-ikutan saja, atau mencari selamat, atau bahkan mencari keuntungan ‘duniawiah’ dengan islamnya tersebut.
Ketika akan berlangsungnya perang Hunain tersebut, tiba-tiba Nabi SAW bersabda tentang seorang lelaki muslim yang ikut berjuang di peperangan tersebut, “Orang itu termasuk ahli neraka (akan masuk neraka)!!”
Pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, pasukan muslim sempat terdesak, tetapi lelaki tersebut tetap berjuang dengan perkasa tanpa sedikitpun rasa takut. Walau luka-luka di tubuhnya makin banyak, ia terus saja menerjang barisan musuh tanpa gentar. Ada seorang sahabat yang datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, lelaki yang engkau katakan sebagai ahli neraka itu berjuang fisabilillah dengan mati-matian hingga ia terluka parah!!”
Tetapi sekali lagi Nabi SAW bersabda, “Ia akan masuk neraka!!”
Hampir saja para sahabat ragu dengan pernyataan Rasulullah SAW tersebut. Ketika perang usai dan kemenangan berada di tangan kaum muslimin, lelaki itu dalam keadaan luka parah. Karena begitu banyak luka-luka yang dialaminya, ia merasakan sakit yang tidak terkira. Mungkin ketika sibuk berperang, ia tidak merasakan sakitnya itu. Karena tidak tahan dan tidak mampu bersabar dengan rasa sakitnya itu, ia bunuh diri. Ia menancapkan gagang pedangnya di tanah, dan menempatkan ujung pedang di dadanya, kemudian menjatuhkan diri sehingga tembus dan ia mati seketika.
Para sahabat mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh benar apa yang engkau katakan. Lelaki itu bunuh diri karena tidak mampu menahan rasa sakitnya!!”
Sebagian riwayat menyebutkan, ketika Nabi SAW menyebutkan bahwa lelaki itu adalah penghuni neraka, ada seseorang yang belum memeluk Islam ingin membuktikannya. Ia mengamati dan mengikuti lelaki itu kemanapun lelaki itu bergerak. Seperti kebanyakan sahabat lainnya, ia juga sempat ragu dan bahkan ‘menertawakan’ pendapat Nabi SAW, apalagi ketika pasukan muslim memperoleh kemenangan. Tetapi ketika lelaki itu ternyata bunuh diri, ia segera menghadap Nabi SAW dan berkata, “Saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah!!”
Kemudian ia membaca syahadat menyatakan diri memeluk Islam. Nabi SAW berkata, “Apakah yang terjadi??”
Lelaki itu menceritakan apa yang dilakukannya, dan beliau menanggapinya dengan gembira. Kemudian Nabi SAW memanggil Bilal dan berkata, “Wahai Bilal, bangkitlah dan umumkan bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang yang benar-benar beriman. Dan ada kalanya Allah membela agama (Islam) ini dengan seorang lelaki yang faajir!!”
Faajir adalah kebalikan dari takwa, yang bisa dimaknakan sebagai kefasikan (tetap muslim tetapi durhaka), atau bisa juga ditafsirkan sebagai kekafiran yang akan kekal di neraka. Hal ini tercantum dalam surat asy Syam ayat 8 : Fa-alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa, yang artinya : Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (3) Ketika Ka’bah Dibangun Kembali

Lima tahun sebelum Nubuwwah, yakni ketika Nabi Muhammad SAW berusia 35 tahun, masyarakat Quraisy memutuskan untuk merenovasi Ka’bah. Keadaan Ka’bah saat itu hanya berupa susunan batu-batu yang lebih tinggi dari badan manusia, yang telah dibuat sejak zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tanpa perbaikan yang memadai. Bagian atasnya dalam keadaan terbuka tanpa atap, sehingga sering ada pencurian terhadap barang-barang yang ada di dalamnya. Beberapa waktu sebelumnya juga terjadi banjir hingga melanda Baitullah, akibatnya keadaan Ka’bah makin memprihatinkan saja.
Semua pemuka kabilah dari suku Quraisy bermusyawarah, dan mereka memutuskan untuk merenovasi Ka’bah. Tetapi mereka mereka memutuskan hanya akan mencari dan mengumpulkan bahan dan dana dari jalan yang ‘baik-baik’ saja (halal, istilah syariatnya). Walau ‘maksiat’ adalah hal yang biasa bagi umumnya mereka, tetapi untuk renovasi Ka’bah itu mereka memutuskan untuk menolak ‘sumbangan’ dan pengumpulan dana dari hasil kedzaliman, hasil transaksi yang mengandung riba, dari hasil merampas atau merampok, penggelapan atau korupsi, pelacuran dan berbagai cara ‘maksiat’ lainnya.
Sempat terjadi kebimbangan ketika akan merobohkan bangunan lama, mereka takut terkena bala’ jika melakukannya. (Jawa, kuwalat). Mereka sangat memuliakan Ka’bah, melebihi berhala-berhala sesembahannya. Akhirnya Walid bin Mughirah al Makhzumy yang mengawali melakukannya. Setelah beberapa saat lamanya tidak terjadi apa-apa pada Walid, mereka baru berani bergerak bersama-sama merobohkannya.
Untuk membangun kembali Ka’bah, kaum Quraisy mendatangkan seorang ‘arsitek’ dari Romawi bernama Pachomius, atau lebih dikenal dengan nama Baqum. Mereka bergotong-royong mengerjakannya, setiap kabilah diserahi satu bagian dari Ka’bah. Nabi SAW juga terjun langsung dalam pembangunan itu, beliau bekerja berdampingan dengan paman beliau, Abbas bin Abdul Muthalib, mengangkat batu-batuan. Kebanyakan orang mengangkat jubahnya hingga di atas lutut dalam bekerja, tetapi beliau tetap membiarkannya hingga hampir pertengahan betis atau mata kaki. Abbas berkata, “Angkatlah jubahmu agar engkau tidak terluka oleh batu!!”
Nabi SAW mengikuti saran Abbas, yang artinya terlihat paha beliau (secara syariat, terlihat auratnya), tetapi seketika itu beliau jatuh terjerembab. Beliau memandang ke langit, kemudian berkata, “Ini gara-gara jubahku (yang terbuka), ini gara-gara jubahku (yang terbuka)!!”
Kemudian beliau membiarkan jubahnya seperti semula, atau malah justru mengikatkannya agar tidak terbuka. Dan setelah peristiwa itu Nabi SAW tidak pernah lagi menampakkan auratnya.
Ketika pembangunan telah sampai pada batas tempat Hajar Aswad, terjadi perselisihan. Masing-masing kabilah merasa paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula, dan tidak ada yang mau mengalah. Perselisihan itu terus berlanjut sehingga pembangunan sempat terhenti selama empat atau lima hari. Begitu panasnya suasana pertentangan ini hingga hampir terjadi perang saudara.
Kabilah Bani Abdid Dar datang membawa baki berisi darah. Mereka mengangkat sumpah bersama Bani Ady bin Ka’ab bin Luay untuk berjuang sampai titik darah penghabisan demi memperoleh kehormatan meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Semua orang dari dua kabilah itu mencelupkan tangannya ke baki berisi darah, dan peristiwa itu terkenal dengan nama Luq’atud-Daam (Jilatan Darah).
Melihat perkembangan situasi yang membahayakan tersebut, para pemuka itu berkumpul di Baitullah untuk mencari jalan tengah. Salah seorang tetua bijaksana yang dihormati di antara mereka, Abu Umayyah bin Mughirah al Makhzumy berkata, “Wahai kaum Quraisy, serahkanlah masalah yang kalian pertentangkan itu kepada orang yang pertama muncul dari pintu masjid ini (yakni pintu Bani Syaibah), dan biarkanlah dia yang memutuskan!!”
Mereka menerima saran dari Abu Umayyah tersebut. Dan tak lama berselang, sepertinya Allah berkehendak menunjukkan keutamaan beliau, Nabi SAW muncul dari pintu Bani Syaibah tersebut. Begitu melihat kemunculan beliau, mereka langsung berseru, “Inilah dia Muhammad, inilah dia al Amin (yang dapat dipercaya), kami rela dengan apa yang diputuskannya!!”
Mereka memanggil Nabi SAW mendekat dan menyampaikan hasil musyawarah mereka. Walau beliau mengetahui terjadinya pertentangan, tetapi selama empat atau lima hari tersebut beliau menjauhkan diri dari mereka, sambil menunggu pembangunan dilanjutkan kembali. Setelah mendengar keputusan mereka itu, beliau meminta selembar kain atau selendang dan dibentangkan, dalam riwayat lain, beliau membentangkan surban beliau. Kemudian beliau meminta setiap pimpinan kabilah untuk memegang sisi-sisi kain atau surban tersebut, beliau meletakkan Hajar Aswad di atasnya dan memerintahkan mereka untuk membawanya ke tempatnya di salah satu sudut Ka’bah. Setibanyanya di sana, Nabi SAW mengambil Hajar Aswad dari tengah kain/surban dan meletakkan/menanamkan pada tempatnya semula.
Para pemuka Quraisy itu sangat gembira dengan keputusan yang diambil oleh Nabi SAW. Mereka terselamatkan dari perpecahan dan pertumpahan darah karena kecerdikan dan kebijakan beliau, yang tak lain adalah bagian dari sisi kenabian (salah satu sifat kenabian, yakni Fathonah), dan mereka mengakui hal itu. Sayangnya, beberapa tahun kemudian ketika beliau menyampaikan Risalah Kebenaran Islam, sebagian besar dari mereka justru menentang habis-habisan. Lebih sayangnya lagi, mereka menentang bukan karena mereka tidak tahu bahwa Islam itu adalah kebenaran, dan Nabi Muhammad SAW adalah orang yang sangat dapat dipercaya sebagaimana mereka mengenali sejak kecil. Tetapi mereka menentang hanya karena gengsi, kesombongan dan arogansi kekuasaan, yang takut terlepas dari tangan mereka.  
Pembangunan Ka’bah dapat dilanjutkan setelah mereka bersatu kembali. Hanya saja mereka kehabisan dana dari sumber-sumber yang baik (yakni, halal), sehingga ada bagian di sisi utara yang tidak terbangun, yakni bagian setengah lingkaran yang kini dikenal dengan nama al Hijir (Ismail) atau al Hathim. Dalam sebuah riwayat, Ummul Mukminin, Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang Hijir Ismail tersebut, “Wahai Rasulullah, apakah ia (Hijir Ismail ini) termasuk dari rumah suci ini??”
Nabi SAW bersabda, “Benar!!”
“Mengapa mereka tidak memasukkannya ke dalam bangunan Ka’bah?” Kata Aisyah.
Beliau bersabda, “Itu karena kaummu tidak mempunyai (kehabisan) dana!!”

Kamis, 19 April 2012

Syafaat Nabi SAW pada Yaumul Makhsyar

         Semua manusia, sejak Nabi Adam AS hingga yang terakhir mati pada hari kiamat, dibangkitkan kembali dari kematiannya dengan tiupan sangkakala Malaikat Israfil, yang setelah itu mereka tidak akan merasakan kematian lagi. Setelah itu mereka semua digiring menuju padang Makhsyar. Secara umum, mereka terbagi dalam tiga kelompok, yakni yang berkendaraan, yang berjalan kaki, dan yang berjalan dengan wajahnya.
Umat Nabi SAW sendiri terbagi dalam duabelas kelompok ketika dibangkitkan, satu kelompok yang dibangkitkan dengan wajah bersinar seperti bulan pertama, dan sebelas kelompok lainnya dibangkitkan sesuai dengan kadar dosanya masing-masing. Ada yang dibangkitkan tanpa tangan dan kaki padahal saat hidup di dunia lengkap semua, ada yang wajahnya seperti babi, ada yang seperti keledai dengan perut besar yang dipenuhi ular dan kalajengking, ada yang ususnya terburai dengan mulut mengeluarkan darah dan api, ada yang baunya seperti bangkai dan lain-lainnya lagi yang keadaannya sangat mengerikan.
Ketika tiba di padang Makhsyar, mereka berdiri menunggu keputusan Allah, apakah akan ke surga atau ke neraka? Saat itu matahari didekatkan sehingga keadaannya sangat panas, dan hampir semua manusia dalam keadaan berkeringat, kecuali yang berada di dalam lindungan Allah. Keringat itu ada yang menggenangi sampai tumitnya, sampai betisnya, sampai lututnya, sampai pahanya, sampai tulang rusuknya, sampai mulutnya, bahkan ada yang menenggelamkannya, sesuai dengan amalannya masing-masing ketika di dunia. Dan keringat itu seolah-olah mencambuki tubuh yang mengeluarkannya. Beberapa orang ahli maksiat lainnya juga mengalami siksaan sesuai dengan dosanya. Mereka berdiri menunggu dalam keadaan seperti itu selama 40 tahun, di mana satu harinya setara dengan seribu tahun dunia. Dalam ayat lain dijelaskan, satu hari saat itu setara dengan 50.000 tahun dunia kita sekarang ini.
Ada tujuh golongan yang mendapat perlindungan Allah, sehingga sama sekali tidak merasakan panasnya matahari yang didekatkan dan tersiksa oleh keringat seperti yang lainnya. Mereka itu adalah (1) Imam/pemimpin/pemerintah yang adil. (2) Pemuda yang giat beribadah kepada Allah. (3) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah. (4) Pemuda yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan kaya, tetapi ia menolaknya dan berkata, “Aku takut kepada Allah, penguasa alam semesta.” (5) Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah, sehingga mengalir air matanya karena takut kepada Allah. (6) Seseorang yang bersedekah secara rahasia dengan tangan kanannya, sehingga tangan kirinya itu tidak mengetahui. (7) Seorang pemuda yang hatinya selalu ‘tergantung’ (condong) ke masjid.
Ketika semua manusia dalam penantian dan penderitaan tak berujung tanpa kepastian, kecuali tujuh golongan tersebut, salah seorang dari mereka berkata, “Apakah tidak ada yang mengetahui, siapakah yang bisa memintakan pertolongan (syafaat) untuk kita dari Tuhanmu?”
Salah seorang berkata, “Kamu harus datang kepada Nabi Adam…!!”
Maka mereka berombongan menuju ke tempat Nabi Adam AS, dan berkata, “Wahai Nabi Adam, engkau adalah bapaknya umat manusia, Allah menciptakan engkau dengan kekuasaan-Nya, Dia yang meniupkan ruh kepada engkau, Dia memerintahkan para malaikat bersujud kepada engkau dan mereka bersujud. Maka mintakanlah syafaat untuk kami dari Tuhanmu!! Apakah engkau tidak melihat bagaimana penderitaan kami ini??”
Nabi Adam berkata, “Hari ini Tuhanku sangat marah dengan kemarahan yang belum pernah ada. Dan setelah itu Dia akan pernah marah seperti ini lagi. Dia telah melarang aku untuk mendekati pohon kayu itu, tetapi aku telah mendurhakai-Nya dan mendurhakai diriku sendiri. Karena itu aku malu untuk meminta tolong kepada-Nya!! Pergilah kalian kepada Nuh!!”
Masih dengan ‘siksaan’ keringat yang berbeda-beda derajadnya, mereka berombongan mendatangi tempat Nabi Nuh AS, dan berkata, “Wahai Nabi Nuh, engkau adalah utusan Allah yang pertama untuk penduduk bumi ini, dan Allah menyebut engkau sebagai hamba yang bersyukur. Karena itu mintakanlah syafaat untuk kami dari Tuhanmu!! Apakah engkau tidak melihat akibat dari dosa-dosa yang kami lakukan kepada-Nya??”  
Nabi Nuh berkata, “Pada hari ini Tuhanku telah marah dengan kemarahan yang belum pernah seperti ini. Bagiku ada satu doa mustajabah, tetapi aku telah menggunakannya untuk mendoakan kaumku. Nafsi, nafsi (urus saja diri sendiri!!), pergilah kalian kepada orang selain aku, pergilah kepada Ibrahim!!”
Mereka bergerak berombongan menuju tempat Nabi Ibrahim AS, lalu berkata, “Wahai Nabi Ibrahim, Engkau adalah Nabinya Allah sekaligus Kekasih-Nya (Kholilullah) di antara penduduk bumi ini. Maka mintakanlah syafaat kepada Tuhanmu, tidakkah engkau melihat (akibat) dosa-dosa yang telah kami lakukan kepada-Nya ini??”
Nabi Ibrahim berkata, “Hari ini Tuhanku marah dengan kemarahan, yang sebelumnya Dia belum pernah marah seperti ini, dan setelah ini Dia tidak akan marah seperti ini. Sungguh aku telah ‘bersalah’ kepada-Nya sebanyak tiga kali. Pergilah kalian kepada selain aku, pergilah kepada Musa!!”
Orang-orang yang mengalami siksaan dan ketidakpastian itu berjalan lagi menuju tempat Nabi Musa AS, dan berkata, “Wahai Musa, engkau adalah utusan Allah, Allah memuliakan engkau dengan risalah dan kalimat-Nya atas manusia. Maka mintakanlah syafaat untuk kami dari Tuhanmu!! Apakah engkau tidak melihat (akibat) dosa-dosa yang kami lakukan kepada-Nya??”
Nabi Musa berkata, “Hari ini Tuhanku marah dengan kemarahan, yang sebelumnya Dia belum pernah marah seperti ini, dan setelah ini Dia tidak akan marah seperti ini. Sesungguhnya aku telah membunuh satu jiwa, padahal aku tidak diperintahkan membunuhnya. Pergilah kalian kepada selain aku, pergilan kepada Isa!!”
Mereka bergerak berombongan menuju tempat Nabi Isa AS dan berkata, “Wahai Isa, engkau adalah utusan Allah dan Kalimat-Nya, Dia meletakkan Ruh-Nya kepada Maryam, dan engkau dikehendaki-Nya bisa berbicara ketika masih dalam ayunan. Maka tolonglah berikan syafaat untuk kami kepada Tuhanmu, apakah engkau tidak melihat (akibat) dosa-dosa yang telah kami lakukan kepada-Nya?”
Nabi Isa berkata, “Hari ini Tuhanku marah dengan kemarahan, yang sebelumnya Dia belum pernah marah seperti ini, dan setelah ini Dia tidak akan marah seperti ini. Sesungguhnya Dia telah menyebutkan dosa-dosaku, nafsi, nafsi…Pergilah kalian kepada selain aku, pergilah kalian kepada Muhammad!!”
Sekali lagi mereka bergerak berombongan menuju tempat Nabi Muhammad SAW, lalu berkata kepada beliau, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah dan panutup para nabi, dosa-dosa engkau telah diampuni, baik yang terdahulu atau yang terkemudian. Tolong, berilah syafaat kepada kami atas Tuhan engkau. Apakah engkau tidak melihat (akibat) dosa-dosa yang kami lakukan kepada Dia??”
Tidak seperti Nabi-nabi sebelumnya, Nabi SAW menyanggupinya dan bersabda, “Aku mempunyai hak memberikan syafaat, yakni kepada orang-orang yang dikehendaki Allah dan disenangi-Nya!!”
Ada beberapa versi tentang pertemuan dan percakapan antara manusia dengan para Nabi yang diminta untuk memberikan syafaat tersebut, tetapi intinya adalah hanya Nabi SAW yang akhirnya ‘berani’ menghadap Allah untuk meminta syafaat untuk manusia.
Sebenarnya setiap nabi mempunyai satu doa mustajab, yang Allah pasti akan mengabulkan jika ‘fasilitas’ doa itu digunakan. Tetapi hampir semua nabi-nabi tersebut telah menggunakannya di dunia. Nabi Nuh menggunakan untuk menenggelamkan kaumnya yang ingkar dalam air bah, Nabi Ibrahim menggunakan untuk menyelamatkan dirinya dari api Namrudz, Nabi Musa menggunakan untuk menenggelamkan Fir’aun dan pasukannya di Laut Merah, dan begitu pula dengan nabi-nabi lainnya, kecuali Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah bersabda, “Setiap nabi memiliki doa (mustajab) yang selalu diucapkan. (Tetapi) aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat.” Atau dalam riwayat lainnya, “Setiap nabi mempunyai doa yang digunakan untuk kebaikan umatnya. Sesungguhnya aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat!!”   
Kemudian Nabi SAW bergerak/berjalan menuju Arsy Allah. Beliau meminta ijin masuk dan diijinkan. Hijab demi hijab dibukakan untuk beliau, dan Allah mengajarkan (mengilhamkan) pujian-pujian yang belum pernah diucapkan oleh mahluk manapun, termasuk para malaikat. Nabi SAW bersujud kepada Allah, dan melazimi mengucapkan pujian-pujian tersebut. Setelah beberapa waktu lamanya, Allah berfirman, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu! Mintalah, maka pasti akan diberikan kepadamu!! Berilah syafaat, maka syafaatmu itu akan dikabulkan!!”
Nabi SAW bangkit dari sujudnya dan berkata, “Ya Allah, berilah keputusan di antara hamba-hamba-Mu, sungguh telah terlalu lama mereka menunggu, dan masing-masing telah jelas dosanya (dan kebaikannya) ketika di pelataran Makhsyar…!!”
Allah mengabulkan permintaan Nabi SAW. Siksaan berupa keringat dan matahari yang didekatkan dihilangkan. Kemudian Allah memerintahkan agar mendatangkan surga dengan segala macam keindahan dan kenikmatannya. Setelah itu didatangkan pula neraka dengan segala macam siksa dan kesengsaraan yang akan dialami penghuninya, dengan semua malaikat penjaga dan penyiksanya. Ketika manusia yang berada di Makhsyar mendengar gemuruh apinya, merasakan percikan hawa panasnya dan segala macam hal yang memberatkan akibat kedatangan neraka tersebut, mereka semua berlutut, tidak terkecuali para nabi dan rasul, termasuk yang tadinya diminta wasilahnya. Para Nabi dan Rasul itu hanya bisa berkata, “Ya Allah, pada hari ini kami tidak meminta yang lain lagi, nafsi, nafsi!!”
Nabi SAW sendiri ketika melihat pemandangan tersebut juga berseru, tetapi berbeda dengan seruan para nabi dan rasul lainnya. Beliau bersabda, “Umatku, umatku!! Ya Allah, selamatkanlah umatku, selamatkanlah umatku!!”
Neraka makin mendekat, apinya makin berkobar dan menjilat-jilat layaknya ingin mencaplok para pendosa yang sedang berkumpul di Makhsyar. Tiba-tiba Nabi SAW mendatangi neraka dan mengambil kendalinya dari tangan para malaikat, beliau bersabda, “Kembalilah engkau, menyingkirlah jauh ke belakang!! Biarkan mendatangi engkau, yang menjadi rombongan (penghuni) engkau!!”
Neraka itu berkata, “Biarkanlah aku menempuh jalan yang ditentukan untukku, sesungguhnya engkau, Muhammad, adalah haram bagiku (menyentuhmu)…!!”
Tetapi terdengar seruan Allah kepada neraka dari balik Arsy, “Dengarlah apa yang dikatakan Muhammad, dan patuhilah dia!!”
Kemudian neraka diseret menuju sisi kiri yang jauh dari Arsy sehingga pengaruhnya jauh berkurang terhadap manusia yang sedang berkumpul di Makhsyar. Inilah syafaat Rasulullah yang bersifat umum, di mana semua manusia merasakan manfaatnya, baik yang beriman ataupun yang ingkar.
Allah memerintahkan malaikat untuk membentangkan shirat, jembatan yang melintang di atas neraka dan juga ditegakkan mizan, timbangan amal untuk menghisab amal perbuatan manusia selama di dunia. Secara bersamaan, saat itu beterbangan buku catatan amal menuju pemiliknya masing-masing. Ada yang menerimanya dari arah kanan, yakni orang-orang yang beriman dan bertakwa, orang-orang yang beriman tetapi durhaka dan bergelimang dosa akan menerima dari arah kirinya, dan orang-orang musyrik dan ingkar akan menerima dari arah belakang.
Para Nabi dan Rasul akan dihadapkan kepada umatnya untuk mempertanggung-jawabkan tugas risalahnya, dan akhirnya mereka akan masuk surga. Tentunya yang pertama dan memimpin adalah Nabi Muhammad SAW, dan yang terakhir adalah Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman karena harus dilakukan hisab dahulu atas kerajaannya di dunia. Bagi para Nabi dan Rasul itu telah disediakan mimbar-mimbar dari emas, dan mereka semua telah duduk di atasnya. Tetapi mimbar yang terbesar, terbaik dan terindah ternyata dalam keadaan kosong, mimbar itu adalah milik Nabi SAW. Ternyata beliau memilih untuk berdiri menghadap Allah dan meminta ijin memberi syafaat untuk umatnya, dan Allah mengabulkannya.
Saat itulah muncul suatu seruan (nida’) yang ditujukan kepada umat Nabi SAW yang sedang berkumpul di Makhsyar, “Dimanakah orang-orang yang memiliki keutamaan??”
Sekelompok orang dari umat beliau berjalan cepat menuju ke surga, dan para malaikat menyambutnya dan berkata, “Sesungguhnya kami melihat kalian berjalan cepat ke surga, sedangkan kalian belum dihisab, siapakah kalian ini??”
“Kami adalah orang-orang yang mempunyai keutamaan!!” Kata mereka.
Tentunya pengetahuan mereka akan keutamaan tersebut didasarkan dari catatan buku amal yang telah mereka terima sebelumnya. Para malaikat itu bertanya, “Apakah keutamaan kalian?”
Mereka berkata, “Ketika kami didzalimi (dianiaya) kami bersabar, dan ketika dijahati kami memaafkan orang yang berbuat jahat tersebut!!”
Para malaikat berkata, “Masuklah kalian ke dalam surga, dia adalah sebaik-baiknya pahala bagi orang yang beramal!!”
Setelah mereka masuk semua ke surga, terdengar seruan (nida’) lainnya, “Di manakah orang-orang yang ahlu sabar?”
Sekelompok orang dari umat beliau berjalan cepat menuju ke surga, dan para malaikat menyambutnya dan berkata, “Sesungguhnya kami melihat kalian berjalan cepat ke surga, sedangkan kalian belum dihisab, siapakah kalian ini??”
“Kami adalah orang-orang ahlu sabar!!” Kata mereka.
“Terhadap apakah kalian bersabar??” Tanya para malaikat.
Mereka berkata, “Kami bersabar dalam berbuat taat kepada Allah, kami juga bersabar dari berbuat maksiat kepada Allah, dan kami juga bersabar dalam menerima cobaan Allah!!”
Para malaikat berkata, “Masuklah kalian ke dalam surga!!”
Terdengar lagi satu seruan (nida’), “Di manakah orang-orang yang saling mengasihi karena Allah??”
Sekelompok orang lainnya dari umat Nabi SAW berjalan cepat menuju ke surga, dan para malaikat menyambutnya dan berkata, “Sesungguhnya kami melihat kalian berjalan cepat ke surga, sedangkan kalian belum dihisab, siapakah kalian ini??”
“Kami adalah orang-orang yang saling mengasihi karena Allah, saling memberi karena Allah dan saling berjanji karena Allah!!”
Para malaikat itu berkata, “Masuklah kalian ke dalam surga!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan adanya mereka yang masuk surga tanpa hisab tersebut. Namun demikian beliau masih belum mau masuk kembali ke surga, beliau berdiri mengawasi umat beliau yang telah selesai dihisab dan melalui shirat. Mulut beliau tidak pernah lepas dari doa, “Allaahumma sallim sallim!!” Artinya adalah : Ya Allah, selamatkanlah umatku, selamatkanlah umatku!!
Umat Nabi SAW melewati shirat dengan bermacam-macam cara, ada yang secepat kilat menyambar, bagai angin yang kencang, bagai burung yang terbang, bagai kuda yang berlari, bagai orang yang berlari, orang yang berjalan, ada yang cepat ada yang pelan-pelan, bahkan ada yang merangkak dan merayap. Ada yang memerlukan waktu sekejab, harian, bulanan dan ada yang memerlukan hingga puluhan, ratusan, ribuan atau bahkan puluhan ribu tahun untuk bisa selamat sampai di seberang, dan akhirnya masuk surga.
Saat itu waktu menjadi sangat relatif, walau begitu lamanya terasa bagi mereka yang menyeberang shirat, tetapi tidak terasa bagi Nabi SAW, bahkan kegembiraan beliau selalu bertambah ketika ada umat beliau selamat sampai di ujung perjalanan, walau keadaan tubuhnya ada yang tersambar api neraka hingga hangus. Begitu dimandikan di Nahrul Haya’ (sungai kehidupan), mereka kembali seperti semula, bahkan lebih sempurna penampilan fisiknya, dan akhirnya masuk surga.
Nabi SAW memang bisa mengenali umat beliau di antara begitu banyak umat yang berada di Makhsyar dan yang sedang menyeberang shirat. Ketika itu beliau melihat beberapa kelompok umat beliau yang tertahan di shirat, padahal begitu banyak yang telah sampai dan masuk surga. Maka beliau berkata kepada Jibril, “Wahai Jibril, mengapa ada umatku yang masih tertahan di shirat??”
Jibril diam, tidak segera menjawab, mungkin tidak bisa menjawab, atau tidak tega untuk menjawab, karena jawabannya pasti akan membuat Nabi SAW bersedih. Mereka yang tertahan itu memang umat Nabi SAW, yang tidak bisa tidak harus masuk neraka untuk menebus dan membersihkan dosa dan kesalahan mereka. Kemudian Allah berfirman (mengilhamkan) kepada Jibril tanpa diketahui Nabi SAW, “Singkirkanlah mereka ke lembah antara surga dan neraka, hingga Muhammad masuk surga!!”
Maka satu persatu mereka disingkirkan dari shirat dan dikumpulkan di suatu lembah di sisi neraka, yang tidak terlihat Nabi SAW. Ketika beliau tidak lagi mengenali dan melihat umat beliau di makhsyar atau di shirat, beliau beranggapan mereka telah masuk semua ke surga maka beliau juga masuk surga. Setelah itu Allah berfirman kepada Zabaniah, “Serahkanlah mereka (umat Nabi SAW) kepada Malik!!”
Ketika Malaikat Malik melihat mereka, ia cukup keheranan karena keadaannya tidak dibelenggu, wajahnya tidak hitam legam, tetap berjalan dan bertumpu dengan kaki mereka, berbeda sekali dengan penghuni neraka sebelumnya. Ia bertanya, “Umat siapakah kalian ini??”
“Jangan menanyakan itu, wahai Malik, kami malu bercerita kepadamu, tetapi kami ahli Qur’an, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji, berjihad, menunaikan zakat, menyantuni anak yatim, mandi saat jibanat dan shalat lima waktu!!”
“Celaka sekali, bukankah seharusnya Al Qur’an itu mencegah kalian berbuat maksiat kepada Allah, rasanya tidak mungkin ini terjadi!!“ Kata Malaikat Malik.
“Wahai Malik, janganlah menghina kami, saat ini kami telah selamat dari hinaan Allah!!”         
Lalu terdengar suatu seruan, “Hai Malik, masukkanlah mereka ke pintu yang tertinggi dari neraka!!”
Malaikat Malik berpaling bersiap melaksanakan perintah tersebut, tetapi mereka berkata, “Berilah kesempatan kepada kami untuk menyesali diri!!”
“Tidak ada waktu untuk itu!!” Kata Malik.
Tetapi kemudian terdengar seruan, “Hai Malik, biarkanlah mereka menangisi dirinya!!”
Mereka berkelompok-kelompok kemudian menangis menyesali diri dan perbuatan maksiat mereka waktu di dunia. Kemudian Malaikat Malik menggiring mereka hingga di tepi jurang neraka, seribu malaikat Zabaniyah yang tidak punya rasa kasihan langsung menangkap dan melemparkannya ke pintu neraka yang tertinggi (yang terdangkal). Api yang berkobar menyambut dan melalap tubuh-tubuh tanpa daya tersebut. Ketika api neraka akan membakar habis hati dan wajahnya, terdengar seruan, “Tahanlah, taruhlah saja api itu di dada dan wajahnya. Mereka memang mengingkari ikrar mereka, tetapi mereka mengenal Aku lewat hati mereka, mereka juga pernah bersujud kepada-Ku dengan wajah-wajah mereka!!”
Mendengar seruan seperti itu, salah salah seorang dari mereka juga berseru, “Wahai Rasulullah, wahai Abul Qasim, Wahai Muhammad yang selalu berbuat baik kepada janda dan anak yatim, wahai orang yang paling mulia pada hari kiamat, wahai pemuka seluruh umat, wahai pembuka pintu surga, wahai penutup pintu neraka bagi umatmu yang lemah, yang tidak tahan panas api neraka, siramilah kami dengan syafaatmu agar kami masuk surga!!”
Kemudian seorang lagi berseru keras, sambil meletakkan tangannya di telinganya seperti seorang muadzin, “Kami adalah umat Muhammad!!”
Berturut-turut akhirnya mereka semua berseru mengakui sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya mungkin mereka malu mengaku sebagai umat beliau karena gelimang dosa dan maksiat yang dilakukannya, tetapi ketika merasakan pedihnya siksaan, dan juga adanya seruan (Allah), yang walau sedikit, mengakui keimanan mereka, mereka akhirnya mengakui dan menyadari kalau hal itu adalah satu-satunya jalan keselamatan di saat seperti itu.
Malaikat Malik ikut terhanyut dengan seruan mereka itu dan memohon ijin Allah untuk menemui Nabi SAW di surga, dan Allah mengijinkannya. Ketika berada di hadapan Nabi SAW, Malaikat Malik berkata, “Wahai Muhammad, engkau bersenang-senang di surga sementara umatmu yang lemah membutuhkan bantuanmu. Mereka benar-benar lemah dan sangat menderita di neraka, bantulah mereka!!”
Beliau tersentak kaget, dan segera berangkat ke neraka bersama Malaikat Malik. Di tepi jurang neraka, beliau mendengar tangisan dan jeritan pilu mereka yang memanggil nama beliau. Nabi SAW tidak tahan mendengarnya dan ikut menangis, kemudian berkata, “Wahai Malik, keluarkanlah umatku dari neraka!!”
Malaikat Malik berkata, “Aku tidak berani mengeluarkan mereka tanpa perintah Allah!!”
Nabi SAW bergerak/berjalan menuju Arsy, dan ketika tiba di hadirat Allah, beliau bersujud sangat lama. Ketika bangkit dari sujud, beliau berkata, “Wahai Allah, seperti inikah yang Engkau janjikan untuk tidak menyiksa umatku di neraka??”
Allah berfirman, “Wahai Muhammad, mereka telah melupakan dirimu, meninggalkan syariatmu ketika di dunia, karena itu Aku juga melupakan syafaat yang bisa engkau berikan kepada mereka. Tetapi sekarang telah cukup, berilah syafaat kepada mereka!!”
Nabi SAW kembali menemui Malaikat Malik dan menyatakan memberi syafaat kepada umat beliau tersebut, dan Allah memerintahkan Malaikat Malik mengeluarkan mereka dari neraka, sehingga hanya orang-orang kafir yang tertinggal di neraka. Orang-orang kafir itu berkata, “Andaikata kita dahulu seorang muslim, tentulah kita akan dikeluarkan dari neraka, sebagaimana mereka dikeluarkan!!”

Sabtu, 14 April 2012

Taubatnya Umat Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW telah dijamin akan selalu diampuni jika memang ada dosa atau kekeliruan yang beliau lakukan, baik yang telah berlalu atau yang akan datang. Namun demikian, beliau tak henti-hentinya beribadah, shadaqah dan berbagai macam amal kebaikan lain, serta tidak pernah sama sekali melanggar larangan syariat. Tidak cukup itu, beliau masih beristighfar kepada Allah, setiap harinya tujuhpuluh kali, riwayat lainnya seratus kali. Ketika istri beliau, Aisyah RA pernah ‘mempertanyakan’ gencarnya ibadah dan istighfar beliau itu, Nabi SAW bersabda, “Apakah tidak selayaknya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur??”
Namun demikian, terkadang Nabi SAW tampak dalam keadaan sedih. Yang menjadi beban pikiran beliau adalah umat beliau. Iblis dan syaitan begitu gencar melakukan berbagai macam cara untuk menjerumuskan umat Islam. Gebyar dunia dan hawa nafsu menjadi kendaraan syaitan untuk menyesatkan umat beliau, terutama yang hidup belakangan. Semua itu memang pernah ‘ditampakkan’ Allah kepada beliau, baik ketika perjalanan Isra’ Mi’raj, atau dalam mimpi-mimpi beliau.
Ketika dalam kesedihan seperti itu, Malaikat Jibril AS datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah mengirimkan salam kepadamu, dan berfirman : Barang siapa yang bertaubat dari umatmu, setahun sebelum kematiannya, maka taubatnya akan diterima!!”
Setelah berterima kasih dan menjawab salam-Nya, Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, setahun itu sangat banyak (lama), karena kelalaian dan panjang angan-angannya (tulul amal) umatku itu sangat mendominasi kehidupan mereka!!”
Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia itu Maha Mengetahui…!!”
Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu berfirman : Siapa yang bertaubat sebelum kematiannya, berselang satu bulan, maka taubatnya akan diterima!!”
Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, satu bulan itu masih terlalu lama untuk umatku!!”
Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia itu Maha Mengetahui…!!”
Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu berfirman : Siapa yang bertaubat dari umatmu, sehari sebelum kematiannya, maka taubatnya akan diterima!!”
Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, satu hari itu masih terlalu lama untuk umatku!!”
Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia itu Maha Mengetahui…!!”
Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu berfirman : Siapa yang bertaubat dari umatmu, satu jam sebelum kematiannya, tentu taubatnya akan diterima!!”
Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, satu jam itu masih terlalu lama untuk umatku!!”
Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia itu Maha Mengetahui…!!”
Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad, Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan Dia berfirman : Barang siapa dari umatmu yang melalui semua umurnya dengan kemaksiatan, dan ia belum kembali (bertaubat) kepada-Ku kecuali setahun sebelum kematiannya, atau sebulan, atau sehari, atau satu jam sebelum kematiannya, atau bahkan sebelum ruhnya sampai di tenggorokannya, dan tidak memungkinkan baginya untuk bertaubat atau meminta maaf dengan lidahnya, kecuali hatinya yang menyesal (atas dosa-dosa yang telah dilakukannya), maka sungguh Aku akan mengampuninya!!”
Nabi SAW amat gembira dengan kemurahan Allah atas umat beliau tersebut, dan tidak henti-hentinya mengucap syukur. Sungguh benarlah firman Allah, QS adh Dhuha ayat 5, “Walasaufa yu’thiika rabbuka fatardhoo!!” Artinya adalah : Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga hatimu menjadi ridho (puas, senang).
Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW mengunjungi seorang lelaki dari kalangan Anshar yang sakit dan dalam keadaan sakaratul maut (naza’). Melihat keadaannya tersebut, beliau bersabda, “Bertaubatlah kamu kepada Allah!!”
Sahabat Anshar tersebut sepertinya memahami perkataan Rasulullah SAW, tetapi anggota tubuhnya tidak bisa bereaksi. Mulutnya tidak bisa mengucap istighfar atau kalimat tauhid, laa ilaaha illallah, tangannya tidak bisa diangkat untuk mengisyaratkan doa dan istighfarnya, hanya saja tampak bola matanya bergerak ke atas, seakan-akan memandang ke langit.
Tidak lama kemudian tampak Nabi SAW tersenyum, padahal saat itu kebanyakan yang hadir dalam keadaan bersedih dan khawatir karena orang Anshar tersebut sama sekali tidak menanggapi perintah Nabi SAW. Umar bin Khaththab yang menyertai beliau dan meriwayatkan peristiwa ini berkata, “Apa yang membuat engkau tersenyum, ya Rasulullah?”
Masih dengan tersenyum, beliau bersabda, “Orang yang sakit ini tidak bisa bertaubat dengan lidahnya. Tetapi ia bertaubat dengan isyarat matanya ke langit dan hatinya melakukan penyesalan. Dan Jibril baru saja memberitahukan kepadaku bahwa Allah berfirman : Wahai malaikat-Ku, hamba-Ku ini tidak bisa bertaubat dengan lidahnya, namun ia sangat menyesal di dalam hatinya. Dan Aku tidak menyia-nyiakan taubat dan penyesalan di dalam hatinya, dan saksikanlah bahwa Aku memberikan pengampunan kepadanya!!”  
Tentu saja kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW tidak boleh lalai dan ‘keasyikan’ dalam kemaksiatan, walau ada kemurahan Allah yang begitu besarnya seperti itu. Sesungguhnya kita tidak pernah tahu, kapan ajal kita tiba. Dan ajal bisa saja datang menjemput dengan tiba-tiba tanpa peringatan atau sakit terlebih dahulu. Karena itu, sebaiknya kita segera bertaubat dalam kesempatan pertama. Kalau di kemudian terjatuh lagi dalam maksiat, segera saja bertaubat. Allah tidak pernah bosan menerima taubat hamba-Nya, selama hamba tersebut belum ‘bosan’ bertaubat. Jangan pernah mengikuti ‘jejak’ Iblis yang tidak mau bertaubat, atau malas dan bosan bertaubat karena putus asa dari rahmat Allah.

Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (2) Rahib Nashrani Mengenali Kenabian Beliau

Sejak usia delapan tahun, yakni sejak kematian kakeknya Abdul Muthalib, Nabi SAW diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayahnya. Abu Thalib sangat memperhatikan dan mengistimewakan beliau, melebihi kepada anak-anaknya sendiri. Walau ia bukan orang yang kaya dan berkelimpahan, tetapi ia selalu mendahulukan kepentingan putra saudaranya tersebut. Sikap dan perilakunya yang baik, pekertinya yang luhur, cerdas dan sangat berbakti kepada orang tua dan beberapa hal menarik lainnya, yang menyebabkan Abu Thalib bersikap seperti itu.
Ketika Nabi SAW berusia 12 tahun, Abu Thalib berdagang ke Syam. Sebagian riwayat menyebutkan, ia hanya membawakan barang dagangan orang-orang kaya di Makkah, bukan barang dagangan miliknya sendiri. Ia hanya mengambil gaji atau bagian keuntungan dari barang dagangan yang dibawanya, sama seperti yang dilakukan Nabi SAW kelak, membawa barang dagangan Khadijah RA untuk dijualkan.
Sebenarnya agak berat bagi Abu Thalib untuk membawa beliau yang masih kecil menyeberangi lautan pasir yang begitu luas. Begitu banyak halangan dan kesulitan yang harus dihadapi dalam perjalanan seperti itu. Tetapi ternyata Nabi SAW menyatakan kesediaan dan keikhlasannya untuk mengikuti pamannya tersebut. Tentu sikap beliau itu sangat melegakan, karena pada dasarnya Abu Thalib memang tidak ingin berpisah lama dengan keponakannya yang menakjubkan itu.
Perjalanan kafilah dagang tersebut berjalan lancar. Nabi SAW belajar banyak dari perjalanannya yang pertama ini. Luasnya padang pasir yang seolah tak bertepi, gemerlap gemintang di langit yang jernih dan melengkung sempurna, daerah-daerah yang mempunyai kisah di masa lalu, seperti Madyan, Wadil Qura, peninggalan kaum Tsamud dan lain-lainnya menambah perbendaharaan pengetahuan beliau.
Ketika kafilah dagang ini tiba di daerah Bushra, sudah termasuk wilayah Syam bagian selatan, mereka dihentikan oleh seorang rahib (pendeta) Nashrani yang bernama Bahira (sebagian riwayat menyebutnya Buhaira). Rahib Bahira yang nama aslinya Jurjis ini, sebelumnya tidak pernah meninggalkan tempatnya, ia hanya menghabiskan waktunya untuk ibadah demi ibadah kepada Allah. Bushra adalah wilayah Syam yang sebagian besar penghuninya adalah orang-orang Arab, walau berada di bawah kekuasaan Romawi yang beragama Nashrani. Artinya, keberadaan orang-orang Arab sebenarnya tidak asing bagi Bahira, tetapi hari itu tiba-tiba ia memerintahkan pembantunya menyediakan jamuan yang istimewa untuk tamunya orang-orang Arab.
Bahira memerintahkan pembantunya untuk mengundang anggota kafilah tersebut menjadi tamu kehormatan. Karena menganggap Nabi SAW masih kecil, Abu Thalib meminta beliau menunggu saja di antara unta-unta yang ditinggalkan di luar, dan beliau tidak keberatan. Perjalanan itu sendiri begitu menyenangkan bagi Nabi SAW, apalagi melihat keadaan kota Bushra yang begitu indah dan ‘moderen’ dibandingkan dengan kota Makkah atau daerah ‘pedalaman’ padang pasir lainnya. Sepertinya beliau lebih menyukai berada di luar daripada masuk ke dalam rumah atau tempat tinggal rahib tersebut.
Ketika anggota kafilah masuk ke rumahnya, Bahira memperhatikan mereka satu persatu, kemudian dengan keheranan ia berkata, “Apakah ada di antara kalian yang tertinggal, tidak ikut masuk ke sini??”
Abu Thalib berkata, “Ada keponakanku yang masih kecil tinggal di luar, sambil menjaga unta-unta dan barang dagangan kami!!”
“Bisakah kalian membawanya kemari??” Kata Bahira.
Abu Thalib memerintahkan seseorang untuk menjemput Nabi SAW, dan begitu beliau tiba di hadapan Bahira, rahib itu memperhatikan dengan seksama, termasuk sedikit menyingkap kain beliau di bagian bahu belakang. Sambil memegang tangan Nabi SAW, Bahira berkata, “Anak ini akan menjadi pemimpin semesta alam, anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam!!”
Abu Thalib berkata, “Darimana engkau tahu tentang hal itu?”
Bahira berkata, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan kecuali mereka bersujud kepada anak ini. Mereka tidak sujud, kecuali kepada seorang nabi. Kalau ia berjalan, sebenarnya ia selalu dinaungi awan, hanya saja kalian tidak menyadarinya. Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwwah yang ada di bagian bawah tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel. Aku juga mendapatkan tanda-tanda itu dalam kitab suci agama kami..!!”
Kemudian Bahira mewasiatkan agar menjaga Nabi SAW dengan sebaik-baiknya, bahkan menyarankan untuk membawa beliau pulang ke Makkah, sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi dan Romawi di Syam. Jika mereka mengenali tanda kenabiannya, Bahira khawatir mereka akan mengganggunya, atau bahkan menyakitinya dan membunuhnya. Belum selesai Bahira memberikan nasehatnya kepada Abu Thalib, tampak sembilan orang tentara Romawi menuju rumahnya. Ia menyambutnya dan berkata, “Untuk apa kalian ke sini?”
Salah satu dari mereka berkata, “Kami dengar dari pendeta-pendeta kami bahwa pada bulan ini ada seorang (calon) nabi dari bangsa Arab yang akan mengunjungi negeri ini. Tidak ada satu jalanpun kecuali dikirim penjagaan di sana, dan kami yang bertugas di sini!!”
Bahira berkata, “Bagaimanakah pendapat kalian jika Allah menghendaki sesuatu, dapatkah seseorang, bagaimanapun kuatnya akan mampu  menghalanginya?”
Mereka berkata “Tidak!!”
Bahira berkata lagi, “Karena itu, jika nantinya kalian bertemu dengannya, berba’iatlah kalian kepada Nabi itu, sesungguhnya ia benar-benar seorang Nabi…!!!”
Pasukan itu tinggal di sekitar rumah rahib itu, melakukan penjagaan di jalan masuk ke Syam tersebut. Diam-diam Abu Thalib memerintahkan beberapa orang anggota kafilahnya untuk membawa Nabi SAW pulang ke Makkah, sesuai dengan saran Rahib Bahira tersebut. Tetapi riwayat lain menyebutkan, beliau tetap dibawa serta ke Syam, tetapi dengan pengawasan dan penjagaan ketat dari anggota kafilah lainnya.

Jumat, 06 April 2012

Ketika Nabi SAW akan diracun

Setelah Perang Khaibar berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Islam, Nabi SAW dan para sahabat beristirahat beberapa lamanya di Khaibar. Suatu ketika seorang wanita bernama Zainab binti Harits, istri dari Sallam bin Misykam, salah seorang tokoh Yahudi Bani Nadhir, datang kepada Nabi SAW dan para sahabat sambil membawa daging kambing yang sudah dipanggang. Aroma daging kambing tersebut sangat menggoda sehingga beliau mengambil sepotong daging paha yang menjadi kesukaan beliau dan menggigitnya.
Tetapi tiba-tiba Nabi SAW memuntahkan daging yang digigitnya dan berteriak menyuruh para sahabat untuk tidak memakan daging tersebut. Beliau bersabda, "Tulang ini memberitahu aku bahwa daging ini dicampuri dengan racun, panggillah perempuan itu!"
Ketika Zainab binti Harits dibawa menghadap Nabi SAW, dan beliau bertanya tentang tindakannya itu, ia berkata, “Memang benar saya membubuhi racun pada daging kambing tersebut. Aku sering berkata pada diriku sendiri, kalau Muhammad itu hanya seorang raja, aku ingin menghabisinya, tetapi kalau benar ia seorang nabi sebagaimana pengakuannya, tentu akan ada pemberitahuan kepadanya tentang apa yang aku lakukan!!"
Sikap wanita ini untuk memastikan kebenaran kenabian Nabi Muhammad SAW mungkin saja bisa dibenarkan, tetapi cara yang ditempuhnya tentu saja salah. Tidak ada penjelasan pasti, apakah Zainab ini kemudian memeluk Islam setelah ia memperoleh bukti kebenaran tersebut. Tetapi ternyata Nabi SAW memang memaafkan tindakannya yang membahayakan jiwa itu.   
Diriwayatkan, bahwa ada salah seorang sahabat Nabi SAW yang terlanjur memakan dan menelannya sebelum beliau berteriak memperingatkan. Sahabat yang bernama Bisyr bin Barra' bin Ma'rur ini akhirnya meninggal, sehingga Zainab binti Harits dibunuh sebagai qisash atas kematian Bisyr, walaupun sebelumnya Nabi SAW telah memaafkan tindakannya.       

Nabi SAW Menjaga Prasangka Umatnya

Suatu malam Nabi SAW sedang i’tikaf di dalam masjid. Tidak lama kemudian datanglah istri beliau, Shafiyyah binti Huyyai menemui beliau. Setelah berbincang beberapa saat lamanya, beliau mengantarkan Shafiyyah pulang. Dalam perjalanan tersebut beliau bertemu dengan dua orang sahabat Anshar. Mereka berdua tidak mengenali istri beliau itu karena berkerudung dan keadaannya cukup gelap, mereka-pun mempercepat jalannya, seolah-olah mereka tidak ingin melihat Nabi SAW bersama wanita yang tidak mereka kenali itu.
Melihat sikap mereka itu, Nabi SAW bersabda, “Wahai sahabat Anshar, waspadalah, sesungguhnya ia ini adalah Shafiyyah binti Huyyai!!”
“Subkhanallah, wahai Rasulullah!!” Kata dua sahabat Anshar itu, “Kami tidaklah berprasangka macam-macam terhadap engkau!!”
Tentu Nabi SAW secara umum mengetahui bagaimana kecintaan para sahabat Anshar kepada beliau, tetapi beliau juga sangat tahu bagaimana ‘licin dan liciknya’ syaitan dalam menggoda manusia. Tidak ada peluang sedikitpun kecuali akan dimanfaatkan syaitan untuk menggelincirkan manusia, bahkan menyeret mereka ke neraka. Beliau tidak ingin hal itu akan terjadi pada umat beliau, khususnya pada sahabat Anshar yang telah berkorban begitu banyak kepada Nabi SAW dan Islam.
Karena itu Nabi SAW bersabda kepada mereka, “Sesungguhnya syaitan itu berjalan di badan anak Adam bersama jalannya darah. Karena itu aku khawatir kalau syaitan itu akan menyusupkan kejahatan ke dalam hatimu, atau ia mengatakan sesuatu…!!”
Memang, pada saat itu dua orang sahabat Anshar tersebut tidak akan berprasangka buruk kepada Nabi SAW. Tetapi kalau beliau tidak pernah memberitahukan kepada mereka, siapa wanita yang sedang bersama beliau malam itu, bisa jadi syaitan terkutuk, al khannas, akan membisik-bisikkan sesuatu di hati mereka. Mungkin dari sebuah pertanyaan sederhana, “Siapa ya wanita yang bersama Rasulullah SAW pada malam itu?”
Disusul pertanyaan, “Mengapa Rasulullah SAW tidak memperkenalkan wanita tersebut?”
Begitu seterusnya, pertanyaan demi pertanyaan, yang kemudian disusul dengan analisa, sehingga akhirnya bisa menjadi sebuah fitnah yang sama sekali tidak berdasar, tetapi menjadi sebuah dosa yang sangat besar. Dan semua itu bisa terjadi karena licik dan licinnya syaitan dalam menggelincirkan manusia.
Karena itulah tepat sekali sikap Nabi SAW ‘memutus’ peluang syaitan, dengan jalan melarang atau menghilangkan prasangka dari umat beliau. Dan ini sejalan dengan Firman Allah, QS al Hujurat 12 : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

Selasa, 03 April 2012

Nabi SAW dan Umatnya Dimuliakan dengan Shalat

Allah menciptakan malaikat Jibril dalam bentuknya yang paling bagus, Dia menambahkan enamratus sayap bagi Jibril, yang setiap sayapnya sepanjang antara timur dan barat. Ketika melihat keadaan dirinya, Jibril mengagumi dirinya dan berkata, “Wahai Allah, apakah engkau menciptakan mahluk lain yang bentuknya lebih bagus dari diriku?”
Allah SWT berfirman, “Tidak!!”
Maka Jibril langsung gembira dan bersyukur kepada Allah, ungkapan syukurnya dilakukan dengan shalat dua rakaat. Dia berdiri selama duapuluh ribu tahun untuk satu rakaatnya. Dan setelah selesai shalat, Allah berfirman kepadanya, “Wahai Jibril, engkau telah beribadah kepada-Ku dengan sebenar-benarnya peribadatan kepada-Ku, tidak ada seorang-pun yang beribadah kepada-Ku seperti ibadah yang telah engkau lakukan itu!!”
Jibril makin gembira dengan pujian Allah tersebut, dan makin menambah rasa syukurnya. Kemudian Allah berfirman lagi, “Namun akan datang seorang nabi mulia sebagai kekasih-Ku di akhir zaman. Dia mempunyai umat yang lemah lagi berdosa, mereka melakukan shalat beberapa rakaat dalam waktu yang singkat, itupun dilakukan disertai kekurangan dan kelalaian, pikiran yang bermacam-macam, bahkan terkadang mereka berdosa besar. Tetapi demi keagungan-Ku dan keluhuran-Ku, sesungguhnya shalat mereka itu lebih Aku sukai daripada shalatmu, karena mereka shalat itu untuk menjalankan perintah-Ku, sedangkan engkau menjalankan shalat tanpa perintah dari-Ku…!!”
Jibril berkata, “Wahai Allah, apakah balasan atas shalat mereka itu?”
Allah Berfirman, “Aku berikan untuk mereka surga sebagai tempat tinggal mereka!!”
Jibril meminta ijin Allah untuk melihat surga tersebut dan mengitarinya, dan Allah mengijinkannya. Jibril terbang mengepakkan sayapnya, yang dengan sekali kepakan ia mencapai jarak perjalanan tigaribu tahun, dan ia terus terbang hingga jarak perjalanan tigaratus ribu tahun. Ketika merasa lelah dan belum sampai juga, ia berhenti dan bersujud kepada Allah, lalu berkata, “Wahai Allah, apakah aku telah mencapai separuhnya, sepertiganya atau seperempatnya?”
Allah berfirman, “Wahai Jibril, seandainya engkau terbang (sejauh perjalanan) tigaratus ribu tahun lagi, dan Aku berikan lagi kekuatan seperti kekuatanmu itu, sayap lagi seperti sayap-sayapmu itu dan engkau melakukan lagi apa yang telah lakukan itu, maka sesungguhnya engkau tidak akan sampai pada sepersepuluh dari apa yang Aku berikan kepada umat kecintaan-Ku, Muhammad SAW, sebagai balasan atas shalat yang  mereka lakukan itu!!”
Malaikat Jibril jadi sangat merindukan untuk bisa bertemu dengan Nabi SAW dan umatnya itu.
Memang, dalam perjalanan Mi’raj, Nabi SAW melihat sekelompok malaikat pada tiap lapis langit sedang shalat atau beribadah kepada Allah SWT dengan caranya masing-masing. Pada langit pertama, beliau melihat para malaikat yang terus-menerus mengucap dzikr kepada Allah sambil berdiri, dan menurut penjelasan malaikat Jibril, mereka beribadah seperti itu sejak diciptakan Allah hingga hari kiamat tiba. Pada langit ke dua, beliau melihat malaikat yang shalat dengan cara ruku, sejak diciptakan hingga hari kiamat tiba.
Memasuki langit ke tiga, beliau melihat para malaikat beribadah dengan cara terus menerus bersujud kepada Allah, sejak diciptakan hingga hari kiamat tiba. Beliau amat takjub dengan pemandangan tersebut, dan tidak bisa menahan diri untuk mengucap salam. Akibatnya, para malaikat itu bangkit dari sujudnya untuk sesaat, sekedar menjawab salam yang disampaikan Rasulullah SAW, kemudian mereka kembali sujud seperti semula. Dan mereka akan tetap sujud hingga hari kiamat tiba.
Pada langit ke empat, beliau melihat para malaikat beribadah dengan terus menerus duduk tasyahud. Pada langit ke lima, para malaikat beribadah dengan terus-menerus mengucapkan tasbih. Pada langit ke enam, para malaikat beribadah dengan terus menerus mengucap takbir dan tahlil. Dan pada langit yang ke tujuh, para malaikat beribadah dengan terus menerus mengucapkan salam. Mereka menjalankan ibadah tersebut hingga hari kiamat tiba.
Rasulullah SAW amat tertarik dengan cara peribadatan para malaikat tersebut, dan sangat menginginkan agar beliau dan umatnya bisa melaksanakan sembahyang seperti mereka. Karena itu, ketika Allah mensyariatkan kewajiban shalat pada peristiwa Mi’raj tersebut, sekaligus mengajarkan cara-caranya (melalui Malaikat Jibril) sebagai rangkaian dan rangkuman ibadah para malaikat di tujuh lapis langit. Semua itu sebagai wujud kasih sayang Allah kepada Nabi SAW dan umat beliau.
Mungkin atas dasar dan alasan inilah, Allah lebih memuliakan shalatnya Nabi SAW dan umat beliau daripada shalat yang dilakukan Malaikat Jibril ketika ia diciptakan. Nabi SAW juga pernah bersabda, “Barang siapa yang menunaikan shalat lima waktu, maka ia akan mendapatkan pahala ibadah, seperti ibadahnya para malaikat pada tujuh lapis langit…!!”

Ketika Nabi SAW ‘kurang’ Rakaat Shalatnya

Suatu ketika, dalam shalat maghrib atau shalat isya’, Nabi SAW telah duduk tasyahud akhir dan kemudian salam, padahal saat itu masih kurang satu rakaat. Biasanya beliau akan duduk menghadap jamaah setelah selesai salam, tetapi kali ini bersikap lain. Beliau berdiri bertelekan kayu yang melintang di bagian depan masjid, jari-jari tangan terjalin, kemudian beliau meletakkan pipi kanan beliau di atas punggung tangan kiri beliau.
Para sahabat tampak kebingungan dengan rakaat yang kurang satu itu, tetapi mereka tidak berani bertanya, apalagi melihat sikap beliau yang tidak biasanya itu. Termasuk Umar dan Abu Bakar yang biasanya kritis, ternyata mereka hanya diam saja. Mereka hanya berbisik-bisik di antara mereka, “Mengapa shalat diperpendek?”
Dalam keadaan ‘deadlock’ seperti itu, seorang sahabat Anshar yang kedua tangannya tampak panjang daripada umumnya sehingga biasa dipanggil ‘Dzul Yadain’, memberanikan diri menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa ataukah shalat memang diqashar?”
Nabi SAW mengangkat wajah dan memandang Dzul Yadaian, kemudian bersabda, “Saya tidak lupa, dan tidak pula shalat diqashar!!”
Nabi SAW berpaling kepada para sahabat lainnya dan bersabda, “Benarkah apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain??”
“Benar, ya Rasulullah,“ Kata para sahabat serentak.
Maka beliau memerintahkan memanggil kembali beberapa orang yang telah terlanjur keluar masjid, kemudian beliau menyempurnakan (menambah) satu rakaat lagi. Setelah salam, beliau bersujud lagi seperti sujudnya shalat atau lebih lama, kemudian beliau bangkit dari sujud sambil bertakbir, sesudah itu beliau bertakbir dan bersujud lagi seperti sujudnya shalat atau lebih lama. Kemudian beliau bangkit lagi dengan bertakbir dan mengucap salam seperti salamnya waktu menutup shalat. Sujud ini dalam ilmu fiqih disebut sebagai sujud Sahwi.
Sebagian ulama berpendapat, sujud sahwi ini dilakukan setelah selesai membaca tahiyyat, tetapi sebelum mengucap salam, sehingga hanya satu kali salam.